Showing posts with label Al-Jathiya. Show all posts
Showing posts with label Al-Jathiya. Show all posts

Wednesday, 4 June 2014

Peringatan Buat Kita




 بسم الله الرحمن الرحيم 

Kitab (al-Quran) ini tidak ada kekurangan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (al-Baqarah; 2)

Katakanlah (Muhammad), "Aku tidak meminta imbalan kepadamu dalam menyampaikan (al-Quran)." Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk (segala umat) seluruh alam. (al-An'am; 90)

Katakanlah (Muhammad), "Kemukakanlah alasan-alasanmu! (Al-Quran) ini adalah peringatan bagi orang yang bersamaku, dan peringatan bagi orang sebelumku." Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui yang hak (kebenaran), kerana itu mereka berpaling. (al-Anbiya; 24)

Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini bahawa (al-Quran) itu benar dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan hati mereka tunduk kepadanya. Dan sungguh, Allah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus. (al-Hajj; 54)




Dan orang-orang kafir itu senantiasa ragu mengenai hal ini (al-Quran), hingga saat kematiannya datang kepada mereka dengan tiba-tiba, atau azab hari kiamat yang datang kepada mereka.  (al-Hajj; 55)

Dan apa yang kami wahyukan kepadamu (Muhammad) iaitu Kitab (al-Quran) itulah yang benar, membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. (Fatir; 31)

Ini (al-Quran) adalah petunjuk. Dan orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Tuhannya, mereka akan mendapat azab berupa siksaan yang sangat pedih. (al-Jasiyah; 11)

(al-Quran) ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini. (al-Jasiyah; 20)

Dan sungguh, al Quran itu pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa. (al-Haqqah; 48)

Dan sungguh, al Quran itu akan menimbulkan penyesalan bagi orang-orang kafir (di akhirat). (al-Haqqah; 50)

Akhir kata,

Dan sungguh, al Quran itu kebenaran yang meyakinkan..  (al-Haqqah; 51)



sumber dari: jieare92.blogspot.com/

Friday, 18 April 2014

membukakan mata yang buta, telinga yang tuli







Al-Qur'an adalah firman Allah, muncul dari dzat-Nya dalam bentuk ucapan yang tak dapat dilukis keindahannya. Diturunkan kepada Rasul-Nya dalam bentuk wahyu, orang-orang mukmin mengimaninya dengan keimanan yang sempurna. Mereka beriman tanpa keraguan, bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah yang nyata. Bukan ciptaanNya, seperti layaknya perkataan makhluk, barang siapa mendengarnya dan menganggap sebagai perkataan manusia, maka ia telah kafir.

Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan sifat kepadanya, sebagaimana disebutkan dalam firmanNya:
Dan sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur'an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
{Fushshilat 41:41-42}
Di dalam ayat yang lain Allah juga mensifatinya dengan firman-Nya:
(inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.
{Huud 11:1}
Sungguh ayat-ayat Al-Qur'an ini sangat cermat dan teliti, jelas dan terperinci, yang telah ditetapkan oleh yang Maha Bijaksana, dan yang telah diuraikan oleh yang Maha Tahu. Kitab ini akan terus menjadi mukjizat dari segi keindahan bahasa, syariat, ilmu pengetahuan, sejarah dan lain sebagainya. Sampai Allah mengambil kembali bumi dan yang ada di dalamnya, tidak akan terdapat sedikitpun penyelewengan dan perubahan terhadapnya.
sebagai bukti akan kebenaran firman Allah:
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
{Al-Hijr 22:9}
Dunia secara keseluruhan belum pernah memperoleh sebuah kitab seperti Al-Qur'an yang mulia ini, yang mencakup segala kebaikan, dan memberi petunjuk kepada jalan yang paling lurus, serta mencakup semua hal yang akan membahagiakan manusia.
Allah berfirman:
Sesungguhnya Al-Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.
{Al-Isra 17:9}
Al-Qur'an ini diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan, menuju cahaya.
Allah berfirman:
(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.
{Ibrahim 14:1}
Dengan Al-Qur'an, Allah telah membukakan mata yang buta, telinga yang tuli dan hati yang lalai. Bila dibaca dengan benar, dipahami setiap surat dan ayat-ayatnya, dipahami secara mendalam setiap kalimat dan kata-katanya, tidak keluar dari batas-batasnya, melaksanakan perintah-perintah yang ada di dalamnya, menjauhi larangan-larangan, berakhlak dengan apa yang disyariatkan, dan menerapkan prinsip-prinsip dan nilai terhadap dirinya, keluarga dan masyarakatnya, maka akan menjadikan umat Islam merasa aman, tenteram dan bahagia di dunia dan akhirat.
Allah berfirman:
Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya.
{Al-Baqarah 2:121}
Ibnu Abbas berkata: "Mereka mengikutinya dengan sebenarnya, menghalalkan yang telah dihalalkan dan mengharamkan yang telah diharamkan serta tidak menyelewengkannya dari yang semestinya". Dan Qatadah berkata: "Mereka itu adalah sahabat-sahabat Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam. Beriman kepada kitab Allah, lalu membenarkannya, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram serta melaksanakan apa yang ada di dalamnya".

Makhluk jin sangat terkesan sekali tatkala mendengarkan bacaan Al-Qur'an, hati mereka dipenuhi dengan kecintaan dan penghargaan terhadapnya, dan mereka bersegera mengajak kaumnya untuk mengikutinya.
sebagaimana yang disebutkan Allah dalam firman-Nya:
lalu mereka berkata: "Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Qur'an yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorang pun dengan Tuhan kami, dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak".
{Jinn 71:1-3}
Allah telah bercerita tentang mereka dalam Al-Qur'an:
Mereka berkata: Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al-Qur'an) yang diturunkan setelah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih.
{Al-Ahqaf 46:30-31}
Oleh karenanya, kitab yang mulia ini mengungguli kitab-kitab samawi sebelumnya. Dan kedudukannya pun di atas kitab-kitab itu.
Allah berfirman:
Dan sesungguhnya Al-Qur'an itu dalam induk Al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah.
{Az-Zukhruf 43:4}
Dan firman Allah dalam ayat yang lain:
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu.
{Al-Maidah 5:48}
Diantara keunggulan Al-Qur'an juga, bahwa Allah menjadikan gaya bahasanya mengandung mukjizat, sekalipun kitab-kitab lain juga mengandung mukjizat dari segi pemberitaan tentang yang gaib dan hukum-hukum, namun gaya bahasanya biasa-biasa saja, maka dari segi ini Al-Qur'an lebih unggul.
Hal ini diisyaratkan oleh firman Allah:
Dan sesungguhnya Al-Qur'an itu dalam induk Al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah.
{Az-Zukhruf 43:4}
Dan firman Allah:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia.
{Al-Imran 3:110}
Al-Hafiz Ibnu Katsir dalam kitabnya, Fadhailul Qur'an (keutamaan-keutamaan Al-Qur'an) halaman:102-123, mengatakan: "Hal ini mereka raih berkat Al-Qur'an yang agung, yang mana Allah telah memuliakannya dari semua kitab yang pernah diturunkan-Nya, dan Dia jadikan sebagai batu ujian, penghapus dan penutup bagi kitab-kitab sebelumnya, karena semua kitab terdahulu diturunkan ke bumi dengan sekaligus, sedangkan Al-Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang terjadi, demi untuk menjaganya dan menghargai orang yang diberi wahyu. Setiap kali ayat Al-Qur'an turun, seperti keadaan turunnya kitab-kitab sebelumnya".

Kitab yang mulia ini telah mengungkap banyak sekali kebenaran ilmiah kosmos, dalam ayat-ayat yang membuktikan wujud Allah, kekuasaan dan keesaan-Nya.
Allah berfirman:
Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?
{Al-Anbiya 21:30}
Al-Qur'an juga menganjurkan agar memanfaatkan apa yang dapat ditangkap oleh indra mata dalam kehidupan sehari-sehari dari ciptaan Allah.
sebagaimana difirmankan:
Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi".
{Yunus 10:101}
Dan Allah berfirman:
Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.
{Al-Jathiya 45:13}
Kaum muslimin hendaknya mempelajari ilmu-ilmu alam, serta menikmati manfaat dari kekuatan-kekuatan yang tersimpan di langit dan bumi. Sesungguhnya pembicaraan tentang Al-Qur'an tidak akan ada habis-habisnya. Al-Qur'an yang menganjurkan kaum muslimin untuk bersikap adil dan bermusyawarah, dan menanamkan kepada mereka kebencian terhadap kezaliman dan tindakan semena-mena. Syiar para pemeluknya adalah kekuatan iman, tidak sombong, solidaritas dan bersikap kasih sayang antara sesama mereka.

Hendaknya kita hidup dengan Al-Qur'an, membaca, memahami, mengamalkan dan menghafal. Hidup dengan Al-Qur'an adalah perbuatan yang paling terpuji, yang patut dilakukan oleh orang mukmin.
Allah berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mengerjakan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.
{Fatir 35:29-30}
Dalam dua ayat tersebut di atas, Allah menganjurkan bagi orang-orang yang membaca Al-Qur'an agar disertai dengan perenungan, sehingga akan menimbulkan pengetahuan yang pada gilirannya akan menimbulkan pengaruh. Tidak diragukan lagi bahwa pengaruh membaca Al-Qur'an adalah melaksanakan dalam bentuk perbuatan.

Oleh karena itu Allah iringi amalan membaca Al-Qur'an dengan mendirikan shalat, menafkahkan sebagian rezki yang dikarunia Allah secara diam-diam dan terang-terangan, kemudian dengan demikian orang-orang yang membaca Al-Qur'an itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan merugi. Mereka mengetahui bahwa karunia Allah lebih baik dari apa yang mereka infakkan. Oleh karena mereka mengadakan perniagaan di mana Allah menambahkan karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Berterima kasih, mengampuni kelalaian, dan berterima kasih atas pelaksanaan tugas.

Oleh karena itu kita harus selalu membaca Al-Qur'an dengan perenungan dan kesadaran, sehingga dapat memahami Al-Quran secara mendalam. Bila seorang pembaca Al-Qur'an menemukan kalimat yang belum dipahami, hendaknya bertanya kepada orang yang mempunyai pengetahuan.
Allah berfirman:

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
{An-Nahl 16:43}
Mempelajari Al-Qur'an sangat diperlukan. Disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasul Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda: "Tidaklah suatu kaum berkumpul di sebuah rumah Allah, membaca kitab Allah dan mempelajarinya, melainkan akan diturunkan kepada mereka ketenangan, diliputi oleh rahmat, dan dikelilingi oleh malaikat, dan mereka akan disebut-sebut Allah dihadapan orang-orang yang ada di sisi-Nya (para malaikat), dan barang siapa amalnya kurang, tidak dapat ditambah oleh nasabnya. {Diriwayatkan oleh Muslim, 2699}. Sabda Rasul dalam hadis ini, "Tidaklah suatu kaum berkumpul di sebuah rumah Allah", "Rumah" di sini bukanlah batas, terbukti dengan sebuah hadis riwayat Muslim yang lain yang mengatakan: "Tidaklah suatu kaum berzikir kepada Allah, melainkan akan diliputi oleh para malaikat" Jika berkumpul di tempat lain, selain rumah Allah (mesjid) maka bagi mereka keutamaan yang sama dengan mereka yang berkumpul di mesjid. Pembatasan "di rumah Allah" dalam hadis di atas, hanyalah karena seringnya tempat itu dijadikan tempat berkumpul, akan tetapi tidak ada keharusan berkumpul untuk membaca dan mempelajari ayat-ayat Al-Qur'an dan kandungan hukumnya, di mana pun tempatnya akan mendapatkan keutamaan yang sama. Adapun jika berkumpul untuk belajar di mesjid lebih utama, hal itu dikarenakan mesjid mempunyai keistimewaan dan kekhususan yang tidak dimiliki oleh tempat yang lain.

Diriwayatkan oleh ibnu Masud ra. ia berkata, Rasul Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda:
"Barang siapa membaca satu huruf dari Al-Qur'an, maka ia akan memperoleh kebaikan. Kebaikan itu berlipat sepuluh kali. Aku tidak mengatakan, Alif Laam Miim satu huruf, akan tetapi, Alif adalah huruf, Lam huruf, dan Mim huruf. {H. R. Tirmizi. Nomor:3075}.Dari Usman bin Affan ra. dari Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam ia bersabda: "Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur'an dan mengajarkannya kepada orang lain".{Bukhari. Nomor:4739}. Hadis ini menunjukkan akan keutamaan membaca Al-Qur'an. Suatu ketika Sufyan Tsauri ditanya, manakah yang engkau cintai orang yang berperang atau yang membaca Al-Qur'an? Ia berkata, membaca Al-Qur'an, karena Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda: "Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur'an dan mengajarkannya kepada orang lain" Imam Abu Abdurrahman As-Sulami tetap mengajarkan Al-Qur'an selama empat puluh tahun di mesjid agung Kufah disebabkan karena ia telah mendengar hadis ini. Setiap kali ia meriwayatkan hadis ini, selalu berkata: "Inilah yang mendudukkan aku di kursi ini".

Al hafiz Ibnu Katsir dalam kitabnya Fadhail Qur'an halaman 126-127 berkata: [Maksud dari sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam. "Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur'an dan mengajarkan kepada orang lain" adalah, bahwa ini sifat-sifat orang-orang mukmin yang mengikuti dan meneladani para rasul. Mereka telah menyempurnakan diri sendiri dan menyempurnakan orang lain. Hal itu merupakan gabungan antara manfaat yang terbatas untuk diri mereka dan yang menular kepada orang lain.
Allah berfirman:

Orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Kami tambahkan kepada mereka siksaan di atas siksaan.
{An-Nahl 16:88}
Sebagaimana firman Allah:
Mereka melarang (orang lain) mendengarkan Al-Qur'an dan mereka sendiri menjauhkan diri daripadanya.
{Al-An'am 6:158}
Penafsiran yang paling benar dalam ayat di atas, dari dua penafsiran ahli tafsir adalah bahwa, mereka melarang orang-orang untuk mengikuti Al-Qur'an, sementara mereka sendiri pun menjauhkan diri darinya. Mereka menggabungkan antara kebohongan dan berpaling.
Sebagaimana firman Allah:
Atau agar kamu (tidak) mengatakan: "Maka siapakah yang lebih lalim daripada orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling daripadanya?"
{Al-An'am 6:157}
Beginilah perihal orang-orang kafir yang jahat, sedangkan orang-orang mukmin yang baik dan pilihan selalu menyempurnakan dirinya dan berusaha menyempurnakan orang lain, sebagaimana tersebut dalam hadis di atas.
Allah berfirman:
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?".
{Fushilat 41:33}
Ayat ini menggabungkan antara seruan kepada Allah, baik dengan azan atau yang lainnya, seperti mengajarkan Al-Qur'an, hadis, fikih dan lainnya yang mengacu kepada keridaan Allah. dan dengan perbuatan saleh, dan juga berkata dengan ucapan yang baik.

Rahmat Allah akan dilimpahkan kepada orang-orang yang membaca Al-Qur'an dan mereka yang menegakkan hukumnya, juga mencakup orang-orang yang mendengarkan bacaannya.
Allah berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mengerjakan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.
{Al-Anfal 8:2-4}
Dari Abdullah Ibnu Masud ra. ia berkata, Rasul Shalallahu 'Alaihi Wassalam. berkata kepadaku: 430 - Hadis riwayat Abdullah bin Masud ra. ia berkata: Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam. bersabda kepadaku: Bacakan Al-Qur'an kepadaku. Aku bertanya: Wahai Rasulullah! Aku harus membacakan Al-Qur'an kepada Anda, sedangkan kepada Andalah Al-Qur'an itu diturunkan? Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam. bersabda: Sesungguhnya aku senang bila mendengarkan dari orang selainku. Aku lalu bacakan surat An-Nisa. Ketika sampai pada firman yang berbunyi:

فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا
Maka bagaimanakah "halnya orang kafir nanti", jika Kami mendatangkan seorang saksi "rasul" dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu "Muhammad" sebagai saksi atas mereka itu "umatmu".

Beliau berkata: "Cukup", lalu aku menoleh kepada beliau, tiba-tiba aku lihat beliau mencucurkan air mata. {H.R. Bukhari nomor:4582, Muslim nomor:800 dan Abu Daud Nomor:3668}.
Imam Nawawi berkomentar: [Ada beberapa hal yang dapat dipetik dari hadis ini, di antaranya: sunat hukumnya mendengarkan bacaan Al-Qur'an, merenungi, dan menangis ketika mendengarnya, dan sunat hukumnya seseorang meminta kepada orang lain untuk membaca Al-Qur'an agar dia mendengarkannya, dan cara ini lebih mantap untuk memahami dan mentadabburi Al-Quran, dibandingkan dengan membaca sendiri].

Setiap orang muslim hendaknya tahu akan hak-hak Al-Qur'an; menjaga kesuciannya, komitmen terhadap batas-batas yang telah ditetapkan oleh agama saat mendengarkan bacaannya, dan meneladani para salaf (pendahulu) saleh dalam membaca dan mendengarkannya. Sungguh mereka itu bagaikan matahari yang menerangi hati dan dapat diteladani dalam kekhusyukan yang sempurna dalam meresapi,dan mengimani.
Firman Allah:
Dan sesungguhnya Al-Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.
{Asy-Syu'ara 26:192-195}
Memang benar adanya, bahwa Al-Qur'an, baik lafal maupun makna adalah firman Allah, yang merupakan sistem dari langit untuk seluruh makhluk, khususnya manusia. Selain itu ia merupakan rujukan utama perkara-perkara agama dan sandaran hukum. Hukum-hukum yang ada di dalamnya tidaklah diturunkan sekaligus, akan tetapi diturunkan secara berangsur selama masa kerasulan; ada yang turun untuk menguatkan dan memperkokoh pendirian Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam, ada yang turun mendidik umat yang baru saja tumbuh dan ada pula yang diturunkan oleh karena peristiwa keseharian yang dialami oleh umat Islam di tempat dan waktu yang berbeda-beda. Setiap kali ada peristiwa, turunlah ayat Al-Qur'an yang sesuai dan menjelaskan hukum Allah atas peristiwa itu. Di antaranya adalah kasus-kasus dan peristiwa yang terjadi pada masyarakat Islam, pada masa pensyariatan hukum, di mana umat Islam ingin mengetahui hukumnya, maka turunlah ayat yang menjelaskan hukum Allah, seperti larangan minuman keras.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Abu Hurairah ra. ia berkata, Rasul Shalallahu 'Alaihi Wassalam. datang ke Madinah dan mendapati orang-orang meminum minuman keras, dan makan dari hasil berjudi. Lalu mereka bertanya kepada Rasul Shalallahu 'Alaihi Wassalam tentang masalah itu.
Maka Allah menurunkan ayat:
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.
{Al-Baqarah 2:219}
Lalu orang-orang berkata: "Tidak diharamkan, hanya saja pada keduanya dosa yang besar". Selanjutnya mereka masih juga banyak yang minum khamar (minuman keras), sampai pada suatu hari, seorang dari Kaum Muhajirin mengimami sahabat-sahabatnya pada shalat Magrib. Bacaannya campur aduk antara satu dengan yang lain, sehingga Allah menurunkan ayat Al-Qur'an yang lebih keras dari ayat sebelumnya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.
{An-Nisa 4:43}
Akan tetapi, Orang-orang masih juga banyak yang meminum minuman keras, hingga salah seorang melakukan shalat dalam keadaan mabuk.
Lalu turunlah ayat Al-Qur'an yang lebih keras lagi:
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
{Al-Maidah 5:90}
Mereka berkata: "Kami tidak akan melakukannya lagi wahai Tuhan!" Lalu orang-orang berkata: "Wahai Rasulullah banyak orang yang terbunuh di jalan Allah, atau mati di atas kasurnya, padahal mereka telah meminum khamar dan makan dari hasil perjudian, sedangkan Allah telah menjadikan keduanya, najis yang merupakan perbuatan setan".
Maka turunlah ayat:
Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebaikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.
{Al-Maidah 5:93}
Nabi bersabda: "Jika diharamkan atas mereka sebelumnya, niscaya mereka akan meninggalkannya sebagaimana halnya kalian meninggalkan.{Musnad Ahmad 2/251 dan 252}. Dalam sahih Bukhari, hadis nomor:4620, disebutkan, dari Anas bin Malik ra. ia berkata: "Dulu aku pernah jadi penyuguh minuman (khamar) di rumah Abu Thalhah, dan turunlah ayat pengharaman minuman keras. Lalu diutuslah seseorang untuk menyerukan larangan ini. Abu Thalhah berkata, "Keluarlah dan lihat suara apakah itu". Lalu aku keluar, dan aku berkata: "Sungguh minuman keras telah diharamkan". Ia berkata kepadaku: "Pergi, dan tumpahkanlah". Anas berkata: "Aku pun keluar dan menuangkannya. Saat itu khamar mengalir di jalan-jalan Madinah." Anas berkata: "Jenis khamar pada saat itu adalah yang terbuat dari kurma." Sebagian orang berkata: "Telah banyak yang terbunuh, sedangkan minuman itu ada di dalam perut mereka". Ia berkata, lalu turunlah ayat: "Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu".

Dari yang disebutkan di atas, kita mengetahui bahwa larangan meminum khamar (minuman keras)terjadi dalam tiga tahap, yaitu ketika turun surat Al-Baqarah: "Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".

Ayat ini mengandung larangan meminum minuman keras dengan cara yang halus. Maka yang meninggalkannya ketika itu hanya sekelompok orang yang tingkat ketakwaan mereka sangat tinggi. Umar ra. berkata, "Ya Allah, berikanlah penjelasan yang terang tentang hukum meminum minuman keras". Lalu turunlah ayat yang berbunyi: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan". Lalu umat Islam menghindari untuk meminumnya pada waktu-waktu mendekati shalat. Umar ra. berkata, "Ya Allah, berikanlah penjelasan yang terang tentang minuman keras". Maka turunlah surat Al-Ma'idah: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan, Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).

Saat itulah ketika diserukan dan dibacakan ayat ini, Umar ra. berkata, "Kami berhenti (dari melakukannya)". Demikianlah proses pensyariatan yang bertahap, di mana Allah menyucikan umat Islam dari adat istiadat yang bertentangan dengan sistem Islam, dan melengkapi mereka dengan sifat-sifat yang mulia, seperti: pemaaf, penyabar, kasih sayang, jujur, menghormati tetangga, berlaku adil dan perbuatan baik yang lain.

Hanya Allah semata yang menetapkan syariat untuk para hambanya.
Allah berfirman:
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.
{Al-An'am 6:57}
Syariat itu ditetapkan tiada lain kecuali hanya untuk kebaikan dan kebahagiaan manusia, baik hikmah yang terkandung di dalamnya tampak atau pun tidak. Al-Qur'an adalah sumber pertama syariat. Adapun sumber kedua adalah sunah, dan tidak ada perselisihan antara para ulama bahwa sunah merupakan hujah dalam syariat di samping Al-Qur'an.
Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
{An-Nisa 4:59}
Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.
{An-Nahl 16:44}
Dan firman Allah:
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.
{Al-Hasyr 59:7}
Imam Ibnu Qayimil Jauziah dalam bukunya "A,lamul Muwaqqi,in ,An Rabil Alamin", halaman, 263, menjelaskan tentang peran sunah terhadap Al-Qur'an, ia berkata: "Peran sunah terhadap Al-Qur'an ada tiga: Pertama, Mempunyai maksud sama dengan Al-Quran dilihat dari semua segi. Sehingga masing-masing ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi yang sama-sama menunjukkan kepada hukum yang sama termasuk dalam kategori suatu yang hukum mempunyai lebih dari satu dalil. Kedua, Menjelaskan maksud dari Al-Qur'an dan penafsirannya. Ketiga, Menetapkan suatu hukum, wajib atau haram, yang tidak ada terdapat dalam Al-Qur'an. Peran itu tidak keluar dari tiga hal ini dan tidak ada pertentangan sama sekali antara Al-Qur'an dan sunah.

Oleh karenanya, sunah menegaskan suatu hukum dari Al-Qur'an, kadang kala ia menafsirkan teks Al-Qur'an atau menguraikan hukum yang dijelaskan secara ringkas dalam Al-Qur'an, bahkan juga menetapkan suatu hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Qur'an. Namun demikian sunah tidak menetapkan sebuah hukum, kecuali bila di dalam Al-Qur'an tidak diketemukan hukum yang dimaksud. Sunahlah yang menjelaskan kepada kita -umat Islam- bahwa shalat yang diwajibkan adalah lima kali sehari semalam, darinya juga diketahui jumlah rakaat dalam shalat dan rukun-rukunnya, menjelaskan hakikat zakat, dan ke mana disalurkan serta berapa nisabnya. Dan sunah juga yang menjelaskan kepada kita cara-cara haji dan umrah, dan bahwa ibadah haji hanya wajib sekali dalam seumur hidup, dan ia pula yang menerangkan tentang miqat-miqat haji, zamani dan makani (waktu dan tempat) dan jumlah putaran tawaf.

Maka bagi mereka yang hanya berpegang terhadap Al-Qur'an dengan meninggalkan sunah, hendaknya segera memperbaharui keimanannya dan segera kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Allah berfirman:
Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.
{Taha 20:82}
Al-Qur'an dan Sunah, kedua-duanya merupakan wahyu Allah kepada Rasul-Nya, dan dua sumber syariat Islam yang mengembalikan manusia pada fitrahnya, dan menjadikan manusia mengetahui jalan hidupnya. Allah berfirman:
Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk.
{Al-A'raf 7:43}



sumber dari: ichsanafriadi.com/

Friday, 4 April 2014

Réfléchir aux versets du Coran





athee-croyant-intelligence


Le coran constitue la dernière révélation que les êtres humains ont reçu de la part de Dieu, il incombe donc à chaque individu d’étudier ce livre et de méditer sur son contenu , Dieu atteste que le Coran fut révélé afin que les gens réfléchissent à ses versets :
[Voici] un Livre béni que Nous avons fait descendre vers toi, afin qu’ils méditent sur ses versets et que les doués d’intelligence réfléchissent’ (Sourate Sâd, 29)
Dieu souligne l’importance de la réflexion. Ainsi, on retrouve souvent dans le Coran des phrases comme : "Ne réfléchissez-vous point ?" et "voilà des signes pour ceux qui réfléchissent". Les appels à la réflexion et les sujets de méditation sont illimités. Dieu invite les gens à méditer sur de nombreux sujets, tel l’ordre extraordinaire de l’univers, les êtres vivants sur terre, les systèmes parfaits de ces êtres vivants, les événements qu’il vit, les bienfaits que Dieu crée continuellement, les calamités envoyées aux incrédules, le paradis, l’enfer, l’éternité… Chaque sujet auquel nous réfléchissons nous confère une meilleure appréciation de l’omnipotence, la sagesse, la science, l’art et les autres attributs d’Allah.
Allah invite l’homme à réfléchir sur sa propre création
Et l’homme dit: "Une fois mort, me sortira-t-on vivant?" L’homme ne se rappelle-t-il pas qu’avant cela, c’est Nous qui l’avons créé, alors qu’il n’était rien? (Sourate Mariam, 66-67)
Allah invite les gens à réfléchir sur la création de l’univers.
Certes la création des cieux et de la terre, dans l’alternance de la nuit et du jour, dans le navire qui vogue en mer chargé de choses profitables aux gens, dans l’eau qu’Allah fait descendre du ciel, par laquelle Il rend la vie à la terre une fois morte et y répand des bêtes de toute espèce, dans la variation des vents, et dans les nuages soumis entre le ciel et la terre, en tout cela il y a des signes, pour un peuple qui raisonne. (Sourate Al-Baqarah, 164)
Allah invite les gens à réfléchir sur la nature temporaire de ce monde:
La vie présente est comparable à une eau que Nous faisons descendre du ciel et qui se mélange à la végétation de la terre dont se nourrissent les hommes et les bêtes. Puis lorsque la terre prend sa parure et s’embellit, et que ses habitants pensent qu’elle est à leur entière disposition, Notre Ordre lui vient, de nuit ou de jour, c’est alors que Nous la rendrons toute moissonnée, comme si elle n’avait pas été florissante la veille. Ainsi exposons-Nous les preuves pour des gens qui réfléchissent. (Sourate Yûnus, 24)
Allah invite les gens à réfléchir sur les bienfaits qu’ils possèdent:
Et c’est Lui qui a étendu la terre et y a placé montagnes et fleuves. Et de chaque espèce de fruits Il y établit deux éléments de couple. Il fait que la nuit couvre le jour. Voilà bien là des preuves pour des gens qui réfléchissent.
Et sur la terre il y a des parcelles voisines les unes des autres, des jardins [plantés] de vignes, et des céréales et des palmiers, en touffes ou espacés, arrosés de la même eau, cependant Nous rendons supérieurs les uns aux autres quant au goût. Voilà bien là des preuves pour des gens qui raisonnent.
(Sourate ar-Ra’d, 3-4)
Allah invite l’homme à réfléchir au fait que tout l’univers a été créé pour l’homme:
Et Il vous a assujetti tout ce qui est dans les cieux et sur la terre, le tout venant de Lui. Il y a là des signes pour des gens qui réfléchissent. (Sourate Al-Djathiya, 13)
D’elle, Il fait pousser pour vous, les cultures, les oliviers, les palmiers, les vignes et aussi toutes sortes de fruits. Voilà bien là une preuve pour des gens qui réfléchissent. Pour vous, Il a assujetti la nuit et le jour; le soleil et la lune. Et à Son ordre sont assujetties les étoiles. Voilà bien là des preuves pour des gens qui raisonnent. Ce qu’Il a créé pour vous sur la terre a des couleurs diverses. Voilà bien là une preuve pour des gens qui se rappellent. Et c’est Lui qui a assujetti la mer afin que vous en mangiez une chair fraîche, et que vous en retiriez des parures que vous portez. Et tu vois les bateaux fendre la mer avec bruit, pour que vous partiez en quête de Sa grâce et afin que vous soyez reconnaissants. Et Il a implanté des montagnes immobiles dans la terre afin qu’elle ne branle pas en vous emportant avec elle de même que des rivières et des sentiers, afin que vous vous guidiez, ainsi que des points de repère. Et au moyen des étoiles [les gens] se guident. Celui qui crée est-il semblable à celui qui ne crée rien? Ne vous souvenez-vous pas? (Sourate an-Nahl, 11-17)
Allah invite les gens à réfléchir sur eux-mêmes:
N’ont-ils pas médité en eux-mêmes? (Sourate ar-Rûm, 8)
Allah invite les gens à réfléchir au sujet de bonnes valeurs et actions:
Certes, Allah commande l’équité, la bienfaisance et l’assistance aux proches. Et Il interdit la turpitude, l’acte répréhensible et la rébellion. Il vous exhorte afin que vous vous souveniez. (Sourate an-Nahl, 90)
Ô vous qui croyez’ N’entrez pas dans des maisons autres que les vôtres avant de demander la permission [d'une façon délicate] et de saluer leurs habitants. Cela est meilleur pour vous. Peut-être vous souvenez-vous.
(Sourate an-Nûr, 27)
Allah invite les gens à réfléchir à l’Au-delà, à l’Heure, et au Jour du Jugement.
Et rappelle-toi Ibrâhîm, Ishâq et Ya’qûb? Nos serviteurs puissants et clairvoyants. Nous avons fait d’eux l’objet d’une distinction particulière: le rappel de l’au-delà. (Sourate Sâd, 45-46)
Qu’est-ce qu’ils attendent sinon que l’Heure leur vienne à l’improviste? Or ses signes avant-coureurs sont certes déjà venus. Et comment pourront-ils se rappeler quand elle leur viendra (à l’improviste)? (Sourate Muhammad, 18)
Allah invite l’homme à réfléchir au sujet des êtres animés qu’Il crée
[Et voilà] ce que ton Seigneur révéla aux abeilles: "Prenez des demeures dans les montagnes, les arbres, et les treillages que [les hommes] font. Puis mangez de toute espèce de fruits, et suivez les sentiers de votre Seigneur, rendus faciles pour vous. De leur ventre, sort une liqueur, aux couleurs variées, dans laquelle il y a une guérison pour les gens. Il y a vraiment là une preuve pour des gens qui réfléchissent. (Sourate an-Nahl, 68-69)
Allah invite l’homme à penser aux châtiments qu’il pourrait subir soudainement
Dis: "Informez-moi: si le châtiment d’Allah vous vient ou que vous vient l’Heure, ferez-vous appel à autre qu’Allah, si vous êtes véridiques? (Sourate al-An’âm, 40)
Dis: "Voyez-vous? Si Allah prenait votre ouïe et votre vue, et scellait vos cœurs, quelle divinité autre qu’Allah vous les rendrait? Regarde comment, à leur intention, Nous clarifions les preuves’ Pourtant ils s’en détournent. Dis: "Que vous en semble? Si le châtiment d’Allah vous venait à l’improviste ou au grand jour, qui seront détruits sinon les gens injustes? " (Sourate al-An’âm, 46-47)
Nous avons en effet, donné le Livre à Moïse, – après avoir fait périr les anciennes générations, – en tant que preuves illuminantes pour les gens, ainsi que guidée et miséricorde afin qu’ils se souviennent. (Sourate al-Qasas, 43)
En effet, nous avons fait périr des peuples semblables à vous. Y a-t-il quelqu’un pour s’en souvenir? (Sourate al-Qamar, 51)
Allah invite l’homme à réfléchir sur le Coran
Ne méditent-ils donc pas sur le Coran? S’il provenait d’un autre qu’Allah, ils y trouveraient certes maintes contradictions’ (Sourate an-Nisâ, 82)
[Voici] un Livre béni que Nous avons fait descendre vers toi, afin qu’ils méditent sur ses versets et que les doués d’intelligence réfléchissent’ (Sourate Sâd, 29)
Ah’ Non’ Ceci est vraiment un Rappel. Quiconque veut, qu’il se le rappelle. (Sourate al-Muddaththir, 54-55)
C’est ainsi que nous l’avons fait descendre un Coran en [langue] arabe, et Nous y avons multiplié les menaces, afin qu’ils deviennent pieux ou qu’il les incite à s’exhorter?
(Sourate Tâ Hâ, 113)
Tous les Messagers ont invité leurs peuples, qui ne raisonnaient pas bien, à réfléchir
Dis-leur: "Je ne vous dis pas que je détiens les trésors d’Allah, ni que je connais l’Inconnaissable, et je ne vous dis pas que je suis un ange. Je ne fais que suivre ce qui m’est révélé." Dis: "Est-ce que sont égaux l’aveugle et celui qui voit? Ne réfléchissez-vous donc pas? "
(Sourate al-An’âm, 50)
Son peuple disputa avec lui; mais il dit: "Allez-vous disputer avec moi au sujet d’Allah, alors qu’Il m’a guidé? Je n’ai pas peur des associés que vous Lui donnez. Je ne crains que ce que veut mon Seigneur. Mon Seigneur embrasse tout dans Sa science. Ne vous rappelez-vous donc pas? (Sourate al-An’âm, 80)



sumber dari: http://meniermustapha.wordpress.com/

Wednesday, 19 March 2014

Selisihi Nafsumu







Imam Ibnu Qoyim al-Jauziyah pernah mengatakan,

“Sesungguhnya setan tidak memiliki pintu masuk ke dalam dada manusia selain dari pintu nafsu. Setan senantiasa mengintai manusia, kiranya dari arah mana ia bisa masuk, lalu merusak hati serta amalan hamba tersebut. Namun setan tidak mendapati pintu masuk dan tidak pula ia dapati jalan menuju ke sana selain dari nafsunya. Lalu setan pun ikut dalam arus nafsu tersebut sebagaimana ikut larutnya racun dalam aliran darah di setiap urat-urat”.[1]


Kewajiban setiap hamba ialah memerangi setan dengan cara meninggalkan seruan nafsunya. Sesungguhnya setan tak akan berpisah dari nafsu seseorang. Seorang hamba juga harus memerangi setan dengan mengekang nafsunya, dengan senantiasa menghakiminya dalam setiap urusan secara mutlak. Berhenti sejenak setiap hendak melakukan setiap urusan agar jangan sampai ada tersisa sedikit pun bagian bagi nafsu saat ia harus berbuat atau meninggalkan sesuatu.

Ibnu Qoyim al-Jauziyah juga mengatakan,

”Sesungguhnya setan itu tatkala mendapati pada diri seorang hamba kelemahan semangat, rendahnya kemauan, serta kecenderungannya terhadap nafsu, ia akan sangat mengharapkan hamba tersebut sehingga ia pun merasukinya dan membelenggunya dengan belenggu nafsu. Dan setan itu akan menghalaunya ke arah mana yang ia kehendaki. Sedangkan tatkala setan mulai merasakan munculnya semangat yang kuat, kemuliaan jiwa, serta ketinggian kemauan, ia tidak lagi berharap pada hamba tersebut selain hanya sekedar serobotan dan mencuri-curi (kesempatannya).”[2]

Ini bukan berarti bahwa manusia tidak boleh bernafsu sama sekali. Tetapi hendaknya ia memalingkan nafsunya menuju sesuatu yang bermanfaat baginya dan untuk menunaikan sesuatu yang dikehendaki oleh Robbul‘alamin Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga ia pun terhindar dari memperturutkan nafsunya dalam bermaksiat kepada Alloh Azza wa Jalla.

Memang, seharusnya segala sesuatu yang ada pada diri seseorang itu tidak dipergunakan selain Lillahi Ta’ala, untuk menaati Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga Dia Subhanahu wa Ta’ala pun memeliharanya dari kejelekan penggunaan nafsu bagi dirinya dan setan.  Dan sesuatu yang tidak dipergunakan Lillahi Ta’ala maka berarti ia telah menuruti nafsunya.

Ilmu pun bila tidak Lillahi Ta’ala berarti hanya untuk nafsu dan demi nafsu semata. Sebagaimana amalan bila bukan Lillahi Ta’ala maka demi pamrih, riya’, dan kemunafikan semata. Begitu juga harta bila tidak diinfakkan di jalan ketaatan kepada Alloh Azza wa Jalla, maka ia hanya diinfakkan untuk menaati nafsu dan setan semata. Kebesaran seseorang di hadapan manusia bila tidak dia gunakan untuk memenuhi perintah Alloh maka ia hanyalah memenuhi perintah nafsu dan mengenyangkannya semata. Kekuatan dan tenaga bila tidak dicurahkan untuk menunaikan ketaatan kepada Alloh maka ia hanya akan dicurahkan untuk bermaksiat kepada-Nya Subhanahu wa Ta’ala.

Maka, barang siapa yang telah membiasakan nafsunya untuk beramal Lillahi Ta’ala niscaya tidak ada sesuatu yang lebih berat bagi nafsu tersebut selain beramal kepada selain-Nya Azza wa Jalla.

Sebaliknya siapa saja yang terbiasa menuruti kemauan nafsunya, maka tidak ada seuatu yang lebih berat bagi nafsu tersebut selain beramal ikhlas Lillahi Ta’ala. Itulah kenyataan para penyembah nafsu.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلا
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? (QS al-Furqon: 43)
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلا تَذَكَّرُونَ (٢٣)
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah Telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS al-Jatsiyah: 23)
Menyelishi nafsu hanya bisa dilakukan atas dasar cinta yang besar kepada Alloh, berharap balasan pahala di sisi-Nya, dan takut dari ditutupnya tabir serta azab dari-Nya.
Alloh Azza wa Jalla berfirman:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى   .فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
Dan ada pun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya). (QS an-Nazi’at: 40-41)
Imam Ibnu Qoyim al-Jauziyah mengatakan,

”Maka nafsu itu mengajak menuju penyelewengan dan mementingkan kehidupan dunia, sedangkan Robb Subhanahu wa Ta’ala menyeru hamba-Nya menuju rasa takut kepada-Nya dan melarang setiap diri dari menuruti nafsu. Sementara hati itu berada di antara dua seruan tersebut, sesekali cenderung ke seruan yang ini, dan sesekali cenderung ke seruan yang itu. Ini adalah benar-benar ujian. Dan Alloh Azza wa Jalla telah menyifati jiwa di dalam al-Qur’an dengan tiga sifat; muthmainnah, ammaroh bissuu’, dan lawwamah. Artinya: tenang, menyuruh perlakuan keji, dan berkeluh kesah.” [3]

Seseorang yang takut akan keagungan dan kebesaran Robbnya tentu tidak akan berbuat maksiat. Seandainya Alloh menakdirkan ia melakukannya sebab sifat lemah yang dimiliki oleh sifat kemanusiaannya, rasa takutnya akan segera membelokkannya menuju penyesalan yang sangat, istighfar, dan taubat kepada-Nya, sehingga tetap saja ia berada di dalam ketaatan.

Menahan nafsu merupakan titik pusat yang menguasai area ketaatan. Sementara nafsu ialah pendorong utama menuju setiap penyelewengan, melampaui batas, serta kemaksiatan. Ia juga merupakan sumber petaka dan kejahatan, yang sangat langka seseorang menuai keduanya selain dari sebab nafsunya. Maka, tidak seperti kebodohan yang mudah diatasi. Nafsu yang diperturutkan, setelah seseorang berilmu, merupakan petaka bagi dirinya. Butuh terapi yang sungguh-sungguh dan kurun waktu yang tidak singkat dalam mengobatinya.

Sedangkan takut dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala merupakan benteng yang kokoh dalam menghadapi nafsu yang menggebu-gebu. Dan betapa sedikitnya sesuatu yang bisa tetap kokoh menghadapi nafsu selain rasa takut ini. Oleh sebab itulah Alloh Azza wa Jalla mneyebutkan keduanya dalam satu ayat tersebut di atas. Perhatikanlah, bahwa Dzat yang berfirman di sini ialah Alloh Subhanahu wa Ta’ala, Sang Pencipta nafsu, Yang Mahatahu penyakit-penyakit dan bahayanya, Yang Mahatahu penjinak dan obatnya. Dia Subhanahu wa Ta’ala saja Yang Mahatahu di mana nafsu-nafsu itu akan bisa tenang dengan obat-obat penawarnya.

Alloh Azza wa Jalla telah memebebankan setiap manusia agar menahan diri dari nafsunya, menahan dengan kegigihannya. Dan agar ia memohon pertolongan dengan rasa takut kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yaitu rasa takut dari kebesaran dan keagungan Robbnya Yang Mahaagung. Dan Dia Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan Surga sebagai tempat kembali dan pahala bagi siapa saja yang berjihad melawan nafsunya. Yang demikian itu sebab Alloh Azza wa Jalla Mahatahu kebesaran jihad ini, Mahatahu betapa tinggi nilainya dalam mentarbiyah jiwa manusia dan melempangkannya serta mengangkatnya menuju derajat kemanusiaan yang diridhoi oleh-Nya Subhanahu wa Ta’ala.  

Wallohulmuwaffiq.



sumber dari: http://alghoyami.wordpress.com/

Saturday, 8 March 2014

The Daleels On The Haram Ruling of Celebrating A.D. new year






The A.D. new year in our time is celebrated in a grand scale. Sounds of trumpet and fireworks displays emblazon almost all parts of the world in the West, as well as in the East. It is no different whether the majority of the population are kafir or Muslim. Whereas, the celebration is synonymous with festive days of the Christians.

Many batil beliefs exist on new year’s eve. Among others are, whoever drinks the last glass of wine from the bottle after midnight, he will earn good luck. If he is a bachelor, he will be the first person to find a soul mate from among his friends on that night. Other beliefs are, entering the house on the eve of the new year without bringing gifts is a form of misfortune, washing clothes and eating utensils that day is also a sign of misfortune, letting the fire burning all night of the new year will bring a lot of luck, and many other forms of superstitions.

Indeed, those batil beliefs were adopted from the batil beliefs of Christianity. Where the truth is, adopting and imitating these batil beliefs is haram. Because whoever practices tashabbuh (resembling/imitating) on a people, then he is one of them.

It Is Haram To Practice Tashabuh On The Kuffaar

In brief, performing tashabbuh here means one’s attempt to resemble someone else that he wants to be the similar to, whether it be in appearance, characteristic or attribute.

Among the fundamental matters of our religion is to give love to Islam and its adherents, having bara’(abhorring and having nothing to do with) against kufr and its members. And the most visible sign of bara’ is the difference of a Muslim from the Kuffaar, being proud of his religion and feeling honoured with his Islam, no matter how great the strength of the Kuffaar and the progress of their civilization are.

Although the condition of the Muslims is weak, underdeveloped, while the strength of the Kuffaar is very good, still the Muslims cannot make it as an excuse to emulate the Kuffar and a justification to resemble them, as articulated by the munafiqeen and invaders. This is all because of the Shari’e texts which declare haram the act of tashabbuh on the Kuffaar and the prohibition of emulating them does not distinguish between the weak and strong conditions. And also because a Muslim -to the best of his ability- must feel noble with his religion and honoured by his Islam, irrespective of whether they are weak or underdeveloped.

Allah Subhanahu wa Ta’ala calls on the Muslims to feel proud and honoured with his religion. He classifies it as the best speech and the most glorious honour in His verse,

“And who is better in speech than one who invites to Allah and does righteousness and says, “Indeed, I am of the Muslims.”” (QS. Fuşşilat : 33)

Due to the extreme urgency of this issue, i.e. for a Muslim to be different from the Kuffaar, Allah commands the Muslims to pray to Him at least 17 times a day, in order to be distanced from the way of life of the Kuffaar and to be guided to the straight path.

“Guide us to the straight path – The path of those upon whom You have bestowed favour, not of those who have evoked [Your] anger or of those who are astray.” (QS. Al-Fatihah: 6-7)

There are so many nas (texts) of the Qur’an and Sunnah which forbid the act of tashabbuh on them and explain that they are in error.

“Then We put you, [O Muhammad], on an ordained way concerning the matter [of religion]; so follow it and do not follow the inclinations of those who do not know.” (QS. Al-Jāthiyah : 18)

“And if you should follow their inclinations after what has come to you of knowledge, you would not have against Allah any ally or any protector.” (QS. Ar-Ra`d : 37)

“And do not be like the ones who became divided and differed after the clear proofs had come to them.” (QS. Ali Imran: 105)

Allah calls for the believers to be khushu’ when uttering the zikr (remembrance) of Allah Subhanahu wa Ta’ala and reading His verses, thus He says,

“And let them not be like those who were given the Scripture before, and a long period passed over them, so their hearts hardened; and many of them are defiantly disobedient (fasiq).” (QS. al-Hadid: 16)

No doubt, resembling them is one of the clearest indication of the presence of love and affection for them. This is contrary to the attitude of bara’ah (abhorring and having nothing to do with) against kufr and its doers. Whereas, Allah has forbidden the Mu’mineen from loving, being loyal to and supporting them. While supporting and being loyal to them is the cause to be a part of their group, -may Allah save us from it -.

Allah Ta’ala says,

“O you who have believed, do not take the Jews and the Christians as allies. They are [in fact] allies of one another. And whoever is an ally to them among you – then indeed, he is [one] of them.” (QS. Al-Mā’idah : 51)

“You will not find a people who believe in Allah and the Last Day having affection for those who oppose Allah and His Messenger, even if they were their fathers or their sons or their brothers or their kindred.” (QS. Al-Mujadilah: 22)

Sheikhul Islam Ibnu Taimiyah said, “Resembling (them) will produce affection, love and defence for them within our batin (inner selves). Just as how the love in our batin will give birth to mushabahah (wanting to resemble) in zahir (outwardly).” He further said in explaining the above verse, “Then He Subhanahu wa Ta’ala informs, it will never be found where a Mu’min loves the Kuffaar. So whoever loves the Kuffaar, he is not a Mu’min. And a zahir resemblance will foster love, due to that it is haram.”

The Prophet sallallahu ‘alaihi wasallam said,

“Whoever imitates a people is one of them.” (HR. Abu Dawud, Ahmad and made saheeh by Ibnu Hibban. Ibnu Taimiyah mentioned in his book, Al-Iqtidha’ and in his Fatawa. Made saheeh by Al-Albani in his Saheeh al-Jami’ no. 2831 and 6149)

Sheikhul Islam said,

“This hadith –the lightest- seeks the prohibition of tashabbuh on them, although its zahir holds kafir the people who resemble them, such as in the verse of Allah Ta’ala, “Whoever is an ally to them among you – then indeed, he is [one] of them.” (QS. Al-Maidah: 51).” (Al-Iqtidha’: 1/237)

Imam al-San’ani rahimahullaah said,

“When one resembles the Kuffaar in the dresses and believes that he can become like them with those dresses, he has become kafir. If he does not believe (as such), there is a khilaf in it amongst the fuqaha’s: Some said he becomes kafir, according to the zahir of the hadith; And some others said, he does not become kafir but should be given sanctions warning.” (See: Subulus Salam about the sharah of the mentioned hadith).

Ibnu Taimiyah rahimahullaah mentioned, that resembling the Kuffaar is one of the main causes of the loss (alienation of shi’ar) of religion and the shari’ah of Allah, and the emergence of kufr and transgressions. Just as preserving the sunnah and shari’ah of the Prophets becomes the main key to every goodness. (See: Al-Iqtidha’: 1/314)

The Types Of Resembling The Kuffaar In Their Festive Days

The Kuffaar –with their various religions and sects- have a motley of festive days. Some are religious in nature which make the foundation of their religion, or the festive days which they themselves created to be a part of their religion. However, mostly originate from the tradition and momentum where a festive day is purposely created to commemorate it. Such as the grand National day and the likes.

Furthermore, there are a few examples as follows:

1. The days to worship their God, such as the festive days of the death of Jesus Christ, Easter, Mass, Christmas, A.D. New Year, and so on. A Muslim is categorised as resembling them in two conditions:

First, Participating in the said festive days. Although this festival is held by the non-muslim minority groups in the land of the Muslims, and then some Muslims took part in it, like what had happened during the time of Ibnu Taimiyah and Imam Dzahabi. This sort of reality spread in the lands of the Muslims. Even worse, there are some of the Muslims who travel to the land of the Kuffaar to attend those festivals and participate in it, either to obey their carnal desires or to fulfill the invitation of the Kuffaar, as experienced by the Muslims who live in the kafir land, the government officials, or the businessmen who receive the invitation from their business associates to sign a business contract. All of this is haram and it is feared that it would cause kufr based on the hadith, “Whoever imitates a people is one of them.” Surely, the people who do it are aware that it comes under the shi’ar of their religion.

Second, Adopting the celebrations of the Kuffaar in the countries of the Muslims. The people who attended the celebration of the Kuffaar in their countries, and then with their ignorance and weakness of iman, they are fascinated by the celebration. Then they brought in the celebration to the countries of the Muslims, such as the A.D. new year celebration. This condition is worse than the first, because they did not only participate in celebrating the shi’ar of the Kuffaar’s religion in their countries, but sadly they brought them into the Muslim countries.

2. The festive days which initially were the shi’ar (symbol) of the Kuffaar, and then with time were transformed into a global tradition and celebration, such as the Olympics Games of the ancient Greece which nowadays becomes the International sporting event participated by all the countries listed in the International Olympics Committee (IOC). Participation in it are of two forms:

First, attending the opening ceremony and its carnival in the kafir country like what are done by many Muslim countries which send their athletes to take part in the various sport competition held.

Second, bringing in this celebration into the countries of the Muslims, like in the case of some Muslim countries which request to be the host and organizer of this Olympics.

It cannot be held and organized in the Muslim countries for some reasons:

a. This Olympics was initially a festive day of the the ancient Greek pagans and it is the most historic day for them, and then inherited by the Romans and preserved by the Christians.

b. The event has a name in which the meaning is very known by the Greeks as their ritual.
Its existence as a sport pageant does not right away change its status as the festive day of the pagans based on its name and origin. The basis of the haram status of the celebration is the hadith from Tsabit bin Dhahak radhiyallahu ‘anhu, he said, “Someone had a nazar (vow) at the time of Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam to slaughter a camel in Bawwanah –i.e. the name of a place-, He then came to the Prophet sallallahu ‘alaihi wasallam and said: “I vow to slaughter a camel at Bawwanah.” Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam said: “Isn’t there jahiliyyah idol that they worshipped there?” They said: “No.” He asked again: “Isn’t their feast day celebrated there?” They said: “No.” He said: “Carry on with your nazar, indeed a nazar in the form of transgressions against Allah and that which the sons of Adam cannot afford to do, should not be done.” (HR. Abu Dawud and his sanad fits the Sarat as-Saheehain)

Measured with the hadith of the Prophet above, that the origin of this periodic sports event is the feast day of the Kuffaar, this is made haram just as it is prohibited to slaughter a camel for Allah at a place which is used for a celebration of the feast of the Kuffaar. And the difference in the time and place does not affect the substance of the reason for the prohibition of the slaughter.

Ibnu Taimiyah rahimahullaah explained, this hadith contains a meaning that the venue used for the celebration of their feast day cannot be used for slaughtering, even if it is in the form of a nazar. Just as if the venue is used as a place for placing their idols. A nazar of such kind signifies a glorification of that place, which is glorified by them (the kuffaar) for the celebration of their festive days, or it signifies a form of participation in celebration of the festive days. Or also to enliven their shi’ar there. When making special a place of celebration of their religion is prohibited, what about the very celebration itself?! (Summarized from Al-Iqtidha’: 1/344)

Whereas, as for this Olympics, it is not just the time or place, but also the feast day itself based on its naming and the activities it contains, like the igniting of the Olympics Games torch. Whereas, it is a symbol of their festive day. And this sports event is also exercised exactly on the time of the celebration of the Olympic feast day, performed once every four years.

3. Resembling The Kuffaar In Celebrating The Islamic Festive Days

The form of tashabbuh on the Kuffaar can also happen in the celebration of the Islamic feast days, ‘Eidul Fitri and Adha. Namely, celebrating the feast days of Islam in ways that are normally done by the Kuffaar in celebrating their festive days.

Indeed, the festive days of the Muslims are ornamented with the shukr towards Allah Ta’ala, glorifying, praising and obeying Him. Being joyful in enjoying the gifts of favours from Allah Ta’ala without using it for committing transgressions. This is different from the festive days of the Kuffaar, celebrated to glorify the batil shi’ar and the idols that are worshipped besides Allah Ta’ala. In their celebration, they are immersed in the haram carnal desires.

But very sadly, there are many Muslims across the globe who resemble the Kuffaar in their transgressions. They modify the nuance of ‘Edul Fitri and ‘Eidul Adha as the seasons of obedience and shukr to become the season of commiting transgressions and being kufr ni’mat (denial of Allah’s bounty), i.e. by filling the nights with music, songs, drunkenness, parties where men and women freely intermixed and many other form of transgressions. All this is caused by them imitating the Kuffaar ways in celebrating their festive days which are stuffed with following the carnal desires and immoralities.

May Allah guide us to the conditions He is more pleased with, not deviating from the rules of Islam and not doing tashabbuh on the kafir people in their ceremonies.



sumber dari: http://almalalkub.wordpress.com/page/9/

Thursday, 27 February 2014

“tempat kokoh” yang berada dalam tubuh wanita




“Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina. Kemudian Kami letakkan Dia dalam tempat yang kokoh (rahim). Sampai waktu yang ditentukan, Lalu Kami tentukan (bentuknya), Maka Kami-lah Sebaik-baik yang menentukan”. (QS. Al-Mursalat: 21-23)

“Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik”. (QS. Almuminun: 12-14)

AYAT-ayat di atas menerangkan tentang penciptaan manusia yang mengandung informasi mendasar tentang perkembangan embriologi dalam rahim ibu.

Deskripsi rahim sendiri ialah sebagai “tempat kokoh” yang berada dalam tubuh wanita, dimana telah dipahami melalui ilmu pengetahuan modern.

Proses pembentukan zigot yang dihasilkan oleh sperma dan sel telur yang datang secara bersamaan dan berlanjut sampai munculnya seorang manusia yang lengkap. Dalam proses tersebut triliunan sel-sel bekerja secara harmonis yang berlangsung di rahim ibu, di tempat inilah embrio berkembang selama 9 bulan.

Dari penjelasan ilmiah diatas itulah, tepat seperti apa yang telah dijelaskan dalam Al-qur’an yang menerangkan sangat rinci tentang tempat kokoh itu—rahim.

Dalam Al-Quran sendiri kata “makiin” pada ayat 12 surat Al-Muminun, diterjemahkan sebagai kata ‘aman’ juga menunjukkan makna seperti ‘tak tergoyahkan, suara, tegas, kuat, tetap’. Sedangkan kata “karar” berarti ‘lokasi, stabilitas, permanen dan tempat penyelesaian’. Penjelasan-penjelasan dalam Al-Quran itulah, sungguh sangat luar biasa untuk menggambarkan rahim sebagai tempat kokoh dan aman.
Rahim ibu menyediakan ruang isolasi terhadap gangguan-gangguan yang berasal dari luar dan terutama melindungi bayi dari shock dan tekanan.

Rahim terletak di rongga panggul yang dilindungi oleh tulang tebal dan kuat, membantu menanggung berat embrio sampai akhir kehamilan. Strukturnya yang kuat dan ideal dibangun untuk pertumbuhan bayi dan perkembangan di dalamnya.

Semua informasi tentang perkembangan embriologi dalam  rahim ibu yang dirincikan dalam  Al Qur’an adalah salah satu bukti nyata bahwa Al Qur’an merupakan wahyu dari Allah, Pencipta segala. Hal ini juga dinyatakan dalam Al Qur’an yang penuh informasi yang turun dari ratusan tahun lalu yang menyoroti dunia ilmiah sampai saat ini.

“Dan pada penciptaan dirimu dan pada makhluk bergerak yang bernyawa yang bertebaran (di bumi) terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) untuk kaum yang meyakini”. (QS. Al-Jasiyah: 4)



sumber dari: jambanpanyileukan.blogspot.com

Friday, 3 January 2014

why people feel interest in philosophies




As we have already stated, one of the reasons why people feel interest in philosophies such as the idea of karma is their desire to escape from the worries in their lives, their lack of peace of mind and their unhappiness. Different people try various methods of their own in order to achieve this. However, in reality the only way to achieve true contentment and peace of mind is to surrender to Allah, respect the boundaries He has set up and seek His blessing in every moment of our lives. It is He Who created mankind out of nothing, Who brought us out of non-existence and gave us life, Who equipped us with infinite varieties of sustenance, Who is infinitely Merciful and Kind, Who returns good with good, protects and cares for us, and Who created everything justly for our ultimate good.

Allah is the sole Lord of every living and non-living being in the whole universe; He is the sole Creator and the sole Power in the universe. All powers, all armies, all people and all groups belong to Allah and have surrendered to Him, whether they acknowledge it or not. Allah tells us this in the following verse of the Qur'an:

Is it other than the religion of Allah that you desire, when everything in the heavens and earth, willingly or unwillingly, submits to Him and to Him you will be returned? (Surah Al 'Imran: 83)

Anyone who surrenders to Allah, the sole Lord of the whole universe, and who accepts Allah as their only Friend and Guardian, bowing before Him in heartfelt love, obedience and awe, has found the only way to salvation, for Allah is the Supreme Power. We are told of Allah's greatness and His exaltedness in the following verse:

Allah, there is no god but Him, the Living, the Self-Sustaining. He is not subject to drowsiness or sleep. Everything in the heavens and the earth belongs to Him. Who can intercede with Him except by His permission? He knows what is before them and what is behind them but they cannot grasp any of His knowledge save what He wills. His Footstool encompasses the heavens and the earth and their preservation does not tire Him. He is the Most High, the Magnificent. (Surat al-Baqara: 255)

Following this verse of the Qur'an, in which we are told of Allah's greatness and His exaltedness, we are told that if we turn away from false gods and towards Him, we will have taken hold, as it were, of a firm handhold to Him that cannot be removed as long as we cling to it:

As for those who believed and did right actions, their Lord will admit them into His mercy.That is the Clear Victory.
(Surat al-Jathiya: 30)

There is no compulsion where the religion is concerned. Right guidance has become clearly distinct from error. Anyone who rejects false gods and believes in Allah has grasped the Firmest Handhold, which will never give way. Allah is All-Hearing, All-Knowing. Allah is the Protector of those who believe. He brings them out of the darkness into the light. But those who disbelieve have false gods as protectors. They take them from the light into the darkness. Those are the Companions of the Fire remaining in it timelessly, for ever. (Surat al-Baqara: 256-257)

Because they do not realise this, many people mistakenly seek the support and the guardianship of beings who are in fact powerless to achieve anything and are just as impotent as they themselves are. Doing this causes such people to live their lives in fear and insecurity.

For instance, let us take the case of a person with a legal problem. This person will hire a lawyer to defend him. He will trust the lawyer because he knows the legal system much better than he himself does. As long as he continues to trust in the lawyer's abilities and feel confidence in him, he will feel relaxed and confident about everything to do with the lawsuit. But if he does not entrust his business to a lawyer in spite of the fact that he himself has no knowledge of legal matters, and take the entire responsibility upon himself, he will meet with many unnecessary worries and difficulties. Or let us consider the case of a person who is ill and who willingly entrusts himself to the care of his doctor, doing everything he says and following his advice. As long as he has confidence in the doctor's professional abilities, he will not search for different medicines and different treatments for himself.


Both these examples show how we place confidence in other people and surrender ourselves to them because of their special abilities. Being able to rely on someone we trust gives us a welcome feeling of peace of mind and confidence. However, trusting in Allah and surrendering ourselves to Him is an incomparably greater and more significant matter than this.



sumber dari: islamandkarma.com