Alam semesta terus mengembang seperti balon. Semakin lama, ia mengembang semakin cepat. Lajunya tak tertahan. Pengembangan alam semesta ini telah bermula sejak peristiwa Big Bang, 14 milyar tahun yang lampau. Mengapa alam semesta terus mengembang? Pertanyaan ini antara lain muncul mengenai Surat An-Naazi’aat ayat (1) – (14).
Wa n-naazi`aati gharqaa. Wa n-naasyithaati nasythaa. Wa s-saabihaati sabhaa. Fa s-saabiqaati sabqaa. Fa l-mudabbiraati amraa
(ayat 1-5).
Jika diterjemahkan harfiah menjadi,
“Demi yang tercabut keras. Demi tenaga yang bertenaga. Demi yang beredar di garis edar. Lalu berlomba saling berlomba. Lalu yang mengatur urusan.”
Pada lima ayat pertama Surat An-Naazi`aat, Allah bersumpah dengan lima hal:
an-naazi`aat (yang tercabut), an-naasyithaat (tenaga), as-saabihaat (yang beredar), as-saabiqaat (yang berlomba), dan al-mudabbiraat (yang mengatur).
“Oleh karena Allah menggunakan kata yang berjenis muännats (feminin), sudah tentu lima hal tersebut merupakan fenomena alam!” .
Kata naazi`aat berasal dari kata kerja naza`a yang artinya “mencabut”. Beraneka ragam tafsiran para ulama mengenai an-naazi`aat, mulai dari nyawa yang tercabut oleh malaikat sampai kepada cahaya yang tercabut dari bintang-bintang. Untuk memahaminya, jelas Irfan, kita harus memperhatikan ayat kelima: fa l-mudabbiraati amraa (“lalu yang mengatur urusan”).
Dalam Surat Yunus ayat (3) Allah berfirman: Inna rabbakumu l-Laahu l-ladzii khalaqa s-samaawaati wa l-ardha fii sittati ayyaam, tsumma stawaa `alaa l-arsyi yudabbiru l-amr (“Sesungguhnya Tuhanmu Allah yang telah menciptakan langit dan Bumi dalam enam periode, kemudian berkuasa di atas `arasy mengatur urusan!”). Ternyata “urusan yang diatur” adalah masalah penciptaan alam semesta. Dengan demikian lima ayat pertama dalam Surat An-Naazi’aat ini berbicara mengenai hal tersebut.
Mengembang karena Dark Energy
Pada ayat pertama dan kedua Allah memerintahkan kita menalari penciptaan alam semesta. Pada mulanya seluruh isi alam semesta ini berpadu dalam kepadatan yang tidak terhingga (infinite density). Kemudian dengan proses Big Bang (“Dentuman Akbar”) terciptalah alam semesta ini. Menurut Irfan, hal ini dilukiskan sebagai sesuatu yang tercabut (an-naazi`aat) dengan keras (gharqaan) dan melibatkan energi (an-naasyithaat) yang luar biasa hebatnya (nasythaan).
Para ilmuwan baru meyakini proses Big Bang pada tahun 1965. Ketika itu Arno Penzias dan Robert Wilson dari Laboratorium Bell, New Jersey, berhasil menangkap sisa radiasi Big Bang dengan antena yang supersensitif. Radiasi tersebut tersebar secara seragam di segala penjuru jagad raya (dikenal sebagai cosmic microwave background) pada tingkat sekitar tiga derajat Kelvin, tepatnya 2,726 K. Atas penemuan yang sangat berharga ini, Penzias dan Wilson meraih hadiah Nobel bidang fisika pada tahun 1978.
Irfan melanjutkan, pada ayat ketiga dan keempat Allah memerintahkan kita merenungi komponen alam semesta. Komponen tersebut menurut Beliau adalah galaksi-galaksi yang beredar (as-saabihaat) pada orbit masing-masing (sabhaan) serta berlomba-lomba saling menjauhi (as-saabiqaat) satu sama lain (sabqaan). Pada tahun 1929, Edwin Powell Hubble dari Amerika Serikat mengamati bahwa garis spektrum cahaya dari galaksi-galaksi di luar Bima Sakti bergeser ke arah panjang gelombang yang lebih besar, atau bergeser ke arah “merah” (red shift). Berdasarkan hukum fisika yang dikenal sebagai Efek Doppler, hal itu berarti bahwa galaksi-galaksi saling menjauhi satu sama lain.
Kemudian diketahui bahwa makin jauh galaksi tersebut, makin besar pula kecepatan menjauhnya. Menurut Tetapan Hubble, kecepatan galaksi-galaksi saling menjauh sebesar 70 km per detik per megaparsec. Satu megaparsec adalah 3,26 juta tahun-cahaya, dan satu tahun-cahaya adalah 9,4605 x 1012 km atau sekitar 10 triliun km. Artinya galaksi-galaksi dengan jarak 3,26 juta tahun-cahaya saling menjauh dengan kecepatan 70 km/detik.
Mengomentari pandangan Irfan, Moedji menambahkan bahwa kini para ilmuwan telah menyimpulkan mengapa gravitasi tidak mampu mengerem laju pengembangan alam semesta. Orang menghipotesiskan adanya sebuah energi yang belum diketahui karakteristik dan sumbernya. Energi yang menandingi energi gravitasi ini disebut dark energy.
Selain itu lanjut Moedji, terdapat pula dark matter yaitu materi yang mengubah gerakan benda-benda langit sehingga menyimpang dari Hukum Keppler. Menurut hukum tersebut, semakin jauh dari pusat galaksi/tatasurya, benda langit semakin elips lintasannya dan bergerak semakin lambat. Namun ternyata tidak. “Banyak yang lintasannya lurus dan malah semakin cepat,” tutur Moedji. Dark matter mungkin berasal dari sisa-sisa nebula yang tidak menjadi bintang ataupun planet.
Irfan menerangkan lebih lanjut, bahwa pada ayat kelima Allah memerintahkan kita meneliti masalah tadbiiru l-amr (pengaturan urusan alam semesta). Para ilmuwan kini memahami bahwa semua proses yang berlangsung di alam semesta ini diatur oleh empat macam interaksi (gaya). Keempat interaksi tersebut adalah interaksi gravitasi, interaksi elektromagnetik, interaksi kuat (mengikat proton dan neutron dalam inti), dan interaksi lemah (mengatur perubahan suatu atom menjadi atom lain).
Ayat (6) – (7) Surat An-Naazi’aat berbunyi Yauma tarjufu r-raajifah, tatba`uhaa r-raadifah). Terjemahan harfiahnya: “Masa tatkala bergetar sesuatu yang bergetar, mengikutinya masa pengganti.”
Melalui pemikiran Max Planck (1900) dan Albert Einstein (1905), Louis de Broglie (1924), Werner Heisenberg (1926) dan Erwin Schrodinger (1927), kini para ilmuwan mengetahui bahwa seluruh partikel di alam semesta ternyata merupakan ar-raajifah. Segala sesuatu memiliki sifat gelombang atau getaran, (rajafa = “bergetar”). Irfan berkeyakinan bahwa iInilah tafsir dari pernyataan Allah “masa tatkala bergetar sesuatu yang bergetar”. Lalu Allah menegaskan bahwa masa dunia fana ini akan diikuti oleh masa pengganti (ar-raadifah), yaitu masa kehidupan akhirat.
Irfan tidak menafsirkan lebih lanjut ayat 8-14 secara ilmiah. Sebab ayat-ayat tersebut menerangkan keadaan Hari Kiamat yang merupakan wilayah “ghaib”. Kita hanya wajib mengimaninya sebagai informasi dari Sang Pencipta.
Lebih Tepat Ditafsirkan Kiamat
Menanggapi penafsiran Irfan, Yajid memaparkan penelaahan bahasa yang mendasari tafsiran klasik Surat An-Naazi’at selama ini. Menurut Beliau, jika melihat struktur bahasa ayat (1) – (3), wauw yang bersifat sumpah (wauw qasam) hanya terdapat pada ayat pertama. Wauw selanjutnya hanya wauw athaf (penyambung). Sebab, jika semuanya adalah wauw sumpah, maka menurut tata bahasa Arab semuanya harus diikuti dengan “jawaban sumpah”. Nyatanya pada surat ini, jawaban sumpah—yaitu sesuatu yang perlu dikemukakan untuk menjawab sumpah—hanya terdapat pada ayat (4) dan (5).
Yajid melanjutkan, bahwa karena menggunakan wauw athaf (sambung) maka sifat-sifat yang muncul dalam ayat (1) – (3) menunjuk pada satu hal. Maksudnya, subjek yang diceritakan pada ketiga ayat tersebut sama saja. Beliau juga mengoreksi penerjemahan Irfan pada tiga ayat pertama tersebut. Kalimat awal pada tiga ayat pertama menggunakan isim fa’il (subyek). “Jadi bukan tercabut, tapi yang mencabut,” ujarnya. Isim tersebut kemudian diikuti dengan masdar mutlak. Sehingga terjemahan ayat (1) sampai (3) mengikuti formula “Demi yang me[kata] dengan [kata]“.
Kemudian, ayat (4) Fa s-saabiqaati sabqaa (“yang berpindah dengan perpindahan yang cepat”) menjelaskan atau menjadi sifat ayat (1) dan (2). Adapun ayat (5) Fa l-mudabbiraati amraa (“yang mengatur urusan”) menjadi sifat ayat (3). “Yang mencabut itu sifatnya mendahului dengan cepat, sedangkan yang turun dari langit itu mengatur urusan-urusan” terang Yajid.
Yajid menambahkan, para ulama tafsir sepakat bahwa “yang mengatur urusan-urusan” dalam ayat (5) adalah malaikat. “Banyak ayat yang berbicara masalah urusan, selalu terkait dengan keberadaan malaikat,” jelas Beliau. Contohnya adalah Surat Al-Qadr ayat (4). Hal ini berarti, subyek yang disifati oleh ayat (5), yaitu ayat (3) adalah juga malaikat. Karena di atas telah disebutkan bahwa subyek yang ditunjuk ayat (1) – (3) adalah sama, maka subyek ayat (1) dan (2) pun adalah malaikat.
Selanjutnya, penafsiran ayat (6) Yauma tarjufu r-raajifah, dan ayat (7) Tatba`uhaa r-raadifah dengan tiupan terompet, bukan tanpa alasan. Menurut Yajid, penafsiran tersebut terkait dengan ayat-ayat berikutnya (8-14) yang berbicara tentang Hari Kiamat. Hal ini ditunjukkan oleh ayat (8) Quluubun yaumaïdzin waajifah (“Jantung-jantung pada hari itu berdebaran”). Yaumaïdzin menggunakan tanwin iwadh yang menunjuk pada kalimat yang tidak dicantumkan kembali. Kalimat tersebut menurut Yajid adalah ayat (6) dan (7) sebelumnya. Selain itu, “Rasulullah ketika bicara mengenai ayat ini, menyampaikan tentang kematian,” imbuh Yajid.
Lantas, apa jawaban dari sumpah pada ayat (1)? Menurut Yajid, jawabannya tersirat dalam ayat (6) –(14). Jawaban sumpah tersebut adalah jawaban atas penolakan orang-orang kafir akan kebangkitan. “La tubb atsunna, pasti kamu akan dibangkitkan,” ujar Yajid. Menurutnya, penjelasan tersebut terdapat dalam Tafsir Futuhatul Ilahiah.
No comments:
Post a Comment