“Dulu, kalaulah saya tidak beri kesempatan untuk bekerja di kantor saya, entahlah nasibnya seperti apa. Jangankan untuk menyelesaikan studinya, wong untuk bayar kontrakan dan ngidupi anak-bininya aja mesti kerja pontang-panting,”.
“Lalu, apa masalahnya?”, tanya saya penasaran.
“Lha iya, sekarang dah berani petantang-petenteng. Sulit untuk dimintai tolong. Ada saja alasannya. Sibuk ini dan sibuk itu”, ujar sahabatku itu sambil menarik napas panjang.
Mendengar keluhan sahabat saya itu, saya jadi ingat ungkapan al-Quran tentang asal muasal manusia. Kita semua berasal dari “air yang hina”, nama lain dari sperma. “Air yang hina” yang dalam al-Quran disebutkan dengan ungkapan ماء مهين /ma’ mahin/ disebutkan sebanyak tiga kali, yaitu dalam surah al-Sajdah 32:8, al-Mursalat 77:20, dan al-Thariq 86:6, sedangkan kata “mani” hanya disebutkan sekali saja, yaitu dalam surah al-Qiyamah 75:37.
أَلَمْ نَخْلُقكُّم مِّن مَّاء مَّهِينٍ 20 . Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina |
Agar manusia tidak lupa dari apa ia diciptakan, Allah SWT mengingatkannya dalam surah al-Thariq 86:5:
فَلْيَنظُرِ الْإِنسَانُ مِمَّ خُلِقَ
86.5. Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?
Ini dalam konteks hubungan kita dengan Sang Pencipta. Dalam konteks hubungan antar sesama, ada baiknya juga manusia tidak melupakan masa lalunya. Kalau sekarang ia telah berhasil menjadi seorang sarjana, telah berhasil melunasi cicilan rumah tinggalnya, telah berhasil membeli kendaraan, dst…. di balik keberhasilannya itu tentu ada sejumlah orang yang berjasa. Dari sekian yang berjasa itu tentunya banyak yang tidak mengharapkan balas budi bahkan ucapan terima kasih sekali pun. Namun, sikap “tak tau diri” manusia seperti ini setidaknya menambah keyakinan, mengapa al-Quran menyebut sperma dengan ungkapan “air yang hina”.
No comments:
Post a Comment