Showing posts with label Al-Furqan. Show all posts
Showing posts with label Al-Furqan. Show all posts

Tuesday, 22 April 2014

Anugerah Anak







Setiap orang yang telah berkeluarga, bisa dipastikan amat mendambakan keturunan. Segala cara akan mereka tempuh, walau harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit jumlahnya, guna memperoleh sang pelanjut generasi. Kondisi ini bukanlah sesuatu yang aneh, apalagi ganjil. Sebab Allah Swt. telah menjabarkan di dalam Alqur’an Surat Ali Imran ayat 14 dengan menyatakan bahwa pasangan hidup dan anak-cucu merupakan perhiasan (ziinah) kemanusiaan. Namun tidak banyak yang sadar di antara manusia tentang “sesuatu” yang mereka dambakan tersebut. Sebab bagi kebanyakan orang tua, anak hanya merupakan investasi masa depan, baik di dunia maupun akhirat, tanpa ada pandangan yang lebih jauh lagi tentang resiko dari investasi tersebut.

Berkaitan dengan masalah anak, Alqur’an telah menjelaskan ada 4 model anak manusia. Yang semuanya merupakan fase-fase yang senantiasa mengiringi eksistensi kita, meskipun kita sendiri mungkin saja sudah beranak cucu pula. Ialah tipe yang menjadi ujian bagi kedua orangtua, tipe yang mencelakakan orangtua, tipe yang menjadi seteru orang tua, dan tipe anak yang bisa membanggakan kedua orangtuanya.

Untuk tipe anak pertama, terdapat di dalam Alqur’an surat at-Taghabun ayat 15 dan al-Anfal ayat 28.

Di dalam surat at-Taghabun ayat 15 dinyatakan bahwa, “Harta benda dan anak-anakmu hanyalah menjadi ujian. Dan di sisi Allah ada pahala yang besar.” Sedangkan di dalam surat al-Anfal ayat 28 disebutkan sebagai berikut, “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu menjadi ujian dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.”

Dari dua ayat di atas bisa dipastikan bahwa pada dasarnya anak adalah ujian dari Allah Swt. yang bermakna ganda, sebagaimana sifat dasar dari sebuah ujian. Ia bisa membawa kebaikan, dan tidak menutup kemungkinan mengajak kejahatan. Meskipun sifat dasar dari anak manusia adalah cenderung pada kebajikan (‘ala al-fitrah).

Tipe kedua adalah anak yang menjadi model di dalam surat al-Munafiqun ayat 9 sebagai berikut, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikanmu dari mengingati Allah. Dan siapa yang berbuat begitu, itulah orang-orang yang menderita kerugian.” Contoh dari model anak kedua adalah seorang anak yang bisa memposisikan orang tuanya berada dalam situasi yang begitu bernafsu melanggar ketentuan-ketentuan Allah, terutama dengan berbekal senjata kasih sayang.

Di dalam surat at-Taghabun ayat 14 disebutkan model anak yang ketiga sebagai berikut, “Hai orang-orang beriman, sesungguhnya di antara isteri dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagi kamu. Sebab itu, berhati-hatilah terhadap mereka. Tetapi kalau kamu suka memaafkan, berhati lapang, dan memberikan ampun, sesungguhnya Allah itu maha pengampun lagi Maha Penyayang.” Anak yang paling tepat menjadi contoh dari tipe anak yang ketiga ini adalah Kana’an, putra Nabi Nuh As.

Keempat, anak yang bisa membanggakan dan menyenangkan hati kedua orang tuanya sebagaimana yang terdapat di dalam surat al-Furqan ayat 74 sebagai berikut ini, “Wahai Tuhan Kami, kurniakanlah kepada kami isteri dan keturunan yang menjadi cahaya mata (yang terdiri dari orang-orang yang beriman, berilmu, berbudi, dan taat beragama), dan jadikanlah Kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” Dan Nabi Ismail AS. adalah figur anak yang paling pas dalam memerankan model yang keempat ini. Bagaimana tidak, kala dimintai penyerahan jiwanya oleh sang ayah, Nabi Ibrahim AS, demi memenuhi amar Tuhan, dengan mudahnya Nabi Ismail memasrahkan dirinya. Itulah gambaran anak yang bisa membahagiakan dan membanggakan kedua orang tuanya. Semoga di bulan Ramadhan yang suci ini, kita bisa bisa menjadi Ismail-Ismail baru dan mempunyai “anak-anak Ismail” pula. Amin Ya Allah, Ya Mujibas Sa’ilin. Semoga.

Wallah A’lam bi ash-Shawwab



sumber dari: pahrurrojimbukhori.wordpress.com/

Friday, 18 April 2014

nescaya akan hilang bisanya








Surah An Nur :- 
Baca nescaya terhindar dari mimpi-mimpi buruk.
 

Surah An Nur Ayat 35 :- 
Baca setiap hari Jumaat sebelum solat Asar, nescaya disegani oleh orang ramai.
 

Surah Al Furqan :- 
Baca 3 kali dalam air dan percikkan dalam rumah, nescaya selamat dari gangguan binatang liar dan ular.
 

Surah Asy Syu'ara' Ayat 130 :- 
Baca 7 kali dengan senafas pada orang-orang yang digigit binatang bisa, nescaya akan hilang bisanya.
 

Surah An Naml :- 
Baca nescaya nikmat-nikmat Allah akan kekal kepadanya.
 

Surah Al Ankabut :- 
Nescaya demam sembuh dan juga terhindar dari gelisah.
 

Surah Ar Rum :- 
Baca nescaya Allah akan binasakan orang-orang yang hendak menzaliminya.
 

Surah Luqman :- 
Baca nescaya terhindar dari segala penyakit-penyakit perut.




sumber dari: virtualfriends.net/

Wednesday, 19 March 2014

Selisihi Nafsumu







Imam Ibnu Qoyim al-Jauziyah pernah mengatakan,

“Sesungguhnya setan tidak memiliki pintu masuk ke dalam dada manusia selain dari pintu nafsu. Setan senantiasa mengintai manusia, kiranya dari arah mana ia bisa masuk, lalu merusak hati serta amalan hamba tersebut. Namun setan tidak mendapati pintu masuk dan tidak pula ia dapati jalan menuju ke sana selain dari nafsunya. Lalu setan pun ikut dalam arus nafsu tersebut sebagaimana ikut larutnya racun dalam aliran darah di setiap urat-urat”.[1]


Kewajiban setiap hamba ialah memerangi setan dengan cara meninggalkan seruan nafsunya. Sesungguhnya setan tak akan berpisah dari nafsu seseorang. Seorang hamba juga harus memerangi setan dengan mengekang nafsunya, dengan senantiasa menghakiminya dalam setiap urusan secara mutlak. Berhenti sejenak setiap hendak melakukan setiap urusan agar jangan sampai ada tersisa sedikit pun bagian bagi nafsu saat ia harus berbuat atau meninggalkan sesuatu.

Ibnu Qoyim al-Jauziyah juga mengatakan,

”Sesungguhnya setan itu tatkala mendapati pada diri seorang hamba kelemahan semangat, rendahnya kemauan, serta kecenderungannya terhadap nafsu, ia akan sangat mengharapkan hamba tersebut sehingga ia pun merasukinya dan membelenggunya dengan belenggu nafsu. Dan setan itu akan menghalaunya ke arah mana yang ia kehendaki. Sedangkan tatkala setan mulai merasakan munculnya semangat yang kuat, kemuliaan jiwa, serta ketinggian kemauan, ia tidak lagi berharap pada hamba tersebut selain hanya sekedar serobotan dan mencuri-curi (kesempatannya).”[2]

Ini bukan berarti bahwa manusia tidak boleh bernafsu sama sekali. Tetapi hendaknya ia memalingkan nafsunya menuju sesuatu yang bermanfaat baginya dan untuk menunaikan sesuatu yang dikehendaki oleh Robbul‘alamin Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga ia pun terhindar dari memperturutkan nafsunya dalam bermaksiat kepada Alloh Azza wa Jalla.

Memang, seharusnya segala sesuatu yang ada pada diri seseorang itu tidak dipergunakan selain Lillahi Ta’ala, untuk menaati Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga Dia Subhanahu wa Ta’ala pun memeliharanya dari kejelekan penggunaan nafsu bagi dirinya dan setan.  Dan sesuatu yang tidak dipergunakan Lillahi Ta’ala maka berarti ia telah menuruti nafsunya.

Ilmu pun bila tidak Lillahi Ta’ala berarti hanya untuk nafsu dan demi nafsu semata. Sebagaimana amalan bila bukan Lillahi Ta’ala maka demi pamrih, riya’, dan kemunafikan semata. Begitu juga harta bila tidak diinfakkan di jalan ketaatan kepada Alloh Azza wa Jalla, maka ia hanya diinfakkan untuk menaati nafsu dan setan semata. Kebesaran seseorang di hadapan manusia bila tidak dia gunakan untuk memenuhi perintah Alloh maka ia hanyalah memenuhi perintah nafsu dan mengenyangkannya semata. Kekuatan dan tenaga bila tidak dicurahkan untuk menunaikan ketaatan kepada Alloh maka ia hanya akan dicurahkan untuk bermaksiat kepada-Nya Subhanahu wa Ta’ala.

Maka, barang siapa yang telah membiasakan nafsunya untuk beramal Lillahi Ta’ala niscaya tidak ada sesuatu yang lebih berat bagi nafsu tersebut selain beramal kepada selain-Nya Azza wa Jalla.

Sebaliknya siapa saja yang terbiasa menuruti kemauan nafsunya, maka tidak ada seuatu yang lebih berat bagi nafsu tersebut selain beramal ikhlas Lillahi Ta’ala. Itulah kenyataan para penyembah nafsu.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلا
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? (QS al-Furqon: 43)
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلا تَذَكَّرُونَ (٢٣)
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah Telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS al-Jatsiyah: 23)
Menyelishi nafsu hanya bisa dilakukan atas dasar cinta yang besar kepada Alloh, berharap balasan pahala di sisi-Nya, dan takut dari ditutupnya tabir serta azab dari-Nya.
Alloh Azza wa Jalla berfirman:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى   .فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
Dan ada pun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya). (QS an-Nazi’at: 40-41)
Imam Ibnu Qoyim al-Jauziyah mengatakan,

”Maka nafsu itu mengajak menuju penyelewengan dan mementingkan kehidupan dunia, sedangkan Robb Subhanahu wa Ta’ala menyeru hamba-Nya menuju rasa takut kepada-Nya dan melarang setiap diri dari menuruti nafsu. Sementara hati itu berada di antara dua seruan tersebut, sesekali cenderung ke seruan yang ini, dan sesekali cenderung ke seruan yang itu. Ini adalah benar-benar ujian. Dan Alloh Azza wa Jalla telah menyifati jiwa di dalam al-Qur’an dengan tiga sifat; muthmainnah, ammaroh bissuu’, dan lawwamah. Artinya: tenang, menyuruh perlakuan keji, dan berkeluh kesah.” [3]

Seseorang yang takut akan keagungan dan kebesaran Robbnya tentu tidak akan berbuat maksiat. Seandainya Alloh menakdirkan ia melakukannya sebab sifat lemah yang dimiliki oleh sifat kemanusiaannya, rasa takutnya akan segera membelokkannya menuju penyesalan yang sangat, istighfar, dan taubat kepada-Nya, sehingga tetap saja ia berada di dalam ketaatan.

Menahan nafsu merupakan titik pusat yang menguasai area ketaatan. Sementara nafsu ialah pendorong utama menuju setiap penyelewengan, melampaui batas, serta kemaksiatan. Ia juga merupakan sumber petaka dan kejahatan, yang sangat langka seseorang menuai keduanya selain dari sebab nafsunya. Maka, tidak seperti kebodohan yang mudah diatasi. Nafsu yang diperturutkan, setelah seseorang berilmu, merupakan petaka bagi dirinya. Butuh terapi yang sungguh-sungguh dan kurun waktu yang tidak singkat dalam mengobatinya.

Sedangkan takut dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala merupakan benteng yang kokoh dalam menghadapi nafsu yang menggebu-gebu. Dan betapa sedikitnya sesuatu yang bisa tetap kokoh menghadapi nafsu selain rasa takut ini. Oleh sebab itulah Alloh Azza wa Jalla mneyebutkan keduanya dalam satu ayat tersebut di atas. Perhatikanlah, bahwa Dzat yang berfirman di sini ialah Alloh Subhanahu wa Ta’ala, Sang Pencipta nafsu, Yang Mahatahu penyakit-penyakit dan bahayanya, Yang Mahatahu penjinak dan obatnya. Dia Subhanahu wa Ta’ala saja Yang Mahatahu di mana nafsu-nafsu itu akan bisa tenang dengan obat-obat penawarnya.

Alloh Azza wa Jalla telah memebebankan setiap manusia agar menahan diri dari nafsunya, menahan dengan kegigihannya. Dan agar ia memohon pertolongan dengan rasa takut kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yaitu rasa takut dari kebesaran dan keagungan Robbnya Yang Mahaagung. Dan Dia Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan Surga sebagai tempat kembali dan pahala bagi siapa saja yang berjihad melawan nafsunya. Yang demikian itu sebab Alloh Azza wa Jalla Mahatahu kebesaran jihad ini, Mahatahu betapa tinggi nilainya dalam mentarbiyah jiwa manusia dan melempangkannya serta mengangkatnya menuju derajat kemanusiaan yang diridhoi oleh-Nya Subhanahu wa Ta’ala.  

Wallohulmuwaffiq.



sumber dari: http://alghoyami.wordpress.com/

Thursday, 27 February 2014

Air Hujan Adalah Tawar




"Maka terangkanlah kepada-Ku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan? Kalau Kami kehendaki, niscaya Kami jadikan dia asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur?" (Surat Al Waqi'ah: 68-70).
 
      
 
 
"… dan Kami beri minum kamu dengan air yang tawar?" (Surat al-Mursalat: 27)
 
"Dialah Yang telah menurunkan air hujan dari
langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu." (Surat An-Nahl: 10)

Seperti telah kita ketahui, air hujan berasal dari penguapan air dan 97% merupakan penguapan air laut yang asin. Namun, air hujan adalah tawar. Air hujan bersifat tawar karena adanya hukum fisika yang telah ditetapkan Allah. Berdasarkan hukum ini, dari mana pun asalnya penguapan air ini, baik dari laut yang asin, dari danau yang mengandung mineral, atau dari dalam lumpur, air yang menguap tidak pernah mengandung bahan lain. Air hujan akan jatuh ke tanah dalam keadaan murni dan bersih, sesuai dengan ketentuan Allah
 
"… Kami turunkan dari langit air yang amat bersih. " (Surat al-Furqan: 48)
 
"Dan sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati; sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu." (Surat Fushilat: 39)
 
Hujan Yang Memberi Kehidupan Bagi Tanah Yang Mati
 
Di dalam Al Quran banyak ayat yang menyeru kepada kita agar memperhatikan bahwa hujan berguna untuk menghidupkan negeri (tanah) yang mati.
 
"… dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih agar Kami menghidupkan dengan air itu negeri (tanah) yang mati, dan agar Kami memberi minum dengan air itu sebagian besar dari makhluk Kami, binatang-binatang ternak dan manusia yang banyak." (Surat al-Furqan: 48-49)
 
Selain tanah diberi air, yang merupakan kebutuhan mutlak bagi makhluk hidup, hujan juga berfungsi sebagai penyubur.
 
Tetesan hujan, yang mencapai awan setelah sebelumnya menguap dari laut, mengandung zat-zat tertentu yang bisa memberi kesuburan pada tanah yang mati. Tetesan yang "memberi kehidupan" ini disebut "tetesan tegangan permukaan". Tetesan tegangan permukaan terbentuk di bagian atas permukaan laut, yang disebut lapisan mikro oleh ahli biologi. Pada lapisan yang lebih tipis dari 1/10 mm ini, terdapat sisa senyawa organik dari polusi yang disebabkan oleh ganggang mikroskopis dan zooplankton. Dalam sisa senyawa organik ini terkandung beberapa unsur yang sangat jarang ditemukan pada air laut seperti fosfor, magnesium, kalium, dan beberapa logam berat seperti tembaga, seng, kobal, dan timah. Tetesan berisi "pupuk" ini naik ke langit dengan bantuan angin dan setelah beberapa waktu akan jatuh ke bumi sebagai tetesan hujan. Dari air hujan inilah, benih dan tumbuhan di bumi memperoleh berbagai garam logam dan unsur-unsur lain yang penting bagi pertumbuhan mereka. Seperti yang tertera dalam ayat:
 
"Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam."(QS. Qaf: 9).
 
Garam-garam mineral yang turun bersama hujan merupakan contoh dari pupuk konvensional (kalsium, magnesium, kalium, dan lain-lain) yang digunakan untuk meningkatkan kesuburan. Sementara itu, logam berat, yang terdapat dalam tipe aerosol ini, adalah unsur-unsur lain yang meningkatkan kesuburan pada masa perkembangan dan produksi tanaman.
 
Singkatnya, hujan adalah penyubur yang sangat penting. Setelah seratus tahun lebih, tanah tandus dapat menjadi subur dan kaya akan unsur esensial untuk tanaman, hanya dari pupuk yang jatuh bersama hujan. Hutan pun berkembang dan diberi "makan" dengan bantuan aerosol dari laut tersebut.

"Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan Yang telah menjadikan bagimu di bumi itu jalan-jalan, dan menurunkan dari langit air hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam." (QS. Thaha: 53)


sumber dari: islam-mengukir-cinta.blogspot.com

Saturday, 22 February 2014

scientific miracle from Al Quran





There are many scientific proof in Al quran such creation human, natural phenomenon like rain, and many more. So our job is to make a research on Al quran so that we can discover new knowlegde that Allah already mention in Al Quran. You Know how Jews can conquer world economy now? This because the study Al quran, make a research and they use this to fight against Muslim, and we should relies about this.



sumber dari: acapingu.blogspot.com

Sunday, 15 December 2013

Jemputan untuk meraikan







"And among His Signs is this, that He created for you wives from among yourselves, that you may find repose in them, and He has put between you affection and mercy. Verily, in that are indeed signs for a people who reflect" Ar Rum : 21

"Our lord, grant us wives and offspring who will be the apples of our eyes and guide us to be models for the righteous" Al Furqan 25 : 74



sumber dari: nuruldiyana.blogspot.com

Friday, 25 October 2013

how to quit your self (nafs).




This is the deep training (tarbiyah): how to quit your self (nafs).

Allah bestows honor on the one who bows to another and practices ‘humility’ for the sake of Allah. He who bows down is uplifted. He who is vain falls. The seed germinates only when it has been buried in the earth. The people at the time of the Prophet used to ask,


What is it with this Prophet
who eats food and walks in the marketplace?
Why hasn’t an angel been sent down with him to give admonition?
(Surah al-Furqan 25:7)

and followed that up with,


How come we don’t see the angels come down to us
and why don’t we see our Lord?
(Surah al-Furqan 25:21)

and Allah answered them saying,
[Even] if We had made an angel, 
We would have sent him as a man, 
and dressed him as you are dressed.
(Surah al-'An'am 6:9)

So it is that our guides, our shuyukh, our murshids are people like us but more along the lines of the response of the Prophet, upon him be peace,

Truly I am a man like you
but it has been revealed to me that your G-d is one G-d.
(Surah al-Kahf 18:10)

and our shuyukh, the human inheritors (warathah) of the Rasul (divine Messenger), continue to do just that - remind us of the oneness of Allah and train us in the Way of Allah urging us to board the Ship of Safety so that, insha'Allah, we may reach the farthest shore. Our task, as sincere students, is to take the reminder, walk through the door and take the hand of the man whose hand is in the hand of the man whose hand is in the hand of the Prophet so then, like bulbs connected to wires running from pole to pole, we will be connected to the generator in the powerhouse of love and mercy.

yadul-Llahi faoqa aydihim
And the Hand of Allah is above their hands!
(Surah al-Fath 25:7)



sumber dari: mysticsaint.info

Tuesday, 24 September 2013

good deeds



“Except those who repent and believe (in Islamic Monotheism), and do righteous deeds, for those, Allah will change their sins into good deeds, and Allah is Oft-Forgiving, Most Merciful.” 
(Surah Al-Furqan, 70)




sumber dari: theayatandhadith.blogspot.com

Sunday, 22 September 2013

Cinta karena Allah



Seorang muslim tidak mengenal cinta monyet, cinta buta, cinta dusta, cinta palsu dan cinta bodoh. Ia hanya mengenal cinta suci mulia yang penuh kearifan dan kesadaran yang melahirkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan meletakkan cinta tersebut di atas segala-galanya sebagai tolok ukur cinta lainnya. Suatu ketika seorang Arab badui menghadap Nabi saw dan menanyakan perihal datangnya kiamat, lalu beliau balik bertanya: “Apa yang telah kau persiapkan?” Ia menjawab: “Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya” Beliau menyahut: “Engkau bersama siapa yang kau cintai” (HR. Bukhari dan Muslim)

Cinta karena Allah dan benci karena Allah akan menjadi filter, kontrol sekaligus tolok ukur dalam mencintai segala hal. Dengan demikian cinta yang tulus karena Allah Dzat Maha Abadi inilah yang akan bertahan abadi sementara cinta yang dilandasi motif lainnya justru yang akan cepat berubah, bersifat temporer dan akan membuahkan penyesalan. (QS. Az-Zukhruf: 43, Al-Furqan: 25)

Cinta karena Allah dan benci karena Allah akan menjadi filter, kontrol sekaligus tolok ukur dalam mencintai segala hal. Dengan demikian cinta yang tulus karena Allah Dzat Maha Abadi inilah yang akan bertahan abadi sementara cinta yang dilandasi motif lainnya justru yang akan cepat berubah, bersifat temporer dan akan membuahkan penyesalan. (QS. Az-Zukhruf: 43, Al-Furqan: 25)

Manajemen cinta mendidik sikap selektif dalam menambatkan dan melabuhkan cinta serta memilih orang-orang yang masuk dalam kehidupan dirinya. Nabi berpesan: “Seseorang akan mengikuti pola hidup orang dekatnya maka hendaklah kalian mencermati siapa yang ia pergauli.” (HR. Ahmad, At-Turmudzzi dan Baihaqi).

Sabdanya pula: “Janganlah engkau berakraban kecuali kepada seorang mukmin dan janganlah menyantap makananmu kecuali orang yang taqwa.” (HR. At-Turmudzi dan Abu Dawud).

Di antara konsekuensi sikap selektif dalam cinta ini adalah sikap arif dalam memilih pasangan hidup. Nabi saw. bersabda: “Seorang wanita dinikahi karena empat hal; hartanya, status sosialnya, kecantikannya dan agamanya, maka pilihlah yang kuat agamanya niscaya kamu diberkati” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sabdanya yang lain: “Jika seseorang yang engkau puas dengan kondisi agama dan akhlaqnya melamar kepadamu maka nikahkanlah ia. Sebab jika tidak kau lakukan maka akan timbul fitnah di muka bumi dan kerusakan yang dahsyat.” (HR. At-Turmudzi)


sumber dari: ibnuradinas.blogspot.com

Tuesday, 30 July 2013

barrier between them







sumber dari: tiigerr.wordpress.com

Sajdah Al-Tilaawat






There are fifteen places in the Quran where we should perform Sajdah al-tilaawat (prostration of recitation) when reciting them. It was reported from ‘Amr ibn al-‘Aas that the Messenger of Allah (peace and blessings of Allah be upon him) recited to him fifteen verses in the Quran where one should prostrate, three of which are in al-Mufassal and two in Surah al-Hajj. It was reported by Abu Dawood, Ibn Maajah, al-Haakim and al-Daaraqutni, and classed as hasan by al-Mundhiri and al-Nawawi. The fifteen aayat are (interpretation of the meanings) :
Sajdah # 1 : Juz’ 9 : Surah Al A’raf (7) Ayat 206
“Those who are near to thy Lord, disdain not to do Him worship: They celebrate His praises, and bow down before Him.”
Sajdah # 2 : Juz’ 13 : Surah Al Ra’d (13) Ayat 15
“Whatever beings there are in the heavens and the earth do prostrate themselves to Allah (acknowledging subjection),- with good-will or in spite of themselves: so do their shadows in the morning and evenings.”
Sajdah # 3 : Juz’ 14 : Surah Al Nahl (16) Ayat 50
“They all revere their Lord, high above them, and they do all that they are commanded.”
Sajdah # 4 : Juz’ 15 : Surah Al Isra’ (17) Ayat 109
“They fall down on their faces in tears, and it increases their (earnest) humility.”
Sajdah # 5 : Juz’ 16 : Surah Maryam (19) Ayat 58
“Those were some of the prophets on whom Allah did bestow His Grace,- of the posterity of Adam, and of those who We carried (in the Ark) with Noah, and of the posterity of Abraham and Israel of those whom We guided and chose. Whenever the Signs of (Allah) Most Gracious were rehearsed to them, they would fall down in prostrate adoration and in tears.”
Sajdah # 6 : Juz’ 18 : Surah Al Hajj (22) Ayat 18
“Seest thou not that to Allah bow down in worship all things that are in the heavens and on earth,- the sun, the moon, the stars; the hills, the trees, the animals; and a great number among mankind? But a great number are (also) such as are fit for Punishment: and such as Allah shall disgrace,- None can raise to honour: for Allah carries out all that He wills.”
Juz’ 18 : Surah Al Hajj (22) Ayat 77 (Shafi’i)
“O ye who believe! bow down, prostrate yourselves, and adore your Lord; and do good; that ye may prosper.”
Sajdah # 7 : Juz’ 19 : Surah Al Furqan (25) Ayat 60
“When it is said to them, “Adore ye (Allah) Most Gracious!”, they say, “And what is (Allah) Most Gracious? Shall we adore that which thou commandest us?” And it increases their flight (from the Truth).”
Sajdah # 8 : Juz’ 19 : Surah Al Naml (27) Ayat 26
“God!- there is no god but He!- Lord of the Throne Supreme!”
Sajdah # 9 : Juz’ 21 : Surah Al Sajdah (32) Ayat 15
“Only those believe in Our Signs, who, when they are recited to them, fall down in adoration, and celebrate the praises of their Lord, nor are they (ever) puffed up with pride.”
Sajdah # 10 : Juz’ 23 : Surah Sad (38) Ayat 24
“(David) said: “He has undoubtedly wronged thee in demanding thy (single) ewe to be added to his (flock of) ewes: truly many are the partners (in business) who wrong each other: Not so do those who believe and work deeds of righteousness, and how few are they?” …and David gathered that We had tried him: he asked forgiveness of his Lord, fell down, bowing (in prostration), and turned (to Allah in repentance).”
Sajdah # 11 : Juz’ 24 : Surah Fussilat (41) Ayat 38
“But if the (Unbelievers) are arrogant, (no matter): for in the presence of thy Lord are those who celebrate His praises by night and by day. And they never flag (nor feel themselves above it).”
Sajdah # 12 : Juz’ 27 : Surah Al Najm (53) Ayat 62
“But fall ye down in prostration to Allah, and adore (Him)!”
Sajdah # 13 : Juz’ 30 : Surah Al Inshiqaq (84) Ayat 21
“And when the Quran is read to them, they fall not prostrate,”
Sajdah # 14 : Juz’ 30 : Surah Al Alaq (96) Ayat 19
“Nay, heed him not: But bow down in adoration, and bring thyself the closer (to Allah)!”


sumber dari: alhaaqulmubin.blogspot.com

Wednesday, 17 July 2013

Read the Qur'an with Tartil






No single word in English can express the full meaning of Tartil. In Arabic it means reading without haste, distinctly, calmly, in measured tone, with thoughtful consideration, wherein tongue, heart and limbs are in complete harmony.

This is the desired way of reading the Qur'an which Allah instructed His Messenger in the very beginning to follow when he was told to spend major parts of his nights standing in prayer and reading the Qur'an (al-Muzzammil 73: 4). The reason for sending down the Qur'an slowly and gradually, says Allah, was so that: 'We may strengthen your heart thereby' (al-Furqan 25: 32).

Thus Tartil is a significant factor in bringing the heart and the reading of the Qur'an together, in imparting strength and intensity. Tartil, as compared to hasty babbling, manifests reverence and awe, allows for reflection and understanding, and makes an indelible impression upon the soul.

Abdullah Ibn 'Abbas is reported to have said: 'I consider reading Surahs al-Baqarah [2] and Al 'Imran [3] with Tartil better for me than reading the entire Qur'an hastily. Or, reading Surahs like al-Zalzalah [99] and al-Qari'ah [101] with Tartil and reflection is better than reading al-Baqarah and Al 'Imran.'

Tartil implies not only calmness, distinctness, pause and reflection, and harmony of heart and body, but will also lead to the compulsive repetition of some words or some Ayahs. For, once the heart becomes absorbed and one with a particular Ayah, every time you read it you derive a new taste and pleasure from it. And reading again and again, as we have said, brings the state of heart in harmony with what you are reading.

The Prophet, blessings and peace be on him, is reported to have once repeated, 'In the name of God, the Mostmerciful, the Mercy-giving' twenty times (Ihya'). Once he spent a whole night repeating, 'If Thou punishest them, they are Thy slaves; If Thou forgivest them, Thou art Mighty and Wise' (al-Ma'idah 5: 118) (Nasa'i, Ibn Majah). Sa'id Ibn Jubayr once kept repeating the verse, 'Separate yourselves today [Day of Judgement], O guilty ones!' [Ya Sin] and kept weeping and shedding tears (Ihya').


sumber dari: afifichestclinic.ning.com

Saturday, 8 June 2013

Dunia Dicipta Dalam Masa Enam Hari






Kebenaran tentang kejadian langit dan bumi dalam enam hari (masa) telah dinyatakan dalam al-quran :

1. Surah Hud ayat 7:

"Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari (masa)"


2. Surah Al-A’raaf ayat 54:

"Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang Telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari (masa)"

3. Surah Yunus ayat 3

"Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari (masa)"

4. Surah Al-Furqan ayat 59:

"Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam hari (masa)"

Enam hari (masa) yang disebut didalam ayat-ayat diatas haruslah difahami dengan baik berdasarkan kajian ilmiah.

Syed Qutb dalam kitab Tafsir Fi Zilal Al-Quran menyatakan: “tidak syak lagi, yang dimaksudkan dengan enam hari dalam ayat ini adalah hari yang ditetapkan oleh Allah, Dia saja yang mengetahui kadar masanya. Ia bukan hari-hari yang dihitung oleh manusia”

Dr Hamka dalam Tafsir Al-Azhar pula menyatakan: "Hari (dalam ayat ini) adalah hari Allah. Tuhan sekelian alam. Ia adalah hari meliputi seluruh alam dan bukannya hari yang dikira menurut peredaran bumi mengelilingi matahari yang hanya memakan masa 24 jam. Berjuta-juta bintang dilangit mempunyai hari-harinya tersendiri, lebih panjang dari hari dibumi dan ada juga ada yang lebih pendek . maka hari sebelum bumi tercipta sudah pasti berbeza dengan hari sekarang ini"

Hendaklah difahami bahawa enam hari tersebut bukan seperti perkiraan manusia tetapi mengikut penetapan Allah SWT. Kadangkala Allah menyamai satu hari itu seperti 50 ribu tahun sepertimana termaktub dalam surah Al-Ma’arij ayat 4:

"Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun"


Kesimpulan ilmu :

1. Imam Ibnu Kahtir menyebut didalam tafsir Al-Azim bahawa "Allah mencipta bumi dan apa yang terdapat diatasnya dalam masa empat hari dan Allah mencipta langit dalam masa dua hari".

2. Said Hawa menukilkan kata-kata Imam Nafasi dalam kitab Al-Asas Fi Al-tafsir yang berbunyi "Berhubung dengan penciptaan bumi, (Allah menetapkan) dua hari bagi penciptaan bumi dan dua hari lagi bagi penciptaan gunung-ganang dan penetapan keperluan hidup. Kesemuanya memakan masa empat hari"

3. Said Hawa sendiri dalam Al-Asasi Fi Al-tafsir berpendapat "Berpandukan dalil-dalil daripada Al-Quran, kenyataan langit dan bumi dicipta dalam enam peringkat dapat dianggap sebagai satu pandangan yang putus tanpa perbezaan pendapat (qat’ie) dikalangan ulama Islam"


sumber dari: pilihanustaz.blogspot.com

Friday, 7 June 2013

AGAR AMALAN KITA DITERIMA DI SISI ALLAH S.W.T





20111220-122004.jpg


Dalam suatu ayat, Allah subhanahu wa ta’ala bercerita tentang keadaan hari kiamat:

 هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ {1} وُجُوهُُيَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ {2} عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ {3} تَصْلَى نَارًاحَامِيَةً {4} تُسْقَى مِنْ عَيْنٍءَانِيَةٍ {5} لَيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ إِلاَّ مِن ضَرِيعٍ {6} لاَيُسْمِنُ وَلاَيُغْنِي مِن جُوعٍ

“Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan? Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka), diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas. Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar.” (QS. Al Ghasyiyah: 1-7)

Ayat-ayat tersebut di atas merupakan cerita tentang kondisi sebagian penghuni neraka di hari akhirat nanti. Ternyata bukan semua penghuni neraka adalah orang-orang di dunianya kerjaannya cuma gemar berbuat maksiat, kecanduan narkoba, suka main perempuan dan lain sebagainya. Akan tetapi ternyata ada juga di antara penghuni neraka yang di dunianya rajin beramal, bahkan sampai dia kelelahan saking berat amalannya.

Ini tentunya menimbulkan kekhawatiran yang amat besar dalam diri masing-masing kita, jangan-jangan kita termasuk yang sudah beramal banyak tapi nantinya termasuk ke dalam golongan yang disebut oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dalam awal surat Al Ghasyiyah tersebut di atas.

Jadi, untuk menghilangkan rasa cemas itu, kita perlu mengetahui mengapa orang-orang yang disebutkan dalam ayat di atas sudah beramal tapi malah ganjarannya neraka?
Bagaimanakah model amalan mereka?

Dengan mengkaji penjelasan para ulama terhadap ayat ini (Lihat: Majmu’ Al-Fatawa li Syaikhil Islam XVI:217, dan Shaid al-Khatir karya Ibn al-Jauzi I:373) kita bisa mengetahui bahwa ternyata rahasia kesialan mereka adalah karena mereka beramal tapi tidak memenuhi syarat-syarat diterimanya amalan.

Merujuk kepada dalil-dalil dari Al Quran dan Al Hadits kita bisa menemukan bahwa syarat pokok diterimanya amalan seorang hamba ada dua:

Ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala.
Mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dua syarat ini disebutkan dengan jelas dalam akhir surat al-Kahfi:

(فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً)
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seoran gpun dalam beribadat kepada Rabb-nya.”
(QS. Al Kahfi: 110)

Oleh karena itu Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Dua hal ini merupakan dua rukun amal yang diterima. (Jadi suatu amalan) harus ikhlas karena Allah dan sesuai dengan syari’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(Lihat: Mudzakkirah fil ‘Aqidah, karya Dr. Shalih bin Sa’ad as-Suhaimy, hal: 9-12).

Mari kita mulai mempelajari bersama, syarat pertama diterimanya suatu amalan, yaitu syarat ikhlas karena Allah ta’ala. Maksudnya adalah: seseorang hanya mengharapkan ridho Allah dari setiap amalannya, bersih dari penyakit riya’ (ingin dilihat orang lain) dan sum’ah (ingin didengar orang lain), tidak mencari pujian dan balasan melainkan hanya dari-Nya. Pendek kata seluruh amalan yang ia kerjakan hanya ditujukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata, dan ini merupakan inti ajaran aqidah yang dibawa oleh seluruh nabi dan rasul.
(Lihat: Mudzakkirah fil ‘Aqidah, karya Dr. Shalih bin Sa’ad as-Suhaimy, hal: 10).

Orang yang tidak mengikhlaskan amalannya untuk Allah subhanahu wa ta’ala, tidak hanya mengakibatkan amalannya ditolak oleh Allah, tapi juga kelak dia akan disiksa di neraka. Mari kita simak bersama hadits berikut ini:

Suatu hari ketika Syufay al-Ashbahani memasuki kota Madinah, tiba-tiba dia mendapati seseorang yang sedang dikerumuni orang banyak, maka dia pun bertanya, “Siapakah orang ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah Abu Hurairah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka Syufay pun mendekat hingga dia duduk di hadapan Abu Hurairah, yang saat itu dia sedang menyampaikan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para hadirin. Ketika selesai dan hadirin telah meninggalkan tempat, Syufay berkata, “Sebutkanlah untukku sebuah hadits yang engkau dengar langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan amat engkau hafal dan engkau pahami.” Abu Hurairah menjawab, “Baiklah, akan kuceritakan padamu suatu hadits yang aku dengar langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan amat aku pahami.” Saat Abu Hurairah akan menyebutkan hadits itu tiba-tiba beliau tidak sadarkan diri untuk beberapa saat. Ketika siuman dia kembali berkata, “Baiklah, akan kuceritakan padamu suatu hadits yang aku dengar langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan amat aku pahami.” Tiba-tiba Abu Hurairah tidak sadarkan diri lagi untuk beberapa saat. Ketika siuman dia kembali berkata, “Baiklah, akan kuceritakan padamu suatu hadits yang aku dengar langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah ini, saat itu kami hanya berdua dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Tiba-tiba Abu Hurairah tidak sadarkan diri lagi untuk beberapa saat. Ketika siuman dia mengusap wajahnya dan berkata, “Baiklah, akan kuceritakan padamu suatu hadits yang aku dengar langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah ini, saat itu kami hanya berdua dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Tiba-tiba Abu Hurairah tidak sadarkan diri lagi dalam waktu yang cukup panjang, hingga Syafi pun menyandarkan Abu Hurairah ke tubuhnya, sampai beliau siuman.

Ketika sadar beliau berkata, “Suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku:

 إن الله تبارك و تعالى إذا كان يوم القيامة نزل إلى العباد ليقضي بينهم و كل أمة جاثية فأول من يدعو به رجل جمع القرآن ورجل يقتل في سبيل الله ورجل كثير مال فيقول للقارىء: ألم أعلمك ما أنزلت على رسولي ؟ قال: بلى يا رب, قال: فماذا عملت فيما علمت؟, قال: كنت أقوم به أثناء الليل و آناء النهار, فيقول الله له: كذبت, وتقول الملائكة: كذبت, ويقول الله: بل أردت أن يقال: فلان قارىء فقد قيل. ويؤتى بصاحب المال فيقول الله: ألم أوسع عليك حتى لم أدعك تحتاج إلى أحد؟, قال: بلى, قال: فماذا عملت فيما آتيتك؟, قال: كنت أصل الرحم و أتصدق, فيقول الله: كذبت, وتقول الملائكة: كذبت, فيقول الله: بل أردت أن يقال فلان جواد فقد قيل ذاك. ويؤتى بالذي قتل في سبيل الله فيقال له: فيم قتلت؟, فيقول: أمرت بالجهاد في سبيلك فقاتلت حتى قتلت, فيقول الله: كذبت, وتقول الملائكة: كذبت, و يقول الله عز و جل له: بل أردت أن يقال فلان جريء فقد قيل ذلك, ثم ضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم على ركبتي فقال: يا أبا هريرة أولئك الثلاثة أول خلق الله تسعر بهم النار يوم القيامة

“Sesungguhnya pada hari kiamat nanti Allah subhanahu wa ta’ala akan turun kepada para hamba-Nya untuk mengadili mereka, dan saat itu masing-masing dari mereka dalam keadaan berlutut. Lantas yang pertama kali dipanggil oleh-Nya (tiga orang): Seorang yang rajin membaca Al Quran, orang yang berperang di jalan Allah dan orang yang hartanya banyak. Maka Allah pun berkata kepada si Qori’, ‘Bukankah Aku telah mengajarkan padamu apa yang telah Aku turunkan kepada Rasul-Ku?’ Si Qori’ menjawab, ‘Benar ya Allah.’ Allah kembali bertanya, ‘Lantas apa yang telah engkau amalkan dengan ilmu yang engkau miliki?’ Si Qori menjawab, ‘Aku (pergunakan ayat-ayat Al Quran) yang kupunyai untuk dibaca dalam shalat di siang maupun malam hari,’ serta merta Allah berkata, ‘Engkau telah berdusta!’ Para malaikat juga berkata, ‘Engkau dusta!’ Lantas Allah berfirman, ‘Akan tetapi (engkau membaca Al Quran) agar supaya engkau disebut-sebut qori’! Dan (pujian) itu telah engkau dapatkan (di dunia).’ Kemudian didatangkanlah seorang yang kaya raya, lantas Allah berfirman padanya, ‘Bukankah telah Kuluaskan (rizki)mu hingga engkau tidak lagi membutuhkan kepada seseorang?” Dia menyahut, ‘Betul.’ Allah kembali bertanya, ‘Lantas engkau gunakan untuk apa (harta) yang telah Kuberikan padamu?’ Si kaya menjawab, ‘(Harta itu) aku gunakan untuk silaturrahmi dan bersedekah.’ Serta merta Allah berkata, ‘Engkau dusta!’ Para malaikat juga berkata, ‘Engkau dusta!’ Lalu Allah berfirman, ‘Akan tetapi engkau ingin agar dikatakan sebagai orang yang dermawan! Dan (pujian) itu telah engkau dapatkan (di dunia).’ Lantas didatangkan orang yang berperang di jalan Allah, kemudian dikatakan padanya, ‘Apa tujuanmu berperang?’ Orang itu menjawab, ‘(Karena) Engkau memerintahkan untuk berjihad di jalan-Mu, maka aku pun berperang hingga aku terbunuh (di medan perang).’ Serta merta Allah berkata, ‘Engkau dusta!’ Para malaikat juga berkata, ‘Engkau dusta!’ Lalu Allah berfirman, ‘Akan tetap engkau ingin agar dikatakan engkau adalah si pemberani! Dan (pujian) itu telah engkau dapatkan (di dunia).’ Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menepuk lututku sambil berkata, ‘Wahai Abu Hurairah, mereka bertiga adalah makhluk Allah yang pertama kali yang dikobarkan dengannya api neraka di hari kiamat.”
(HR. Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya IV:115, no: 2482, Ibnu Hibban juga dalam kitab Shahih-nya II:135, no: 408.

Al-Hakim dalam al-Mustadrak 1/415 berkata, “Isnadnya shahih” dan disepakati oleh adz-Dzahaby dan Al Albani) Meskipun masing-masing dari mereka bertiga memiliki amalan yang banyak, akan tetapi justru dimasukkan oleh Allah ke dalam neraka pertama kali, itu semua gara-gara amalan mereka tidak ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang dikaruniai Allah keikhlasan dalam setiap amalan. Amien.

Berhubung ibadah haji juga merupakan suatu amalan shalih yang sangat agung, bahkan merupakan rukun Islam yang kelima, maka kita pun dituntut untuk ikhlas dalam mengamalkannya, semata-mata mengharap ridho Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini perlu untuk senantiasa ditekankan, karena diakui atau tidak, masih ada, atau bahkan mungkin masih banyak orang-orang yang berangkat haji dengan niat yang dicemari oleh kepentingan-kepentingan duniawi. Ada dari mereka yang berhaji supaya setelah pulang nanti dipanggil pak haji atau bu haji, hingga jika suatu saat ada tetangga yang lupa ketika memanggil dengan tidak menyebutkan pak haji, dia pun tidak mau menoleh. Ada yang berhaji dengan tujuan untuk memperlancar rencana dia untuk meraih kursi di pemerintahan. Ada yang berhaji dengan tujuan agar disegani oleh rekan bisnisnya, dan masih banyak tujuan-tujuan duniawi lain yang bisa mengotori niat ibadah haji seseorang.

Kalau kotoran-kotoran tersebut tidak segera kita bersihkan dari diri kita maka niscaya usaha kita menabung puluhan tahun agar bisa berhaji akan sia-sia!. Kita hanya akan pulang dengan membawa rasa penat dan letih! Kita hanya akan pulang dengan tangan hampa! Dan yang lebih menyedihkan dari itu semua, apa yang Allah ceritakan di dalam ayat di bawah ini:

(وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُوراً)
“Dan Kami datang kepada amalan yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.”
(QS. Al Furqan: 23)

Maka, jika ada di antara kita yang masih mengotori niatnya dalam berhaji dengan kotoran-kotoran duniawi, mari kita bersihkan kotoran-kotoran tersebut dari sekarang agar kelak kita tidak menyesal. Juga kita berusaha mempelajari nilai-nilai keimanan yang terkandung di dalam ibadah haji kita, agar ibadah yang agung ini tidak terasa hambar, dan agar ibadah haji yang kita kerjakan ini semakin memperkuat akidah kita.

Sepengetahuan kami, buku terbaik yang ditulis untuk mengungkap rahasia keterkaitan ibadah haji dengan fondasi agama Islam, yakni akidah, adalah buku yang berjudul “Pancaran Nilai-Nilai Keimanan dalam Ibadah Haji” (Judul aslinya dalam bahasa Arab, “Durus ‘Aqadiyah Mustafadah Minal Hajj”, yang kemudian diterjemahkan dan diringkas lalu kami beri judul dengan judul di atas), yang ditulis oleh Syaikh. Prof. Dr. Abdurrozaq bin Abdul Muhsin al-’Abbad al-Badr, salah seorang dosen pasca sarjana di Universitas Islam Madinah. Maka kami melihat bahwa seharusnya setiap jamaah haji berusaha untuk membaca buku ini sebelum berhaji, agar dia bisa berhaji dengan mantap.

Adapun syarat yang kedua agar amalan kita diterima adalah: Mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Artinya: Amalan yang kita kerjakan untuk mendekatkan diri kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala harus sesuai dengan apa yang diterangkan oleh Allah dan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab agama kita yang mulia ini telah disempurnakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memejamkan kedua matanya untuk selama-lamanya. Maka agama kita ini sama sekali tidak membutuhkan kepada seseorang untuk menambah sesuatu ke dalamnya, ataupun menguranginya.

Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman:

 الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْأِسْلامَ دِيناً
“Pada hari ini telah telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian.”
(QS. Al Maaidah: 3)

Banyak sekali ayat-ayat Al Quran dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan kita untuk mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta memperingatkan kita agar tidak membuat hal-hal yang baru dalam agama, yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

 قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah (wahai Muhammad): Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah hendaklah kalian mengikutiku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Ali Imran: 31)

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

 عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي, عضوا عليها بالنواجذ, وإياكم ومحدثات الأمور, فإن كل محدثة بدعة, وكل بدعة ضلالة, وكل ضلالة في النار
“Hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunahku dan sunnah para khalifah ar-rasyidin (yang diberi petunjuk) sesudahku, gigitlah dengan gigi geraham kalian, dan hati-hatilah dari setiap perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya perkara yang baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan adalah di neraka.”
(HR. At-Tirmidzi IV:149 dan Ibnu Majah II:1025)

Dalam hadits lain Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan,

 من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد. متفق عليه
“Barang siapa yang membuat hal-hal yang baru di dalam perkara (agama) ini yang bukan merupakan bagian darinya, maka amalan itu akan tertolak.”
(HR. Bukhari III:241 dan Muslim V:132)

Ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut di atas telah menegaskan akan wajibnya mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beramal. Barang siapa yang beramal tidak sesuai dengan tuntunan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam maka amalannya akan ditolak alias tidak diterima, meskipun amalannya besar, meskipun amalan itu telah membudaya di kalangan kaum muslimin ataupun amalan tersebut kelihatannya menurut kaca mata sebagian orang baik.

Pendek kata yang harus dijadikan barometer untuk menilai baik tidaknya suatu amalan bukanlah akal manusia, akan tetapi setiap amalan harus di timbang dengan timbangan syariat; Al Quran dan Al Hadits. Apa yang sesuai dengan keduanya kita kerjakan, dan apa yang tidak sesuai kita tinggalkan. Inilah jalan seorang muslim yang sejati. Di zaman kita ini telah menjamur di kalangan sebagian masyarakat amalan-amalan yang dianggap ibadah, padahal sama sekali tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabatnya.

Apakah mereka lebih paham tentang agama Islam daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya?

Ataukah mereka telah memiliki tuntunan yang berbeda dengan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya?

Maka marilah mulai detik ini kita kembali mengoreksi amalan-amalan yang selama ini kita kerjakan, sudahkah amalan kita sesuai dengan apa yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Sudahkah kita mempelajari bagaimana cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat?

Sudahkah kita mempelajari bagaimana cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhaji?

Ketahuilah bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan,

 خذوا عنى مناسككم
“Ambillah oleh kalian manasik haji dariku.”
(HR. Muslim no: 1297)

Berkaitan dengan masalah sholat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan,

صلوا كما رأيتموني أصلي
“Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat.”
(HR. Bukhari no: 631)

Dengan merealisasikan dua syarat ini yakni ikhlas dan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam niscaya amalan kita akan diterima, dan kita akan termasuk golongan yang diceritakan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya,

 وُجُوهُُيَوْمَئِذٍ نَّاعِمَةٌ . لِسَعْيِهَا رَاضِيَةٌ . فيِ جَنَّةٍ عَالِيَةٍ
“Banyak muka pada hari itu berseri-seri, mereka senang karena amalannya, dalam surga yang tinggi.”
(QS. Al Ghasyiyah: 8-10)

Wallahu ta’ala a’lam, wa shallallah u ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.
Selamat berhaji, semoga mabrur… Amien…


sumber dari: muhalfaj.blogspot.com

Friday, 31 May 2013

belive, and do good deeds




JUZ JEMS – JUZ 19
[Surah Furqan 21- Surah Naml 55]
The first greater half of Surah Furqan dealt with disbelievers: their state on the Day of Judgment, their regret, their accusations, their mockery, how they ahd abandoned the Qur’an. Allah vividly mentions their regret that day about the old friends they used to have when Allah describes that “And the Day the wrongdoer will bite on his hands [in regret] he will say, “Oh, I wish I had taken with the Messenger a way. Oh, woe to me! I wish I had not taken that one as a friend. He led me away from the remembrance after it had come to me. And ever is Satan, to man, a deserter.” [25:27-29] SubhanAllah the company we keep and the people we are surrounded by are such a great influence and those that were surrounded by bad company that led them astray will feel the remorse that Allah warns us about in the ayah. If we are surrounded by people that influence us and lead us to forget our prayers, or gossip and backbite or encourage us to do haram things, first and foremost we need to make dua’ to Allah to protect us from bad company to remove the bad company and distance us from it and slowly we ourselves need to surround ourselves with good company who will be a good influence upon us. After Allah warns us about the perished nations of the past, Allah presents his signs again and again. I want us to think about why Allah mentions these signs so frequently, almost in every surah. These signs that Allah presents, no one can do, no can match up and so these signs are meant to make us turn around, to realize.
The second half of this surah primarily deals with the characteristics of the believers and again this should make our ears perk up and we should jot these things down because these are characteristics we need to try to attain insha’Allah. The ones mentioned here are where Allah says that his servants are those that:
-walk upon the earth easily, they say words of peace even when spoken to harshly
-spend a part of the night praying and prostrating to Allah
-they are moderate in their spending
-they don’t kill, don’t commit zina, and don’t associate anything with Allah (Note: All major sins)
-they repent*, belive, and do good deeds
-they don’t testify to falsehood
-they reflect on the verses of their Lord
-“And those who say, “Our Lord, grant us from among our wives and offspring comfort to our eyes and make us an example for the righteous.” [25:74]
These will be the successors, these are the types of people that will be rewarded with greetings of peace. 
The second surah discussed in this juz is Surah Shu’ara. This surah opens up with Allah comforting the Messenger, salla Allahu alayhi wasalm that he might kill himself through grief over worrying about these people that just will not believe. He, salla Allahu alayhi wasalam, used to worry so so much for us, subhanAllah, he had the weight and duty of the world on his shoulders. But Allah reminds that if Allah willed, they would have become humbled. Our job is not results; our job is just to put in effort, to make the effort. After that, Allah is the one that knows best the hearts of people. 
Throughout this surah, there are several stories that mentioned that can serve as a reminder for us. The first story mentioned is the story of Musa, alayhisalam when Allah gives him the command to go to the people of Firawn to deliver the message. And subhanAllah, you see Musa, alayhisalam, is slightly hesitant, he tells Allah that he’s afraid they will deny him and his tongue may not be fluent because Musa, alayhisalam, had a minor speech problem but Allah comforts him and tells him tha Allah is with them so Both him and Aaron, go to them. Musa, alayhisalam, is also afraid to go back because he had fled the land cause he had accidently killed a man. SubhanAllah, when he goes to Pharoh, Pharoh brings that up and reminds Musa that “[Pharaoh] said, “Did we not raise you among us as a child, and you remained among us for years of your life? And [then] you did your deed which you did, and you were of the ungrateful.” [26:18-19] But Musa, alayhisalam, reminds him that, that was before, but now Allah has granted him prophethood and wisdom. From this conversation, we can take a very deep lesson. How many of us judge people that have a past then come back and try to turn back? Our society can be so unmerciful sometimes and sometimes we act just like Pharoh, where we question, “Weren’t you the same sister who used to that?” But Allah opens the doors to guidance to whomsoever he wishes and instead of pushing people down, we should give people hope in Allah’s mercy and faciliate their change; not turn them down.
So we go on and Allah tells us about the rest of the story where Pharoh denies, and requests all the magicians in the land to come trying to prove that Musa is just a madman but we see that Musa is coming with the truth and even the magicians prostrate and submit themselves to Allah. We go on and see how Musa, alayhisalam, is commanded to go out because the Pharoh will try to pursue them, and so when the two parties see one another, the people Musa, alayhisalam, are scared that they might be overtaken, they are afraid but look at the iman and the reliance in Allah, the tawakkul that he has, “[Moses] said, “No! Indeed, with me is my Lord; He will guide me.” [26:62] And so he strikes the sea with his staff and it parts and we know that the people of Pharoh and Pharoh himself are drowned. In these stories are signs of tawakkul, these are iman boosters for us and stories that we can reflect on; learn lessons from.
We go on and the story of Ibrahim, alayhisalam, is mentioned in which Ibrahim, alayhisalam, is trying to knock some sense in to his people who are worshipping idols just because their family and the past fathers were doing the same thing. And in these ayahs, he says some really powerful statements that are very moving, subhanAllah:
“Indeed, they are enemies to me, except the Lord of the worlds, Who created me, and He [it is who] guides me. And it is He who feeds me and gives me drink. And when I am ill, it is He who cures me And who will cause me to die and then bring me to life And who I aspire that He will forgive me my sin on the Day of Recompense.” [And he said], “My Lord, grant me authority and join me with the righteous. And grant me a reputation of honor among later generations. And place me among the inheritors of the Garden of Pleasure. And forgive my father. Indeed, he has been of those astray. And do not disgrace me on the Day they are [all] resurrected - The Day when there will not benefit [anyone] wealth or children But only one who comes to Allah with a sound heart.” [26:77-89] Ibrahim, alayhisalam’s dua’ are always so beautiful, so deep, with so much meaning in them subhanAllah and at the end we learn the importance of sincerity how on the Day of Judgment, the only one who will benefit is one who has a sound heart. The story of Noah, alayhisalam, is also mentioned as well as the story of Lut, the people of ‘Aad, Thamood. All in all the surah can be split up to one half where Allah discusses signs that are scattered through the Earth and then signs that we can learn from the people that have destroyed in the past. Allah reminds us to keep warning but those that persistently disbelieve, dissociate yourself from them. Everything, every warning, is given in this Qur’an, which guides to the truth, guides to what is better and this is the Truth.
Surah Naml is the next surah in this juz. It is a Makkan surah and opens up with Allah mentioning the part regarding Musa, alayhisalam, where he sees a fire in the distance while they are lost in the desert and he hopes that when he goes to where this light is, he will find some kind of directional guidance for his family and himself. But subhanAllah what happens when he goes to the light? He is granted prophethood and directly speaks to Allah. Instead of getting directional guidance, he gets spiritual guidance Alhamdulillah.
In these first fifty five ayahs of surah Naml,  there are three types of characters that are mentioned. In the first character, it is the people that do not believe even after they were given signs. This covers Pharoh, the people of Lut, Thamood. They were heedless regarding the hereafter no matter the message that was sent to them. The second type of character is described through the mention of Solomon, alayhisalam who is granted a large kingdom and granted wealth but he didn’t become arrogant, he still praised Allah. “So [Solomon] smiled, amused at her speech, and said, “My Lord, enable me to be grateful for Your favor which You have bestowed upon me and upon my parents and to do righteousness of which You approve. And admit me by Your mercy into [the ranks of] Your righteous servants.” [27:19] The third type of character that is mentioned is that of the Queen Saba, who was a very wealthy, prominent queen, richer even than the wealth and possessions of the Quraysh. She was not a believer, she had just followed what her family had followed, the way of her fathers but when the truth becomes clear to her, when faith enter her heart, she submits. She realizes her mistake and “She said, “My Lord, indeed I have wronged myself, and I submit with Solomon to Allah , Lord of the worlds.” [27:44] 


JUZ JEMS – JUZ 19
[Surah Furqan 21- Surah Naml 55]

The first greater half of Surah Furqan dealt with disbelievers: their state on the Day of Judgment, their regret, their accusations, their mockery, how they ahd abandoned the Qur’an. Allah vividly mentions their regret that day about the old friends they used to have when Allah describes that 

And the Day the wrongdoer will bite on his hands [in regret] he will say, “Oh, I wish I had taken with the Messenger a way. Oh, woe to me! I wish I had not taken that one as a friend. He led me away from the remembrance after it had come to me. And ever is Satan, to man, a deserter.” [25:27-29] 

SubhanAllah the company we keep and the people we are surrounded by are such a great influence and those that were surrounded by bad company that led them astray will feel the remorse that Allah warns us about in the ayah. If we are surrounded by people that influence us and lead us to forget our prayers, or gossip and backbite or encourage us to do haram things, first and foremost we need to make dua’ to Allah to protect us from bad company to remove the bad company and distance us from it and slowly we ourselves need to surround ourselves with good company who will be a good influence upon us. After Allah warns us about the perished nations of the past, Allah presents his signs again and again. 

I want us to think about why Allah mentions these signs so frequently, almost in every surah. These signs that Allah presents, no one can do, no can match up and so these signs are meant to make us turn around, to realize.

The second half of this surah primarily deals with the characteristics of the believers and again this should make our ears perk up and we should jot these things down because these are characteristics we need to try to attain insha’Allah. The ones mentioned here are where Allah says that his servants are those that:

-walk upon the earth easily, they say words of peace even when spoken to harshly
-spend a part of the night praying and prostrating to Allah
-they are moderate in their spending
-they don’t kill, don’t commit zina, and don’t associate anything with Allah (Note: All major sins)
-they repent*, belive, and do good deeds
-they don’t testify to falsehood
-they reflect on the verses of their Lord

-“And those who say, “Our Lord, grant us from among our wives and offspring comfort to our eyes and make us an example for the righteous.” 
[25:74]

These will be the successors, these are the types of people that will be rewarded with greetings of peace. 
The second surah discussed in this juz is Surah Shu’ara. This surah opens up with Allah comforting the Messenger, salla Allahu alayhi wasalm that he might kill himself through grief over worrying about these people that just will not believe. He, salla Allahu alayhi wasalam, used to worry so so much for us, subhanAllah, he had the weight and duty of the world on his shoulders. But Allah reminds that if Allah willed, they would have become humbled. Our job is not results; our job is just to put in effort, to make the effort. After that, Allah is the one that knows best the hearts of people. 

Throughout this surah, there are several stories that mentioned that can serve as a reminder for us. The first story mentioned is the story of Musa, alayhisalam when Allah gives him the command to go to the people of Firawn to deliver the message. And subhanAllah, you see Musa, alayhisalam, is slightly hesitant, he tells Allah that he’s afraid they will deny him and his tongue may not be fluent because Musa, alayhisalam, had a minor speech problem but Allah comforts him and tells him tha Allah is with them so Both him and Aaron, go to them. Musa, alayhisalam, is also afraid to go back because he had fled the land cause he had accidently killed a man. SubhanAllah, when he goes to Pharoh, Pharoh brings that up and reminds Musa that 

“[Pharaoh] said, “Did we not raise you among us as a child, and you remained among us for years of your life? And [then] you did your deed which you did, and you were of the ungrateful.” 
[26:18-19] 

But Musa, alayhisalam, reminds him that, that was before, but now Allah has granted him prophethood and wisdom. From this conversation, we can take a very deep lesson. How many of us judge people that have a past then come back and try to turn back? Our society can be so unmerciful sometimes and sometimes we act just like Pharoh, where we question, “Weren’t you the same sister who used to that?” But Allah opens the doors to guidance to whomsoever he wishes and instead of pushing people down, we should give people hope in Allah’s mercy and faciliate their change; not turn them down.

So we go on and Allah tells us about the rest of the story where Pharoh denies, and requests all the magicians in the land to come trying to prove that Musa is just a madman but we see that Musa is coming with the truth and even the magicians prostrate and submit themselves to Allah. We go on and see how Musa, alayhisalam, is commanded to go out because the Pharoh will try to pursue them, and so when the two parties see one another, the people Musa, alayhisalam, are scared that they might be overtaken, they are afraid but look at the iman and the reliance in Allah, the tawakkul that he has, 

[Moses] said, “No! Indeed, with me is my Lord; He will guide me.” 
[26:62] 

And so he strikes the sea with his staff and it parts and we know that the people of Pharoh and Pharoh himself are drowned. In these stories are signs of tawakkul, these are iman boosters for us and stories that we can reflect on; learn lessons from.

We go on and the story of Ibrahim, alayhisalam, is mentioned in which Ibrahim, alayhisalam, is trying to knock some sense in to his people who are worshipping idols just because their family and the past fathers were doing the same thing. And in these ayahs, he says some really powerful statements that are very moving, subhanAllah:

Indeed, they are enemies to me, except the Lord of the worlds, Who created me, and He [it is who] guides me. And it is He who feeds me and gives me drink. And when I am ill, it is He who cures me And who will cause me to die and then bring me to life And who I aspire that He will forgive me my sin on the Day of Recompense.” [And he said], “My Lord, grant me authority and join me with the righteous. And grant me a reputation of honor among later generations. And place me among the inheritors of the Garden of Pleasure. And forgive my father. Indeed, he has been of those astray. And do not disgrace me on the Day they are [all] resurrected - The Day when there will not benefit [anyone] wealth or children But only one who comes to Allah with a sound heart.” 
[26:77-89] 

Ibrahim, alayhisalam’s dua’ are always so beautiful, so deep, with so much meaning in them subhanAllah and at the end we learn the importance of sincerity how on the Day of Judgment, the only one who will benefit is one who has a sound heart. The story of Noah, alayhisalam, is also mentioned as well as the story of Lut, the people of ‘Aad, Thamood. All in all the surah can be split up to one half where Allah discusses signs that are scattered through the Earth and then signs that we can learn from the people that have destroyed in the past. Allah reminds us to keep warning but those that persistently disbelieve, dissociate yourself from them. Everything, every warning, is given in this Qur’an, which guides to the truth, guides to what is better and this is the Truth.

Surah Naml is the next surah in this juz. It is a Makkan surah and opens up with Allah mentioning the part regarding Musa, alayhisalam, where he sees a fire in the distance while they are lost in the desert and he hopes that when he goes to where this light is, he will find some kind of directional guidance for his family and himself. But subhanAllah what happens when he goes to the light? He is granted prophethood and directly speaks to Allah. Instead of getting directional guidance, he gets spiritual guidance Alhamdulillah.

In these first fifty five ayahs of surah Naml,  there are three types of characters that are mentioned. In the first character, it is the people that do not believe even after they were given signs. This covers Pharoh, the people of Lut, Thamood. They were heedless regarding the hereafter no matter the message that was sent to them. The second type of character is described through the mention of Solomon, alayhisalam who is granted a large kingdom and granted wealth but he didn’t become arrogant, he still praised Allah. 

So [Solomon] smiled, amused at her speech, and said, “My Lord, enable me to be grateful for Your favor which You have bestowed upon me and upon my parents and to do righteousness of which You approve. And admit me by Your mercy into [the ranks of] Your righteous servants.” [27:19] 

The third type of character that is mentioned is that of the Queen Saba, who was a very wealthy, prominent queen, richer even than the wealth and possessions of the Quraysh. She was not a believer, she had just followed what her family had followed, the way of her fathers but when the truth becomes clear to her, when faith enter her heart, she submits. She realizes her mistake and 

“She said, “My Lord, indeed I have wronged myself, and I submit with Solomon to Allah , Lord of the worlds.” 
[27:44] 


sumber dari: destinationjannah.tumblr.com

Wednesday, 29 May 2013

Adab membaca Al Quran




1. Membaca ta’awwudz sebelum membaca Al Quran

“Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah 
dari syaitan yang terkutuk.” 
[An Nahl : 98]

2. Orang berhadas menyentuh Al Quran

Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” 
[Al Waaqiah : 79]

3. Khusyuk saat mendengar Al Quran

“Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, 
dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat” 
[Al A'raaf : 204]

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah 
gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (kerananya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” 
[Al Anfaal : 2]

“Katakanlah : Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud.” 
[Al Israa' : 107]

“Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” 
[Al Israa' : 109]

“Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat- ayat Tuhan mereka, 
mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang- orang yang tuli dan buta.” 
[Al Furqaan : 73]

“Sesungguhnya orang yang benar-benar percaya kepada ayat-ayat Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera bersujudseraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong.” 
[As Sajdah : 15]

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang [1312], gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.” 
[Az Zumar : 23]

“Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya).” Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.” [Al Ahqaaf : 29]

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, 
untuk tunduk hati mereka mengingat Allah 
dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), 
dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. 
Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” 
[Al Hadiid : 16]

“Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, 
pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. 
Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” 
[Al Hasyr : 21]

“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), 
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” 
[Alam Nasyrah : 7]




4. Menghayati bacaan Al Quran

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? 
Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, 
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” 
[An Nisaa ':8 2]

“Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al Quran ini 
bermacam-macam perumpamaan. 
Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.” 
[Al Kahfi : 54]

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan perkataan (Kami), 
atau apakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang 
kepada nenek moyang mereka dahulu?” 
[Al Mu'minuun : 68]

“Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat- ayat Tuhan mereka, 
mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang- orang yang tuli dan buta.” 
[Al Furqaan : 73]

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” [Muhammad : 24]

“Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, 
pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. 
Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” 
[Al Hasyr : 21]

“Atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan.” 
[Al Muzzammil : 4]

5. Menangis saat membaca atau mendengar Al Quran

“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), 
kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) 
yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: 
“Ya Tuhan kami, kami telah beriman, 
maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi 
(atas kebenaran Al Quran dan kenabian Muhammad s.a.w.).” 
[Al Maa'idah : 83]

“Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis?” 
[An Najm : 60]

6. Memperindah suara bacaan Al Quran

“Atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan.” 
[Al Muzzammil : 4]



7. Membaca Al Quran dengan suara keras

“Katakanlah : Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” [Al Israa' : 110]

8. Selalu mengingat dan membaca Al Quran

“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” 
[Al Ahzab : 34]

9. Membaca Al Quran di malam hari

“Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, 
mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, 
sedang mereka juga bersujud (sembahyang). 
[Ali Imran : 113]

“Dan bertasbihlah kepada-Nya pada beberapa saat di malam hari 
dan di waktu terbenam bintang-bintang (di waktu fajar).” 
[Ath Thuur : 49]




10. Lupa hafalan Al Quran (sebahagian atau seluruhnya)

Kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi. [Al A'laa : 7]

11. Berbuat sesuai dengan Al Quran

“Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi 
[Al Baqarah :121]

“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. 
[Ali Imran : 7]

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 
[Ali Imran : 31]

“Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan[1264] dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah walaupun dia tidak melihatnya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia. 
[Yaasiin : 11]

“Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan kepadamu. 
Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus.” 
[Az Zukhruf : 43]



sumber dari: ikhwanfahmi.wordpress.com