Showing posts with label Al-Anfal. Show all posts
Showing posts with label Al-Anfal. Show all posts

Thursday, 15 May 2014

Penawar Sanubari bersama Ashraf Muslim







Masalah Lemah Antibodi
Surah al-Anfal (8): Ayat 36-50

Masalah Keyakinan Diri
Surah al-Nur (24): Ayat 11-25

Masalah Kerungsingan
Surah Muhammad (47): Ayat 21-32

Masalah Terseliuh
Surah Qaf (50): Ayat 16-45

Masalah Zuriat
Surah Nahli (16): Ayat 81-89 (untuk Lelaki)
Surah Maryam (19): Ayat 31-48 (untuk Perempuan)

Ayat Pendinding Diri
Surah al-Baqarah(2): Ayat 103-123

Masalah Kemarahan
Surah Toha (20): Ayat 120-135

Masalah Penyakit Kanser
Surah al-Mukminum  (23): Ayat 91-100

Masalah Rezeki
Surah al-Waqiah (56)

Ayat Penerang Hati
Surah ar-Rahman (55)

Masalah Jantung
Surah al-Israq (17): Ayat 40-55

Masalah Anak Bermasalah
Surah Yasin (36): Ayat 72-83

Masalah Akhlak
Surah al-Hajj (22): Ayat 73-78

Masalah Was-was
Surah al-Hijr (15): Ayat 66-99



sumber dari: alamhati.com/blog/

Ayat-ayat Penyembuh Al Quran







Dengan nama ALLAH sebagai pemula kata. Pada hari ni pak cik akan berkongsi dengan korang dengan lebih banyak lagi apakah ayat ayat penyembuh yang berada di dalam Al Quran. Umumnya, kita tahu bukan yang al quran adalah Syifa, dan disinilah kita akan korek apakah ayat ayat syifa yang ada di dalam al Quran.

Mukjizat al Quran itu terlalu luas. Ayat ayat penyembuh ini sendiri adalah cabang dalam mukjizat al Quran, Seharusnya kita sebagai hamba perlu merasai kemukjizatan ini sendiri supaya bertambah iman, bertambah soleh dan bertambah takwa.

Itulah pasal orang kafir sangat takut kepada orang Islam yang memegang al Quran secara seratus peratus. Mereka tahu bahawa, Islam mampu mendominasi dunia dengan al Quran. Jadi, pak cik teruslah untuk berkongsi apakah antara ayat ayat al Quran yang telah dijadikan sebagai tatacara penawar penyakit.
  1. Surah Isra ayat 40 hingga 55 boleh digunakan untuk mengubati penyakit jantung berlubang
  2. Surah Al Buruj ayat 1 hingga 22 boleh digunakan untuk mengubati penyakit ulser perut
  3. Ayat ayat dalam surah Maryam dan Surah Anbiyaa kebanyakan digunakan untuk mengubati penyakit penyakit perempuan.
  4. Ayat ayat dalam surah Al Anfal pula boleh bertindak sebagai antibiotik, yang mana sakit yang berkaitan dengan kuman boleh diubati dengan ayat ini
  5. Surah Qaf ayat 16 hingga 45 boleh digunakan untuk mengubati penyakit berkaitan tulang seperti slip disc, fractured dan sebagainya.
Alhamdulillah, semoga dengan perkongsian mengenai ayat ayat penyembuh al Quran ini mampu memberi manfaat kepada semua yang terlibat. Sekian.



sumber dari: berkatrezeki.com/blog/

Saturday, 3 May 2014

PEMBENTUKAN NEBULA DALAM SURAH AR-RAHMAN







Apa yang menakjubkan di sini adalah proses kehancuran bintang sehingga bertukar menjadi bentuk bunga ros ini dinyatakan oleh Quran. Dalam surah ar-Rahman ayat 37,

Maksudnya:”Maka apabila langit terbelah dan menjadi merah mawar seperti kilapan minyak, maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu ingin dustakan?”
Ayat ini menceritakan mengenai langit yang sedang melalui proses kehancuran dan pada masa itu berubah menjadi merah seumpama bunga ros yang menyinar.

Salah satu contohnya adalah apa yang dikirimkan oleh teleskop ruang angkasa-Habel kepada kita berupa gambar-gambar sejumlah bintang ketika sedang terpecah pada tanggal 31 Oktober 1999 M.Biro Penerbangan dan Ruang Angkasa Nasional Amerika (NASA) menyiarkan sejumlah gambar yang ditayangkan oleh teleskop ruang angkasa tentang bintang yang mengalami fasa pemecahan.

Sekelompok bintang yang membentuk seperti kabut bercahaya yang sering disebut dengan nama mawar kemerahan yang mengkagumkan, inilah ibarat Al Quran yang sangat terperinci dan mengkagumkan.

Sumber: Quran Saintifik, Dr. Danial Zainal Abidin


Sesungguhnya orang yang beriman itu ialah orang yang apabila disebutkan Allah akan gementar hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya (ayat-ayat Allah) akan bertambahlah iman mereka, dan kepada Rab (Tuhan) mereka bertawakal. (Surah Al-Anfal : Ayat 2)

Wallahua’lam.



sumber dari: irfanirsyad.wordpress.com/

Tuesday, 22 April 2014

Anugerah Anak







Setiap orang yang telah berkeluarga, bisa dipastikan amat mendambakan keturunan. Segala cara akan mereka tempuh, walau harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit jumlahnya, guna memperoleh sang pelanjut generasi. Kondisi ini bukanlah sesuatu yang aneh, apalagi ganjil. Sebab Allah Swt. telah menjabarkan di dalam Alqur’an Surat Ali Imran ayat 14 dengan menyatakan bahwa pasangan hidup dan anak-cucu merupakan perhiasan (ziinah) kemanusiaan. Namun tidak banyak yang sadar di antara manusia tentang “sesuatu” yang mereka dambakan tersebut. Sebab bagi kebanyakan orang tua, anak hanya merupakan investasi masa depan, baik di dunia maupun akhirat, tanpa ada pandangan yang lebih jauh lagi tentang resiko dari investasi tersebut.

Berkaitan dengan masalah anak, Alqur’an telah menjelaskan ada 4 model anak manusia. Yang semuanya merupakan fase-fase yang senantiasa mengiringi eksistensi kita, meskipun kita sendiri mungkin saja sudah beranak cucu pula. Ialah tipe yang menjadi ujian bagi kedua orangtua, tipe yang mencelakakan orangtua, tipe yang menjadi seteru orang tua, dan tipe anak yang bisa membanggakan kedua orangtuanya.

Untuk tipe anak pertama, terdapat di dalam Alqur’an surat at-Taghabun ayat 15 dan al-Anfal ayat 28.

Di dalam surat at-Taghabun ayat 15 dinyatakan bahwa, “Harta benda dan anak-anakmu hanyalah menjadi ujian. Dan di sisi Allah ada pahala yang besar.” Sedangkan di dalam surat al-Anfal ayat 28 disebutkan sebagai berikut, “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu menjadi ujian dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.”

Dari dua ayat di atas bisa dipastikan bahwa pada dasarnya anak adalah ujian dari Allah Swt. yang bermakna ganda, sebagaimana sifat dasar dari sebuah ujian. Ia bisa membawa kebaikan, dan tidak menutup kemungkinan mengajak kejahatan. Meskipun sifat dasar dari anak manusia adalah cenderung pada kebajikan (‘ala al-fitrah).

Tipe kedua adalah anak yang menjadi model di dalam surat al-Munafiqun ayat 9 sebagai berikut, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikanmu dari mengingati Allah. Dan siapa yang berbuat begitu, itulah orang-orang yang menderita kerugian.” Contoh dari model anak kedua adalah seorang anak yang bisa memposisikan orang tuanya berada dalam situasi yang begitu bernafsu melanggar ketentuan-ketentuan Allah, terutama dengan berbekal senjata kasih sayang.

Di dalam surat at-Taghabun ayat 14 disebutkan model anak yang ketiga sebagai berikut, “Hai orang-orang beriman, sesungguhnya di antara isteri dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagi kamu. Sebab itu, berhati-hatilah terhadap mereka. Tetapi kalau kamu suka memaafkan, berhati lapang, dan memberikan ampun, sesungguhnya Allah itu maha pengampun lagi Maha Penyayang.” Anak yang paling tepat menjadi contoh dari tipe anak yang ketiga ini adalah Kana’an, putra Nabi Nuh As.

Keempat, anak yang bisa membanggakan dan menyenangkan hati kedua orang tuanya sebagaimana yang terdapat di dalam surat al-Furqan ayat 74 sebagai berikut ini, “Wahai Tuhan Kami, kurniakanlah kepada kami isteri dan keturunan yang menjadi cahaya mata (yang terdiri dari orang-orang yang beriman, berilmu, berbudi, dan taat beragama), dan jadikanlah Kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” Dan Nabi Ismail AS. adalah figur anak yang paling pas dalam memerankan model yang keempat ini. Bagaimana tidak, kala dimintai penyerahan jiwanya oleh sang ayah, Nabi Ibrahim AS, demi memenuhi amar Tuhan, dengan mudahnya Nabi Ismail memasrahkan dirinya. Itulah gambaran anak yang bisa membahagiakan dan membanggakan kedua orang tuanya. Semoga di bulan Ramadhan yang suci ini, kita bisa bisa menjadi Ismail-Ismail baru dan mempunyai “anak-anak Ismail” pula. Amin Ya Allah, Ya Mujibas Sa’ilin. Semoga.

Wallah A’lam bi ash-Shawwab



sumber dari: pahrurrojimbukhori.wordpress.com/

Saturday, 16 November 2013

DAY OF UHUD






It was the third year of Hegira. The defeat at Badr caused an incurable wound in the haughty people of Quraish. The Meccans, particularly Abu Sufyan; Iqrimah, a son of Abu Jahl’s; Safwan, a son of Umayyah’s, etc. began to incite people to avenge their relatives who had been killed at Badr...
The whole income of the great trade caravan of one thousand camels, which had been brought by Abu Sufyan from Damascus and which had induced the Battle of Badr, was allocated to the new war of revenge that would be waged. In addition to the one thousand soldiers from Mecca, two thousand mercenaries were hired from the Arabian Desert with the incomes of the aforesaid caravan with the ultimate objective of building an army as great as possible, which incident is mentioned in the Glorious Koran as follows: “Lo! Those who disbelieve spend their wealth in order that they may debar (men) from the way of Allah. They will spend it, then it will become an anguish for them, then they will be conquered. And those who disbelieve will be gathered unto hell.” [Verse 36, Surah Al-Anfal (Chapter of the Spoils)]

In the meantime, those Meccans that had been captured as prisoners-of-war at Badr and then emancipated on condition that they should not war against Muslims anymore breached their oath and joined the army that had been getting prepared for the war of revenge.

Women, too, joined the army to encourage men so that they should not desert the battlefield. Besides, private assassins were prepared, one of whom was Wakh’shi of Khabash, a slave of Jubair Ibn Mut’im, who was peerless at throwing spears. His master told him: “You, too, shall take part in this campaign. If you kill Hamzah, an uncle of Muhammad’s (p.b.u.h.), in retaliation for my uncle Tu’aimah, who was killed at Badr, you shall be free…”

And Wakh’shi also joined that Mob of barbarians and he was continuously provoked by Abu Sufyan’s spiteful wife all along the way: “O Wakh’shi! Take my vengeance, too! Take my vengeance, too!”




sumber dari: hazretieyupsultan.com

Monday, 19 August 2013

JIN DI BOTOLIN, OPO ISO





Bismillah wal Hamdulillah, was sholatu was salamu ‘ala Rasulillah

Pembukaan

Jin adalah makhluk ghoib yang diciptakan Allah dari api dan keberadaannya tersembunyi, tidak terlihat oleh mata kita (manusia). Sesuai dengan nama yang telah diberikan Allah kepadanya, yaitu Jin. Yang berasal dari kata, “Janna-Yajannu“ yang artinya menutup/ menyembunyikan. (Kamus al-Munawwir: 215)
Allah berfirman, “Ketika malam telah menutupinya (gelap), dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” (QS. Al-An’am: 76).

Hanya Allah yang Mengetahui

Dunia jin adalah dunia ghoib, dan tidak ada yang paling mengetahui tentang karakter dan kehidupan mereka selain Allah. Muhammad sebagai manusia pilihan dan utusan mengetahui hal yang ghoib sebatas informasi yang didapatkan dari Allah melalui wahzu yang dia terima.
Al-Qur‘an menegaskan, “Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghoib, kecuali Allah." (QS. An-Naml: 65).
Di ayat lain Rasulullah diperintahkan, “Katakanlah: ‘Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghoib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” (QS. An-Naml: 65).

Bukti Eksistensi Jin

Meskipun jin itu makhluk yang tersembunyi, wujud aslinya tidak bias dilihat oleh mata, namun kita harus percaya bahwa mereka ada. Dan itu masuk bagian dari iman kepada yang ghoib. Allah telah menciptakan mereka untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana Dia menciptakan manusia.
Allah berfirman, “Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dan kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.” (QS. Al-Hijr: 26-27).
Allah telah berfirman, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”(QS. Adz-Dzariyat: 56).

Jenis Sosok Jin

Jin itu tidak hanya satu jenis, tapi ada banyak jenisnya. Kita bias mengetahui keberagaman mereka melalui sabda Rasulullah berikut ini.
Dari Abu Tsa‘labah al-Khosyani berkata, Rasulullah bersabda, “Jin itu ada tiga jenis; Ada yang bersayap dan terbang di udara, dan ada yang berjenis ular dan kalajengking, dan ada yang menetap atau berpindah-pindah.” (HR. Thabrani dan al-Hakim dengan sanad yang shahih, dan dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani, lihat Kitab Shahihil Jami‘ as-Shaghir: 3/ 85).

Idiologi Jin
Apa agama dan kezakinan jin? Meskipun tujuan diciptakan mereka untuk ibadah kepada Allah, tapi kenyataanya tidak semua jin taat dan mau menyembah Allah. Seperti halnya manusia. Agama jin juga berbeda, aliran keyakinan mereka juga berbeda-beda. Ada yang muslim, ada yang kafir. Ada yang shalih, ada yang thalih (suka bermaksiat).
Allah telah berfirman, “Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang shalih, dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.” (QS. Al-Jin: 11).
Allah berfirman, “Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barangsiapa yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus. Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api (bahan bakar) bagi neraka Jahannam.” (QS. Al-Jin: 14-15).

Manusia Bisa Melihat Jin?

Apakah manusia bias melihat wujud jin dalam bentuk aslinya? Mari kita tanyakan kepada Allah, karena Dialah yang paling paham akan keterbatasan jin dan manusia. Namun jika jin dalam wujud tidak aslinya, dalam penampakan alias telah berubah menjadi bentuk tertentu, maka kita bisa melihat mereka. Hanya saja sebagian hewan bias melihat jin dalam wujud aslinya, seperti yang dikabarkan Rasulullah berikut.
Allah berfirman, “…Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya kami telah menjadikan syetan-syetan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al-A’raf: 27).
Rasulullah bersabda, “Apabila kalian mendengar ringkikan keledai, maka berlindunglah kepada Allah dari (kejahatan) syetan. Karena ia telah melihat syetan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah bersabda, “Jika kalian mendengar lolongan anjing dan ringkikan keledai di malam hari, maka berlindunglah kepada Allah. Karena mereka sedang melihat apa yang tidak kalian lihat.” (HR. Abu Daud, no. 5103).
Imam Syafi’i rahimahulloh berkata, “Barangsiapa yang mengaku dirinya bisa melihat jin (dalam bentuk aslinya), maka kami tolak kesaksiannya kecuali dia seorang nabi.” (Kitab Fathul Bari: 4/ 489).

Jin Bisa Kita Buru?

Jin jahat (Iblis dan syetan) adalah musuh manusia. Oleh karena itu kita tidak usah disibukkan diri dengan memburu dan mengejar mereka untuk kita karantina atau kita binasakan. Kalau bisa jangan berharap bertemu dengan syetan jin. Mohonlah kepada Allah agar terhindar dari kejahatan mereka. Namun jika mereka menyerang dan mengganggu kita, maka kita harus melawan dan jangan takut, karena Allah bersama senantiasa kita.
Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (QS. Al-Anfal: 45).
Allah berfirman, “Sesungguhnya syetan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu). Karena sesungguhnya syetan-syetan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6).
Dalam suatu hadits Rasulullah berpesan, “Wahai manusia, janganlah kalian berharap ketemu musuh, dan mohonlah kepada Allah perlindungan darinya. Tapi jika kalian bertemu mereka, maka bersabarlah (berteguh hati). Ketahuilah bahwa surga itu di bawah kilauan pedang.” (HR. Bukhari dari Salim).

Jin Bisa Ditangkap?
Rasulullah tidak pernah menyuruh kita untuk berburu jin dan menangkapnya. Karena itu bukan wewenang kita. Jin itu makhluk ghoib, bagaimana kita akan menangkap hal yang ghoib. Dalam wujud aslinya, jin tidak bisa kita tangkap. Tapi jika mereka menampakkan diri atau menyerupai sesuatu, maka kita bias menangkapnya. Sebagaimana yang pernah dilakukan Abu Hurairah, Abu Ayyub al-Anshari, dan Mu’ady bin Jabal. Pada suatu hari, Rasulullah bercerita kepada para shahabatnya, "Sesungguhnya Ifrit dari golongan jin tadi malam telah datang kepadaku untuk mengganggu shalatku. Dan Allah memberiku kemampuan sehingga aku bisa menangkapnya. Aku berkeinginan untuk mengikatnya di salah satu tiang masjid, agar di pagi harinya kalian semua bisa melihatnya. Hanya saja saya ingat do'a saudaraku Sulaiman, "Ya Tuhanku anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki seorang juapun sesudahku. (QS. Shad: 35)" Abu Hurairah berkata, "Lalu Rasulullah melepasnya dalam keadaan hina'." (HR. Bukhari dan Muslim).
Prof. Dr. M. Quraish Shihab berkata, “Apabila jin berubah bentuk, maka Anda dapat menangkap dan membunuhnya, karena pada saat seperti itu, ia tidak dapat berlepas diri dari hukum alam yang berkaitan dengan manusia. Itulah sebabnya, saat Rasulullah diganggu oleh jin yang berbentuk manusia, beliau bermaksud menangkap dan mengikatnya di tiang masjid agar dapat dilihat orang banyak.” (Buku; Yang Tersembunyi: 46-47, dan dia menukil penjelasan Syekh M. Mutawalli Sya‘rawi dalam Kitab as-Sihru wal Hasad).

Jin Bisa Dibotolin?
Kalau secara hukum syari’at Islam, jin dalam wujud aslinya tidak bisa dilihat manusia, bagaimana kita akan memburu dan menangkap serta memasukkannya ke botol. Itu hanya bualan mereka yang terinspirasi dari kisah Aladin dan legenda lampu ajaibnya. Yang mana kisahnya, jin yang dalam lampu itu bisa dipanggil dan dimintai bantuan. Yang bisa menangkap, memenjarakan, menghukum jin hanyalah Allah.
Rasulullah bersabda, “Apabila telah datang bulan Ramadhan, dibukalah pintu-pintu surga, dan ditutuplah pintu-pintu neraka, dan syetan-syetan dibelenggu.” (HR. Muttafaqun ‘alaih).
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya semalam syetan hendak menggangguku saat aku menyusuri bukit. Di antara mereka ada yang membawa obor-obor untuk membakar wajahku. Lalu malaikat Jibril mendatangiku dan menyeru, ‘Hai Muhammad, bacalah!: A‘udzu bi kalimatillahit tammati lati la yujawizuhunna barrun wa la fajir min syarri ma kholaqo wa dzaro-a wa barok...“. Ketika aku selesai membacanya, obor-obor mereka padam, dan Allah-pun mengalahkan mereka.” (HR. Ahmad).
Abu Sa‘id al-Khudri berkata, “Adalah Rasulullah selalu beristi‘adzah dari kejahatan mata Jin dan kejahatan mata manusia. Ketika telah turun surat al-Mu‘awwidzatain, beliau lebih suka membaca dua surat tersebut dan meninggalkan yang lainnya.” (HR. Tirmidzi, dan dihasankannya).

Tujuan Jin (syetan) Menggoda manusia?
Untuk Apa syetan mengganggu manusia? Jawabannya tidak lain tidak bukan, hanyalah ingin menyesatkan kita dari jalan yang benar, yang kelak Iblis bisa punya teman yang sebanyak-banyaknya dalam neraka Jahannam yang telah dijanjikan Allah
Allah mengabarkan, “Dan syetan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa‘: 60).
Di surat lain, Iblis berkata, "Demi Keagungan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya”. (QS. Shad: 82).
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya syetan telah berkata, ‘Wahai Tuhanku, demi Keagungan-Mu, aku akan terus-menerus menggoda hamba-hamba-Mu selama roh mereka berada dalam jasad mereka (masih hidup)…” (HR. Ahmad dan Hakim).

Cara Aman Melawan Syetan
Masing-masing agama punya cara tersendiri untuk mengusir atau menghilangkan gangguan jin jahat (syetan). Namun kita sebagi ummat Islam tidak boleh memakai cara lain. Kita harus komitmen terhadap ajaran dan tuntunan Islam. Kita bangga jika menggunakan konsep sendiri, karena itulah konsep yang benar, yang lainnya salah.
Allah berfirman, “Dan jika kamu ditimpa suatu godaan syetan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 200).
Rasulullah bersabda, “Seorang hamba tidak bisa menjaga dirinya dari kejahatan syetan kecuali dengan dzikrulloh.” (HR. Tirmidzi, dan dinyatakan sebagai hadits hasan shahih).
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya syetan akan kabur dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat al-Baqarah.” (HR. Muslim).
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya kamar kecil ini dihuni jin. Jika kalian masuk toilet, maka bacalah do’a; ‘Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan syetan laki-laki dan syetan perempuan’.” (HR. Abu Daud dan Ahmad, dari Zaid bin Arqom).
Umar bin Khattab berkata, “Sesungguhnya seseorang tidak bisa berubah dari bentuk asli yang diciptakan Allah menjadi bentuk yang lain, tapi mereka punya tukang-tukang sihir seperti tukang-tukang sihir kalian. Apabila kalian melihat penampakan mereka, maka kumandangkanlah adzan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, dan Imam Ibnu Hajar menyatakan sanadnya shahih/ Kitab Fathul Bari: 6: 344).

Penutup
Sesungguhnya yang paling paham akan karakter syetan adalah Allah sebagai Penciptanya. Yang paling tahu tentang apa saja yang membuat syetan takut, melemah, tidak betah, marah dan kabur hanyalah Allah.
Maka dalam hal ini kita tidak boleh mendahulukan prasangka, kira-kira atau informasi yang tidak valid, daripada berpedoman pada nash atau dalil yang ada. Agar kita tidak terjebak dalam tipu muslihat syetan, entah itu syetan jin maupun syetan manusia. Wallohu A‘lam bish Showab.



sumber dari: ruqyahmojokerto.blogspot.com

Sunday, 28 July 2013

But Allah saved you…




As-salamu `alaykum wa rahmatullah



Before the battle of Badr set off, Allah `azza wa jall did something amazing for the believers, although it was quite subtle:

“(And remember) when Allah showed them to you as few in your dream, if He had shown them to you as many, you (the believers) would surely have been discouraged, and you would surely have disputed in making a decision. But Allah saved you. Certainly, He is the All-Knower of what is in the breasts.” [al-Anfal: 43]

The Prophet (sallallahu `alayhi wa sallam) was shown a dream in which the opposition appeared very few in number, and he then reported this to the fighters of Badr which immediately put their hearts to rest and strengthened them mentally. By simply showing this dream, Allah `azza wa jall changed the entire way the believers viewed their enemy and He totally shifted their perspective of things, leading to their success. This is something we can do in our everyday lives…

Lesson: Whenever you’re faced with an obstacle, or you wish to achieve something lofty, step back and view that obstacle as being small and minor. Never let something overwhelm your mind because then it will most likely overcome you and lead to your discouragement and failure. Know that success lies in facing your fears with mental strength, and it is often a case of mind over matter. So take a deep lesson from the verse above and allow Allah to show you your problem as being small and easily defeatable.

Abdullah bin Mas`ud said, “They were made to seem few in our eyes during Badr, so I said to a man who was next to me, “Do you think they are seventy?” He said, “Rather, they are a hundred.” However, when we captured one of them and we asked him, he said, “We were a thousand.”“[Tafsir Ibn Kathir]

This is really interesting because the Arabs at that time were extremely talented in estimating the number of participants in battle. When two forces met, each side would send a messenger forward and he’d look at the enemy lines and estimate the number accurately. So Allah veiled this from them in order that they did not waver at heart.

Alhamdulillah for the Qur’an which we can apply to our lives in so many different ways.


sumber dari: fajr.wordpress.com

Wednesday, 17 July 2013

The Qur'anic Criteria of Inner Participation







First: Say to yourself: My Qur'an reading will not be truly tilawah unless my inner self participates in it as Allah desires it to participate.

So what does Allah desire? And how should you receive the Qur'an? The Qur'an itself in many places tells you vividly how it was received by the Prophet, blessings and peace be on him, and by his Companions, and by those whose hearts were gripped by it. Such Qur'anic verses you should try to remember, and, then, recollect and reflect upon them whenever you read the Qur'an. Some of these are: Those only are believers who, when Allah is mentioned, their hearts tremble; and when His verses are recited to them, they increase them in faith (al-Anfal 8: 2).

God has sent down the best discourse as a Book, fully consistent within itself, oft-repeated, whereat shiver the skins of those who fear their Lord; then their skins and hearts soften to the remembrance of Allah (al-Zumar 39: 23).

When it is recited to them, they fall down upon their faces, prostrating, and say: Glory be to our Lord! Our Lord's promise is fulfilled. And they fall down upon their faces, weeping; and it increases them in humility (al-Isra' 17: 107-9).

Whenever the verses of the Most-merciful are read unto them, they fall down, prostrating themselves and weeping (Maryam 19: 58).

And when they hear what has been sent down to the Messenger, you see their eyes overflow with tears because of what they have recognized of Truth. They cry: Our Lord! We believe; so You do write us down among the witnesses [to the Truth] (al-Ma'idah 5: 83) .


sumber dari: afifichestclinic.ning.com

Takwil Mimpi Baca Surat-Surat Al-Qur'an




Asy Syeikh Muhammad bin Sirin memberikan pelajaran tentang takwil mimpi membaca Surat-Surat Al-Qur'an, antara lain :


1. SURAT AL-FATIHAH

Barang siapa yang bermimpi membacanya, atau membaca sebagian darinya, maka menunjukkan takwil bahwa dia berdo'a dengan suatu do'a yang diperkenankan padanya, dan mencapai suatu faedah yang menggembirakan.

Sebagian takwil mengatakan bahwa dia akan menikahi tujuh orang wanita yang terpisah-pisah, dan dia yang diperkenankan do'anya. Hal itu menunjukkan do'a Rasulullah saw.

Karena beliau membaca Alhamdulillaahi Rabbil 'Aalamin sebelum dan sesudah do'anya.

2. SURAT AL BAQARAH

Bermimpi sesungguhnya dia membaca Surah Al-Baqarah, atau sebagiannya walaupun hanya sebuah huruf, atau dia dibacakan oleh orang lain, sebagai takwilnya dia akan diberi rezeqi umur panjang, dan baik agamanya.

Kadang-kadang memberi pengertian bahwa orang yang membacanya akan berpindah tempat, dengan mendapat kejayaan dan ketinggian martabat pada tempat yang baru itu.

Keterangan lain mengatakan, bahwa jika orang yang bermimpi itu orang yang menjabat qadhi, maka sudah hampir habis masa jabatannya, dan jika dia seorang yang 'alim, maka panjang umurnya dan baik hal-ihwalnya.

3. SURAT ALI IMRAN

Barang siapa yang bermimpi membacanya, atau sebagian darinya, maka dia
adalah orang yang sial nasibnya diantara para ahli keluarganya, dan dia akan lapang rezekinya setelah menjelang hari tuanya, lagi pula dia paling banyak pengembaraannya.

4. SURAT AN NISA'

Mengandung takwil bahwa dia pada akhir umurnya nanti beristerikan seorang wanita cantik yang tidak mau bergaul dengan baik beserta dengannya, dan dia orang yang kuat hujjahnya serta kuat diplomasinya.

5. SURAT AL MAIDAH

Bila bermimpi membaca Surat Al Maidah, boleh mengandung takwil bahwa dia
orang yang pemurah hati memberi makan orang lain. Hanya saja dia diuji dengan kaumnya yang kasar tingkah lakunya.

6 SURAT AL AN'AM

Bermimpi membaca Surat Al An'am mengandung takwil bahwa dia membina untuk agamanya, baik rezekinya, dan beruntung di dunia dan akheratnya.

7. SURAT AL A'RAF

Orang yang bermimpi membacanya, mengandung takwil bahwa dia akan mendapat keberuntungan dari setiap ilmunya. Dan kadang-kadang mengandung takwil bahwa dia akan mati di negeri orang (perantauan).

8. SURAT AL ANFAL

Bermimpi membacanya, mengandung takwil dia akan mendapat kejayaan dan kesuksesan, serta diberi keselamatan dalam agamanya.

9. SURAT AT TAUBAH

Barang siapa yang bermimpi membacanya, maka boleh ditakwilkan bahwa dia orang yang menyukai orang-orang yang shalih.


sumber dari: teguhtriatmojo.blogspot.com

Participation of the Inner Self




Reading the Qur'an, the tilawah, must involve your whole 'person'. 



Only thus will you be able to elevate your encounter with the Qur'an to the level where you can be called a 'true' believer in the Qur'an (al-Baqarah 2: 121).

What is the Heart?

The more important part of your 'person' is your inner self. This inner self the Qur'an calls the qalb or the 'heart'. The heart of the Prophet, blessings and peace be on him, was the first recipient of the Qur'anic message:

Truly it has been sent down by the Lord of all the worlds, the Trustworthy Spirit has alighted with it upon your heart [O Prophet], that you may be one of the warners ... (al-Shu'ara' 26: 1924).

You will therefore reap the full joys and blessings of reading the Qur'an when you are able to involve your heart fully in your task.

The 'heart', in Qur'anic vocabulary, is not the piece of flesh in your body, but the centre of all your feelings, emotions, motives, drives, aspirations, remembrance and attention. It is the hearts which soften (al-Zumar 39: 23), or harden and become stony (al-Baqarah 2: 74). It is they which go blind and refuse to recognize the truth (al-Hajj 22: 46) for it is their function to reason and understand (al-A'raf 7: 179;al-Hajj 22: 46; Qaf 50: 37). In hearts, lie the roots of all outward diseases (al-Ma'idah 5: 52); they are the seat of all inner ills (al-Baqarah 2: 10); hearts are the abode of Iman (al-Ma'idah 5: 41) and hypocrisy (al-Tawbah 9: 77). It is the hearts, again, which are the centre of every good and bad thing, whether it be contentment and peace (al-Ra'd 13: 28), the strength to face afflictions (al-Taghabun 64: 11), mercy (al-Hadid 57: 27), brotherly love (al-Anfal 8: 63), taqwd (al-Hujurat 49: 3; al-Hajj 22: 32); or, doubt and hesitation (al-Tawbah 9: 45), regrets (Al 'Imran 3: 156), and anger (al-Tawbah 9: 15). 


Finally it is, in reality, the ways of the heart for which we shall be accountable, and only the one who brings before his God a sound and whole heart will deserve to be saved.

God will not take you to task for a slip, but He will take you to task for what your hearts have earned (al-Baqarah 2: 225).

The Day when neither wealth nor children shall profit, [and when] only he [will be saved] who comes before God with a sound heart [free of evil] (al-Shu'ara' 26: 88-9).

You must therefore ensure that so long as you are with the Qur'an, your heart remains with you. The heart not being that piece of flesh but what the Qur'an calls qalb.

This should not prove difficult if you remain conscious of a few things and observe certain actions of heart and body The seven prerequisites described earlier lay the foundation for the fuller participation of your inner self in reading the Qur'an. In addition to these, the taking of a few more steps will greatly increase the intensity and quality of this involvement of the heart.




sumber dari: afifichestclinic.ning.com

Saturday, 13 July 2013

Afflictions: Which Level Are You On?







The First Level:

Being angry, and this is in various ways:

The first type: That the anger is by the heart as if he is angry at his Lord. So he becomes angry with what Allah, subhanahu wa ta’ala, has decreed for him, and this (level) is haraam. And it is possible that this could lead to kufr (disbelief). Allah, subhanahu wa ta’ala, said:

“And among mankind is he who worships Allaah as it were, upon the very edge (i.e. in doubt); if good befalls him, he is content therewith; but if a trial befalls him, he turns back on his face (i.e. reverts back to disbelief after embracing Islaam). He loses both this world and the Hereafter.” – [Al-Hajj (22):11]

The second type: That the anger is by the tongue like making duaa for destruction or ruin and what is similar to that, and this is haraam.

The third type: That the anger is by the limbs like slapping the cheeks, ripping the clothes, pulling out hair, and similar to that, and all of this is haraam in contradiction to patience which is waajib (obligatory).

The Second Level:

Being patient, just as the poet said:

“Patience is like its name – bitter in taste, yet its outcomes are sweeter than honey.” So the person sees this thing (the affliction) weighs very heavy upon him, yet he bears it although he dislikes that it happened. Rather, his imaan bears it and restrains him from being angry. So the time of affliction and the time of no affliction is not the same to him, and this (level) is waajib, because Allah commanded the people to be patient, saying:

“…and be patient. Surely, Allah is with those who are As-Saabireen (the patient ones, etc.).” – 
[Al-Anfaal (8):46]

The Third Level:

Being pleased with the affliction in that the person is pleased with the affliction and whether it happened or not, it is the same to him so he it is not difficult upon him. He does not bear it as if it is something weighing heavy on him, and this (level) is mustahabb (preferred – between haraam and waajib) and it is not waajib according to the most correct opinion. The difference between this level and the one before it is apparent because the affliction happening or not happening is the same due to the pleasure of the one on this level. As for the level before it, the affliction is hard upon him, yet he remains patient over it.

The Fourth Level:

Thanking/being grateful and this is the highest level. This is that the person thanks Allah for the affliction which has struck him in that he knows that this affliction is an expiation for his sins and perhaps a cause for an increase in his good deeds. The Prophet (salallaahu alayhi wassaalam said) said:

“There is no affliction which strikes the Muslim except that Allaah expiates with it (sins), even with a thorn that may poke him.” 
(Recorded by Bukhaari and Muslim)


sumber dari: ummuabdulazeez.com

Saturday, 8 June 2013

Prayer: The Apple of My Eye




Prayer The Apple of My Eye 300x198 Prayer: The Apple of My Eye

 Who establish worship and spend of that We have bestowed on them. 
(Al-Anfal 8:3)

Concerning the guilty: What has brought you to this burning? ) 
They will answer: We were not of those who prayed. 
(Al-Muddaththir 74:41-43)

The Qur’an defines the first attribute of sincere believers as those who
“establish worship properly” 
(Al-A`raf 7:170)

. Verses such as

“Tell My bondmen who believe to establish worship…”
(Ibrahim 14:31)

are indicative of the precedence of Prayer in the faith of a believer.
Prayer had been ordained during the first days of prophecy, albeit not in its final form. The fact that Muslims, beginning with Prophet Muhammad, performed Prayer from the first day Islam shows that Islam is not a religion that deals with the essentials of belief alone.

Prayer is important; it is a fundamental  act of worship because it represents the turning into action of belief in the Oneness of Allah and confession of servitude towards Him. Scientists who study human behavior note that a feeling and awareness that is not exhibited through behavior will weaken with time and then eventually fade. Thus we need to place Prayer in the center of our lives in order to demonstrate our loyalty to Allah and maintain consistency in our Prayer.

The proper placement of Prayer is only possible through the maintenance and uninterrupted regular performance of it. The Qur’an refers to believers as

“Those who are constant in their Prayer.” 
(Al-Ma`arij 70:23)

It is fundamental that we maintain an uninterrupted consistent performance of Prayer so that we may experience the benefits which our Creator desires for us and they adorn the lives of servants until they die.

“Men whom neither merchandise nor sale distracts from remembrance of Allah and performance of Prayer and paying to the poor their due; who fear a day when hearts and eyeballs will be overturned.” 
(An-Nur 24:37)

Due to its performance, Prayer has been called the “column of Islam,” by the Messenger of Allah. Our Beloved Prophet has stated that Prayer is a form of worship that separates belief from associating partners with Allah and denial of Allah’s existence. He even drew attention to the fact that abandoning Prayer leads to distancing one’s self from belief and even likens one to the Pharaoh.

Prayer is very beloved to us as it gives us the opportunity to consciously remove ourselves from the daily occupations of life and give ourselves a break. In one particular hadith, it is stated that,

“If there were a river passing by the front of your house and you were to wash in this river five times a day, would there be any remnants of dirt and filth on you? This is precisely how Prayer is, it washes away sins.”(Muslim)

Prayer cleanses the human soul, making one’s heart pure, impeccable and clean. A person who prays five times a day will have washed their soul many times and purified their heart of any kind of evil.
At this point we may recall people who, despite their five daily Prayers, do not have pleasing manners or personalities. If Prayer elevates the manners of man so much, then we think, how is it that these individuals are not affected for the better?

I think this seeming contradiction bothers us because we don’t pose the question accurately. The proper question should be, “What would these people have done if they didn’t pray?” Because we know that maintaining worship, in the end, plays a role in the spiritual development of a person. Because most of the time we may not able to monitor each others’ spiritual development in terms of where it began, how far it has progressed and what sort of potential it possesses. But we are sure that every Prayer we perform increases our care and awareness towards the Almighty.

Cleanliness is a mandatory requirement of Prayers, which is the greatest form of worship of all. In Islam, cleanliness comes in two forms: the first is physical cleanliness and the other is spiritual cleanliness. Because physical cleanliness is mandatory our body and the area in which we’ll be performing worship must be cleansed of things that are considered impure, and all acts of worship that are performed without this cleansing are not acceptable.

In addition to the physical and true cleanliness in Islam, there is also a symbolic cleansing. Performing ablution before Prayer and the complete cleansing of the body (ghusl) following the state of being junub (unclean) are part of this symbolic cleansing.

A person without ablution may be physically clean, however, they are not considered physically clean. And for this reason they cannot face Allah in this state; they cannot pray. In order to be accepted in the divine presence, they must perform a symbolic cleansing. This is why ablution is not just a simple washing of the face and hands. It contains both a physical and spiritual cleansing. The requirement of those who are not able to find water to cleanse through tayammum (dry ablution) (An-Nisa’ 4:53) is proof that the purpose of this cleansing is not just physical, but also spiritual

Prayer is a fundamental pillar in the daily life of a believer. A day is programmed around Prayer. During five different times throughout the day, our day is spent in a state of awareness towards Allah as we declare his Almightiness in the Prayer saying,

“You (alone) we worship; You (alone) we ask for help.” 
(Al-Fatihah 1:4)

Man, who faces Allah the Almighty through the words “Allahu Akbar,” leaving all of his worldly concerns and material matters behind, is never as close to Allah as he is during Prayer. For this reason, the Prayer is a believer’s ascension to heavens. It is meaningful that the tahiyyat that is read at the end of Prayer is a memoir of Prophet Muhammad saluting his Creator and the inclusion of excited angels in this salutation.
Prayer is the intensified and systematized version of supplication.

Prayer is a form of worship which contains and gathers all other forms of worship such as declaring the Oneness of Allah, remembering and honoring Him, expressing gratitude to Him, praising Him, asking for help from Him, asking for forgiveness and repenting from sins, supplication, invoking Him, showing humility, reverence and remembrance of Him and contemplation of His creation.
Movements within Prayers, such as standing, bowing, and prostration, encompass the forms of worship employed by all of creation in addition to containing and symbolically convening all of the forms of worship that exist within Islam.

All creations, from the minutest to the largest, all remember Allah in a way that is conducive to their form of creation. When we think of this as a choir that sees participation from the smallest particle of matter to the largest galaxy and all of creation, we may feel as though we are taking part in this universal activity when we allow for our worldly actions to be set aside and face Allah in Prayer. It is at every instance when we catch this feeling that Prayer will cease to be a mandatory responsibility for us and become a source of joy.
The universality of Prayer can also be felt through the scheduling of Prayer times according to the worlds rotation around the sun, which in turn causes for every moment to become a time for the commencement of Prayer and there always being people prostrating to Allah at every second. And again, the fact that there is no need for a special venue or religious leader and that Prayer can be performed in every clean area on an individual basis also speaks to its universality.

Prayer is not just a form of worship that effects the internal phases of an individual. Contrarily, it is the most important determinant that shapes all of his relations, beginning with his immediate environment and his outlook on life.

Prayer takes on the role of a measure in determining the direction and form in relations with humans.

“Your ally is none but Allah and [therefore] His Messenger 
and those who establish Prayer and give zakah, and they bow (in worship).”
(Al-Ma’idah 5:55)

In its essence, Prayer comprises sincere tranquility in the presence of Allah (a complete respect and reverence), the remembrance of Allah on the tongue and utmost respect of the body towards Allah. Prayer that is performed without peace in the heart and honoring in the body, although appearing to be Prayer in shape and form, is not truly and completely Prayer.

The Qur’an refers to Prayer as “dhikr,” in other words, remembrance. The more a person remembers Allah during their Prayer, the more authentic their Prayer is. If a person is able to gain hold of the fact that they are in the presence of Allah even for one second in their prayer, then that is a great accomplishment for that person. It is most appropriate for this second to take place at the initial takbeer (saying Allahu Akbar) leading into Prayer. This moment can serve to ferment the whole of Prayer, spreading throughout it, transforming the remainder of Prayer to its own attributes. The reference to the spot of worship as the “mihrab” alludes to the fact that Prayer is a battle against the one’s self and the Satan. In this case, “giving the mihrab its due right,” means making the self triumphant.

Despite the fact that Prayer has been made mandatory during certain times (An-Nisa’ 4:103), the Qur’an has not clearly stated the number and rak`ahs (units) of Prayers explicitly, only touching on the times for Prayer briefly. As is the case with many other religious applications, the details of these have been left the instructions of the Messenger of Allah, which are based on the divine education he received.
The religion of Islam places a great deal of significance on the unity and convening of a religious community. To facilitate this, praying with a congregation and the places in which congregations convene, mosques, have special importance.

Muslims are encouraged to perform their five daily Prayers in congregation at mosques, while the Friday Prayer performed once a week at a mosque has been made mandatory, the two annual `Eid Prayers have been made supererogatory  and similarly the annual convening of Muslims in Mecca has been made mandatory.

The facing of the direction of Mecca, regardless of where you are on the planet, is an attestation to the universal unity of Islam. The selection of an imam to lead the Prayer, the following of the imam by the congregation, the precision of straight lines formed by the congregation, the performance of all physical activities and recitation within the Prayer in synchrony and unity carries both spiritual and physical significance. The rows of the Muslim, whether rich or poor; worker or administrator; young or old, that is based on whomsoever arrives first, side by side in order of arrival, mentally prepares Muslims right before Prayer for espousing the notion that they are equals in the sight of Allah.


sumber dari: new-muslims.info

Friday, 7 June 2013

Hikmah Di Balik Perintah Menutup Aurat



hikmah di balik hijabRasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menyebutkan dua golongan yang diancam nereka, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan satu golongan di antara mereka dengan sabda beliau:

((… وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلَاتٌ مُمِيلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا)) رواه مسلم
” …Dan kaum wanita yang berpakaian tetapi telanjang (karena pakaiannya tipis dan tembus pandang), menyimpang (dari kehormatannya) dan mengajak wanita lain untuk berbuat seperti dirinya, kepala mereka seperti punuk unta yang miring, mereka tidak akan masuk syurga dan tidak akan mendapati aromanya, padahal aromanya bisa didapat dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim) 
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

( لا تقبل صلاة حائض إلا بخمار ) رواه الإمام أحمد وأبوداود والترمذي وابن ماجه
“Tidak diterima shalat seorang perempuan yang sudah haidh (maksudnya sudah baligh) kecuali dengan memakai khimar (kerudung yang menutup kepala).”
(HR. Hadits shahih, diriwayatkan oleh imam Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Maka kedua hadits di atas menunjukkan wajibnya seorang wanita muslimah untuk menutup auratnya, dan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengancam para wanita membuka auratnya dengan ancaman neraka. Dan sebagaimana sudah kita ketahui bersama, bahwasanya tidak syari’at ini memerintahkan sesuatu kecuali di sana ada maslahat, dan tidaklah melarang dari sesuatu kecuali karena di sana ada mafsadat (bahaya). Berikut ini hasil penelitian ilmuwan modern seputar masalah ini:

Penelitian ilmiah modern telah membuktikan bahwa pamer aurat dan “buka-bukaan” yang dilakukan para perempuan mendatangkan musibah kepada diri mereka, yang mana data statistik saat ini menunjukkan bahwa terjadi penyebaran penyakit kanker ganas pada bagian tubuh perempuan yang terbuka, terutama pada perempuan yang memakai pakaian pendek.

Telah diterbitkan dalam British Medical Journal, bahwa kanker  ganas melanoma, yang dahulu merupakan salah satu jenis kanker yang paling langka, sekarang  jumlahnya meningkat. Dan bahwasanya jumlah terjangkitnya penyakit tersebut pada anak perempuan di usia belia sekarang meningkat, yang mana mereka terjangkit penyakit tersebut di kaki-kaki mereka. Dan bahwa sebab utama tersebarnya kanker  ganas ini adalah tersebarnya seragam pendek, yang mana hal itu menjadikan tubuh mereka terkena paparan sinar matahari  dalam waktu yang lama sepanjang tahun dan bahwasanya kaus kaki yang transparan atau nilon tidak bermanfaat untuk mencegahnya.

Majalah tersebut mengajak para dokter untuk berpartisipasi dalam pengumpulan informasi  tentang penyakit ini, seolah-olah hal ini hampir-hampir menjadi sebuah wabah. Sesungguhnya hal tersebut mengingatkan kita pada firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:

(وَإِذْ قَالُواْ اللَّهُمَّ إِن كَانَ هَـذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِندِكَ فَأَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِّنَ السَّمَاء أَوِ ائْتِنَا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ ) سورة الأنفال : 32
” Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata:”Ya Allah, jika betul (al-Qur’an) ini, dialah yang benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih.”
(QS. Al-Anfaal: 32)

Dan adzab yang pediah atau sebagiannya telah menimpa mereka dalam bentuk kanker ganas, yang merupakan jenis kanker paling berbahaya. Dan penyakit ini adalah buah dari terkenanya tubuh seseorang oleh sinar matahari dan radiasi ultraviolet dalam waktu yang lama. Dan itulah hal yang dihasilkan dari pakaian pendek atau pakaian renang di tepi pantai.

Dan yang perlu diperhatikan adalah bahwa ia mengenai seluruh badan dan dengan kadar yang berbeda-beda. Pertama ia muncul seperti bercak hitam kecil, dan terkadang sangat kecil. Dan kebanyakan hal itu terjadi di mata kaki atau betis, dan kadang-kadang di daerah mata, kemudian mulai tersebar di semua tempat dan arah (dalam tubuh), padahal bersamaan dengan itu ia juga bertambah dan tumbuh di tempat pertama kali muncul. Lalu ia menyerang kelenjar getah bening di pangkal paha dan darah dan akhirnya menetap di hati (liver) dan menghancurkannya.

Dan terkadang ia menetap di semua anggota badan, di antaranya tulang dan bagian dalam tubuh, termasuk ginjal. Dan bisa jadi serangan terhadap ginjal diikuti dengan air kencing yang berwarna hitam, sebagai akibat terserangnya ginjal oleh kanker ganas.

Dan terkadang ia akan menular ke janin di dalam rahim ibu, dan penyakit ini tidak memberikan waktu yang lama kepada pengidapnya, sebagaimana juga pengobatan dengan operasi tidak memberikan jaminan untuk bertahan hidup (selamat) sebagaimana jenis-jenis kanker yang lain, di mana jenis kanker ini tidak bisa diobati dengan penyinaran. Dari sini nampak terlihat hikmah hukum Islam yang memerintahkan wanita untuk memakai pakaian yang menutup seluruh tubuhnya, dengan pakaian yang longgar, tidak sempit, dan tidak tipis, dengan dibolehkannya membuka wajah dan telapak tangan (menurut salah satu pendapat ulama,red).
Maka telah menjadi jelaslah bahwa pakaian kesucian dan kehormatan diri, adalah perlindungan terbaik dari siksaan dunia, yang terwujud dalam penyakit ini, dan lebih-lebih dari adzab/siksa akhirat. Kemudian, apakah setelah dukungan ilmu pengetahuan modern terhadap apa yang telah ditetapkan oleh syari’at yang bijaksana masih ada argument/dalih untuk membolehkan para wanita bersolek dan memamerkan auratnya??!!


sumber dari: msulhan.wordpress.com

Monday, 20 May 2013

Ketaqwaan





Ketaqwaan



Allah Ta'ala berfirman:
"Hai sekalian orang yang beriman, bertaqwalah engkau semua kepada Allah dengan sebenar-benarnya ketaqwaan." (ali-lmran: 102)

Allah Ta'ala berfirman pula:
"Maka   bertaqwalah   engkau  semua   kepada   Allah  sekuat-kuatmu." (at-Taghabun: 16)
Ayat ini menjelaskan apa yang dimaksudkan dari ayat yang pertama.

Lagi Allah Ta'ala berfirman:
"Hai sekalian orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan berkatalah dengan kata-kata yang betul - sesuai dengan apa yang sesungguhnya." (al-Ahzab: 70)

Ayat-ayat yang berhubungan dengan perintah bertaqwa itu banyak sekali dan dapat dimaklumi.
Allah Ta'ala berfirman lagi:
"Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan membuat untuknya jalan keluar - dari segala macam kesulitan - dan memberinya rezeki dari jalan yang tidak dikira-kirakan." (at-Thalaq: 2-3)

Allah Ta'ala berfirman pula:
"Jikalau engkau semua bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan menjadikan untukmu semua pembedaan - antara kebenaran dan kesalahan, juga menutupi kesalahan-kesalahanmu serta mengampuni dosamu dan Allah itu memiliki keutamaan yang agung." (al-Anfal: 29)

Ayat-ayat dalam bab ini banyak sekali dan dapat dimaklumi. Adapun Hadis-hadisnya ialah:
 
Pertama: Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. ditanya: "Ya Rasulullah, siapakah orang yang semulia-mulianya?"
Beliau s.a.w. bersabda: "Yaitu orang yang bertaqwa di antara engkau semua.
Orang-orang berkata: "Bukan ini yang kita tanyakan." Beliau s.a.w, menjawab: "Kalau begitu ialah Nabi Yusuf, ia adalah Nabiullah, putera Nabiullah dan inipun putera Nabiullah pula dan ini adalah putera khalilullah - kekasih Allah yakni bahwa Nabi Yusuf itu adalah putera Nabi Ya'qub putera Nabi Ishaq putera Nabi Ibrahim yaitu Khalilullah."
Orang-orang berkata lagi: "Bukan ini yang kita tanyakan." Beliau s.a.w. menjawab pula: "Jadi tentang orang-orang yang merupakan pelikan-pelikan - pembesar-pembesar - dari bangsa Arab yang engkau semua tanyakan padaku? Orang-orang yang merupakan pilihan di antara bangsa Arab itu di zaman Jahiliyah, itu pulalah yang merupakan orang-orang pilihan di zaman Islam, jikalau mereka mengerti hukum-hukum agama." (Muttafaq 'alaih)
Lafaz Faquhuu jika dibaca dengan didhammahkan qafnya adalah masyhur, tetapi ada yang mengatakan dengan mengkasrahkan qaf, lalu dibaca Faqihuu, artinya ialah "mengerti akan hukum-hukum syara'."
 
Kedua: Dari Abu Said al-Khudri r.a. dari Nabi s.a.w. sabdanya:
"Sesungguhnya dunia ini manis dan menghijau - yakni lazat dan nyaman - dan sesungguhnya Allah itu menjadikan engkau semua sebagai pengganti di bumi itu, maka itu Dia akan melihat apa-apa yang engkau lakukan. Oleh karenanya, maka takutilah harta dunia dan takutilah pula tipudaya kaum wanita. Sebab sesungguhnya pertama-tama fitnah yang bercokol di kalangan kaum Bani Israil adalah dalam persoalan kaum wanita." (Riwayat Muslim)
 
Ketiga: Dari Ibnu Mas'ud r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda:
"Ya Allah, sesungguhnya saya memohonkan padaMu akan petunjuk, ketaqwaan, menahan diri dari apa-apa yang tidak diperkenankan serta kekayaan hati." (Riwayat Muslim)
 
Keempat: Dari Abu Tharif, yaitu 'Adi bin Hatim Aththa'i r.a., katanya; "Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Barangsiapa yang bersumpah atas sesuatu persumpahan, kemudian ia mengetahui hal yang keadaannya lebih menjurus kepada ketaqwaan terhadap Allah daripada persumpahan yang dilakukannya tadi, maka hendaklah mendatangi - memilih -ketaqwaan itu saja." (Riwayat Muslim)

Kelima: Dari Abu Umamah yaitu Shuday bin 'Ajlan al-Bahili r.a., katanya: "Saya mendengar Rasulullah s.a.w. berkhutbah dalam haji wada' - haji terakhir bagi beliau s.a.w. sebagai mohon diri, kemudian beliau s.a.w. bersabda:
"Bertaqwalah kepada Allah, kerjakanlah shalat lima waktumu, lakukanlah Puasa dalam bulanmu - Ramadhan, tunaikanlah zakat harta-hartamu dan taatilah pemegang-pemegang pemerintahanmu, maka engkau semua akan dapat memasuki syurga Tuhanmu."

Diriwayatkan oleh Imam Termidzi dalam akhir kitab bab shalat dan ia mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan shahih.



sumber dari: 10108602.blog.unikom.ac.id

MERAIH PAHALA DARI FITNAH ANAK DAN HARTA ..







TERDAPAT dua ayat di dalam Al-Qur’an yang menyebut harta dan anak sebagai fitnah, yaitu surah Al-Anfal ayat 28 dan surah At-Taghabun ayat 15,

♥ ♥ ♥ ♥ “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.”

Perbedaannya: pada surah Al-Anfal, Allah menggunakan redaksi pemberitahuan “ketahuilah”, sedangkan pada surah At-Taghabun menggunakan redaksi penegasan “sesungguhnya”. Namun ungkapan yang mengakhiri kedua ayat tersebut sama, yaitu “di sisi Allah-lah pahala yang besar.”

Sehingga bisa dipahami bahwa fitnah harta dan anak bisa menjerumuskan ke dalam kemaksiatan, namun di sisi lain justru bisa menjadi peluang meraih pahala yang besar dari Allah سبحانه وتعالى. Dan makna yang kedua itulah yang dikehendaki oleh Allah, sehingga Allah mengingatkannya di akhir ayat yang berbicara tentang fitnah anak dan harta “dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”.

♥ ♥ ♥ ♥ ”Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu adalah fitnah dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Al-Anfal: 28)


||||¦¦¦¦||||¦¦¦¦||||¦¦¦¦||||¦¦¦¦||||

Fitnah dalam kedua ayat ini bukan dalam arti Bahasa Indonesia (BiHi: Malaysia juga), yaitu setiap perkataan yang bermaksud menjelekkan orang, seperti menodai nama baik atau merugikan kehormatannya. Tetapi fitnah yang dimaksud dalam konteks harta dan anak seperti yang dikemukakan oleh Asy-Syaukani adalah bahwa keduanya dapat menjadi sebab seseorang terjerumus dalam banyak dosa dan kemaksiatan, demikian juga dapat menjadi sebab mendapatkan pahala yang besar.

Inilah yang dimaksud dengan ujian yang Allah uji pada harta dan anak seseorang. Fitnah di sini juga dalam arti bisa menyibukkan atau memalingkan dan menjadi penghalang seseorang dari mengingat dan mengerjakan amal taat kepada Allah, seperti yang digambarkan oleh Allah tentang orang-orang munafik sehingga Dia menghindarkan orang-orang beriman dari kecenderungan ini dalam firman-Nya,

♥ ♥ ♥ ♥ “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Al-Munafiqun: 9)

Rasulullah صلى الله عليه وسلم juga menyebut kedua kemungkinan ini dalam hadits Aisyah radhiallahuanha ketika beliau memeluk seorang bayi,

♥ ♥ ♥ ♥ ”Sungguh mereka (anak-anak) dapat menjadikan seseorang kikir dan pengecut, dan mereka juga adalah termasuk dari haruman Allah سبحانه وتعالى.”

Fitnah anak dalam arti bisa mengganggu dan menghentikan aktivitas seseorang pernah dirasakan juga oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Abu Daud dari Abu Buraidah bahwa ketika Rasulullah صلى الله عليه وسلم sedang menyampaikan khutbahnya kepada kami, tiba-tiba lewatlah kedua cucunya Hasan dan Husein mengenakan baju merah sambil berlari dan saling kejar mengejar. Begitu melihat kedua cucunya, Rasulullah kontan turun dari mimbar dan mengangkat keduanya seraya mengatakan,

♥ ♥ ♥ ♥ ”Maha Benar Allah dengan firman-Nya, ”Sesungguhnya harta dan anak-anak kamu adalah fitnah”. Aku tidak sabar melihat keduanya sampai aku menghentikan ceramahku dan mengangkat keduanya.”

Dalam konteks ini, Ibnu Mas’ud radhiallahuanhu mengajarkan satu doa yang tepat tentang harta dan anak. Beliau mengungkapkan,

|| ”Janganlah kalian berdoa, dengan doa ini, ”Ya Allah, lindungilah kami dari fitnah.” Karena setiap kalian ketika pulang ke rumah akan mendapati harta, anak dan keluarganya bisa mengandungi fitnah, tetapi katakanlah, ”Ya Allah aku berlindung kepada engkau dari fitnah yang menyesatkan.”


||||¦¦¦¦||||¦¦¦¦||||¦¦¦¦||||¦¦¦¦||||

Secara korelatif tentang fitnah harta dan anak dalam surah At-Taghabun, Imam Ar-Razi dalam At-Tafsir Al-Kabir menyebutkan, karena anak dan harta merupakan fitnah, maka Allah memerintahkan kita agar senantiasa bertaqwa dan taat kepada Allah setelah menyebutkan hakikat fitnah keduanya,

♥ ♥ ♥ ♥ ”Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (At-Taghabun: 16)

Apalagi pada ayat sebelumnya, Allah menegaskan akan kemungkinan sebagian keluarga berbalik menjadi musuh bagi seseorang,

♥ ♥ ♥ ♥ ”Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (At-Taghabun: 14)

Sedangkan tentang fitnah harta dan anak dalam surah Al-Anfal, Sayyid Quthb menyebutkan korelasinya dengan thema amanah ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (Al-Anfal: 27), bahwa harta dan anak merupakan objek ujian dan cobaan Allah سبحانه وتعالى yang dapat saja menghalang seseorang menunaikan amanah Allah dan Rasul-Nya dengan baik. Padahal kehidupan yang mulia adalah kehidupan yang menuntut pengorbanan dan menuntut seseorang agar mampu menunaikan segala amanah kehidupan yang diembannya. Maka melalui ayat ini Allah سبحانه وتعالى ingin memberi peringatan kepada semua khalifah-Nya agar fitnah harta dan anak tidak melemahkannya dalam mengemban amanah kehidupan dan perjuangan agar meraih kemuliaan hidup di dunia dan di akhirat.


||||¦¦¦¦||||¦¦¦¦||||¦¦¦¦||||¦¦¦¦||||

Dan inilah titik lemah manusia di depan harta dan anak-anaknya. Sehingga peringatan Allah akan besarnya fitnah harta dan anak diiringi dengan kabar gembira akan pahala dan keutamaan yang akan diraih melalui sarana harta dan anak.

Lebih jauh, korelasi ayat di atas dapat ditemukan dalam beberapa ayat yang lain. Al-Qurthubi misalnya, menemukan korelasinya dengan surah Al-Kahfi: 46 yang bermaksud,

♥ ♥ ♥ ♥ “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”,

Bahwa harta kekayaan dan anak wajar menjadi perhiasan dunia yang menetramkan pemiliknya karena pada harta ada keindahan dan manfaat, sedangkan pada anak ada kekuatan dan dukungan.

Namun demikian kedudukan keduanya sebagai perhiasan dunia hanyalah bersifat sementara dan bisa menggiurkan serta menjerumuskan. Maka sangat tepat jika ayat “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. (At-Taghabun: 15) dan ayat “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Al-Munafiqun: 9) menjadi pengingat jika kemudian terjadi harta dan anak justru menjauhkan pemiliknya dari Allah سبحانه وتعالى.

Berbeda dengan At-Thabari, ia memahami korelasi kontradiktif ayat ini dengan surah Ali Imran ayat 38,

♥ ♥ ♥ ♥ “Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.”

Menurut Ath-Thabari, secara tekstual ayat ini bisa dipahami bertentangan dengan ayat yang memberi peringatan akan kemungkinan bahaya dan fitnah yang ditimbulkan dari harta dan anak. Padahal nabi Zakaria sendiri berdoa agar dikaruniakan keturunan yang banyak. Maka pemahaman yang cenderung kontradiktif ini diluruskan sendiri oleh Ath-Thabari dengan mengemukakan bahwa anak yang di pohon oleh Zakaria adalah anak keturunan yang shaleh yang bisa memberi manfaat di dunia dan akhirat.

Sedangkan yang dikhawatirkan adalah kriteria harta dan anak yang justru melalaikan dari mengingat Allah سبحانه وتعالى seperti yang Allah tegaskan dalam salah satu firman-Nya,

♥ ♥ ♥ ♥ “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Al-Munafiqun: 9)

Dalam konteks ini, Nabi Muhammad sendiri pernah mendoakan harta dan anak yang banyak kepada sahabat Anas bin Malik radhiallahuanhu,

♥ ♥ ♥ ♥ “Ya Allah perbanyaklah untuknya harta dan anak, dan berkahilah setiap apa yang Engkau anugerahkan kepadanya.”

Demikian keseimbangan yang diajarkan oleh Allah سبحانه وتعالى dalam menyikapi fitnah harta dan anak yang menduduki posisi tertinggi dari titik lemah manusia. Harta dan anak memiliki potensi yang sama dalam menghantarkan kepada kebaikan atau menjerumuskan seseorang kepada dosa dan kemaksiatan. Sudah sepantasnya peringatan Allah dalam konteks fitnah harta dan anak senantiasa yang sering kita ingat karena hanya peringatan Allah yang mencerminkan kasih sayang-Nya yang layak untuk diingat,

♥ ♥ ♥ ♥ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (At-Tahrim:6).

 

Wallahu a'lam bishawab, 


sumber dari: laillanm.blogspot.com

Saturday, 8 December 2012

sabar adalah menahan diri dari sifat kegundahan dan rasa emosi






Sabar merupakan istilah dari bahasa Arab dan sudah menjadi istilah bahasa Indonesia. Asal katanya adalah “shabara”, yang membentuk infinitif (masdar) menjadi “shabran“. Dari segi bahasa, sabar berarti menahan dan mencegah. Menguatkan makna seperti ini adalah firman Allah dalam Al-Qur’an: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28)

Perintah bersabar pada ayat di atas adalah untuk menahan diri dari keingingan ‘keluar’ dari komunitas orang-orang yang menyeru Rabnya serta selalu mengharap keridhaan-Nya. Perintah sabar di atas sekaligus juga sebagai pencegahan dari keinginan manusia yang ingin bersama dengan orang-orang yang lalai dari mengingat Allah swt.

Sedangkan dari segi istilahnya, sabar adalah menahan diri dari sifat kegundahan dan rasa emosi, kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah.
Amru bin Usman mengatakan, bahwa sabar adalah keteguhan bersama Allah, menerima ujian dari-Nya dengan lapang dan tenang. Hal senada juga dikemukakan oleh Imam Al-Khawas, “Sabar adalah refleksi keteguhan untuk merealisasikan Al-Qur’an dan sunnah. Sehingga sabar tidak identik dengan kepasrahan dan ketidakmampuan. Rasulullah saw. memerintahkan umatnya untuk sabar ketika berjihad. Padahal jihad adalah memerangi musuh-musuh Allah, yang klimaksnya adalah menggunakan senjata (perang).”
Sabar Sebagaimana Digambarkan Dalam Al-Qur’an

Dalam Al-Qur’an banyak ayat yang berbicara mengenai kesabaran. Jika ditelusuri, terdapat 103 kali disebut dalam Al-Qur’an, baik berbentuk isim maupun fi’ilnya. Hal ini menunjukkan betapa kesabaran menjadi perhatian Allah swt.

1. Sabar merupakan perintah Allah. “Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 153). Ayat-ayat yang serupa Ali Imran: 200, An-Nahl: 127, Al-Anfal: 46, Yunus: 109, Hud: 115.

2. Larangan isti’jal (tergesa-gesa). “Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka…” (Al-Ahqaf: 35)

3. Pujian Allah bagi orang-orang yang sabar: “…dan orang-orang yang bersabar dalam kesulitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (Al-Baqarah: 177)

4. Allah akan mencintai orang-orang yang sabar. “Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 146)

5. Kebersamaan Allah dengan orang-orang yang sabar. Artinya Allah senantiasa akan menyertai hamba-hamba-Nya yang sabar. “Dan bersabarlah kamu, karena sesungguhnya Allah itu beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Anfal: 46)

6. Mendapatkan pahala surga dari Allah. (Ar-Ra’d: 23 – 24)



sumber dari: hidayah18.wordpress.com