Saturday 31 December 2011
At-Takwiir -kehendak Illahi
Ayat yang menjadi poin pembahasan adalah ayat ke 29 surah at-Takwir, “Dan kamu tidak dapat berhendak kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam“, dan ayat yang mirip dengan ayat ini terdapat pula pada sebagian ayat ke 30 surah Ad-Dahr (Al-Insan), “Dan kamu tidak mampu untuk berkehendak kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Begitu pula pada ayat ke 19 surah al-Muzammil, “Sesungguhnya ini adalah suatu peringatan. Maka barang siapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan (yang dapat menyampaikan dirinya) kepada Tuhan-nya.“
Berikut ini kami akan menganalisa ketiga ayat tersebut:
1. Ayat yang dibahas adalah ayat ke 29 surah at-Takwir yang merupakan surah Makiyah. Pada dua ayat sebelumnya Tuhan berfirman, “Al-Qur’an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.“ Kemudian pada ayat ke 29 berfirman, “Dan kamu tidak dapat berhendak kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam.“[1]
Ringkasan dari ayat-ayat ini adalah bahwa tidak ada sesuatu yang lain di dalam al-Quran al-Karim yang merupakan kalam Ilahi dan pasti benar, “Dan bukan kalam setan yang terkutuk” (Qs. At-Takwir: 25) kecuali peringatan dan nasehat bagi para penghuni alam, tentu saja nasehat dan peringatan ini adalah bagi setiap mereka yang berkehendak untuk menempuh jalan yang benar.
Di sini mungkin saja manusia akan menganggap dengan ayat berikut, “Bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus” dimana kehendak bertahan, istiqomah, berada di jalan lurus, memilih jalan menuju Tuhan, dan berbusana ketaatan dan penghambaan telah diletakkan dalam pilihan bebas manusia dalam bentuk yang mandiri, dimana jika mereka berkehendak maka mereka akan memilih berada di jalan yang benar dan jika tidak menghendaki maka ……; dengan demikian, ketika Tuhan menghendaki keistiqamahan dari mereka, Dia membutuhkan mereka! Untuk menyingkirkan anggapan seperti ini Dia berfirman bahwa kehendak dan keinginan mereka ini bergantung kepada kehendak Yang Kuasa. Mereka tidak akan menginginkan istiqamah (tidak akan mampu, tidak ada izin, dan tidak memiliki kodrat untuk berkehendak), kecuali apabila Tuhan berkehendak supaya mereka menghendaki istiqamah![2]
Dengan ibarat lain, perbuatan-perbuatan ikhtiari manusia –bahkan kehendak manusia itu sendiri- akan berada dalam kehendak yang dimaksud dan sesuai dengan kehendak-Nya yang akan terjadi dengan perantara, dan karena kehendak-Nya dan dzat Suci Tuhan menghendaki supaya manusia melakukan perbuatan-perbuatan ikhtiari-nya sendiri yang bergantung atas kehendak dan ikhtiar manusia dengan kehendaknya sendiri. Tentunya dalam ayat ini-ayat ini yang menjadi obyek pembicaraan adalah kaum mukminin yang memiliki tujuan untuk melangkahkan kaki di jalan Ilahi dan sampai pada keselamatan dan kebahagiaan, bahkan pesan al-Quran al-Karim ini tidak dikhususkan saja kepada mereka, bahkan meliputi seluruh manusia.
Ayat-ayat lain yang dalam beberapa dimensi memiliki kemiripan dengan ayat yang kita bahas (yaitu ayat ke 29 surah at-Takwir) adalah sebagian dari ayat ke 30 surah Ad-Dahr (dan ayat-ayat sebelumnya). Pada ayat ke 29 dan 30 surah Ad-Dahr ini Tuhan berfirman, “Sesungguhnya (ayat-ayat) ini adalah suatu peringatan. Maka barang siapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya), niscaya dia mengambil jalan untuk menuju kepada Tuhan-nya. Dan kamu tidak mampu untuk berkehendak kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[3]
Bagian dari ayat-ayat akhir surah Ad-Dahr (al-Insan) ini memiliki konteks yang mirip dengan konteks Makiyah dengan menerima pendapat bahwa awal surah ini adalah Madani dan sebagian dari bagian terakhirnya (sebanyak sembilan ayat) merupakan ayat-ayat Makiyah.[4]
2. Penjelasan ayat “Sesungguhnya (ayat-ayat) ini adalah suatu peringatan ...“ akan kami bahas pada bagian ketiga. Akan tetapi mafhum dan pengertian serta yang dimaksud dengan ayat “Dan tidaklah kamu akan mampu untuk berkehendak kecuali bila dikehendaki Allah.” adalah mirip dengan ayat ke 19 surah at-Takwir. Ketika dikatakan bahwa pada awalnya Tuhan menyebutkan ayat dalam bentuk manfi (dan tidaklah…) kemudian melengkapi kalam dengan menggunakan pengecualian (kecuali bila…) dari satu sisi hal ini merupakan penjelas bahwa wujud dan keterwujudan kehendak manusia (hamba) bergantung atas kehendak Tuhan. Dari sinilah sehingga kehendak Dzat Suci dari cara keterwujudan kehendak hamba akan memberikan pengaruh dalam perbuatannya namun tidak akan terwujud secara langsung dan tanpa perantara, sehingga keraguan ini muncul bahwa kehendak manusia tidak memiliki pengaruh dalam perbuatan-perbuatannya dan apapun yang dilakukannya tidak berada dalam ikhtiarnya. Dari sini, jika manusia melakukan perbuatan yang buruk dan tercela atau memiliki kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang buruk, maka hal tersebu t terjadi karena kehendak langsung Tuhan. Dengan demikian terhadap hubungan yang diperbolehkan antara kehendak melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela dengan Tuhan.
Dari sisi lain, memahamkan bahwa manusia tidak memiliki kemandirian dalam kehendaknya melakukan segala sesuatu yang diinginkan, melainkan kehendaknya bergantung pada kehendak Tuhan dan perbuatan ikhtiari hamba terhubungpada ikhtiarnya sendiri, meskipun kehendak dan ikhtiar ini tidak terhubung pada kehendak dan ikhtiar lain.
Kesimpulannya keinginan dan kehendak hamba bergantung pada kehendak dan keinginan Tuhan dan tanpa adanya izin Tuhan (yang bersifat takwiniyah) maka kehendak ini tidak akan memberikan pengaruh sedikitpun, hal ini karen prinsip keberadaan manusia adalah dari-Nya, dengan demikian mau ataupun tidak mau, kehendaknya pun berasal dari Dzat yang telah memberikan keberadaan itu.
3. Pada ayat ke 19 surah al-Muzammil, Tuhan berfirman, “Sesungguhnya ini adalah suatu peringatan. Maka barang siapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan (yang dapat menyampaikan dirinya) kepada Tuhan-nya.“ Dan kalimat yang sama persis terdapat pula pada ayat ke 29 surah Ad-Dahr. Dhamir kata hadzihi (ini adalah) mungkin mengisyarahkan pada ayat sebelumnya yang berada dalam posisi memberikan peringatan yang juga memiliki kesesuaian khas dengan ke-makiyah-an surah ini yang diturunkan pada awal pengangkatan kenabian Rasulullah saw, atau sebagaimana ayat pada surah Ad-Dahr yang mengisyarahkan pada ayat-ayat yang berhubungan dengan terjaga dan tahajjud di malam hari, sebagaimana hal ini dalam surah ad-Dahr melaksanakan shalat malam diperkenalkan sebagai cara khusus untuk membimbing hamba ke arah Tuhannya. Bagaimanapun, baik pada surah ad-Dahr ataupun surah al-Muzammil yang berbicara tentang ke-tadzkirah-an ayat-ayat (atau tahajjud dan shalat malam) adalah untuk orang-orang yang mencari jalan untuk mendekat kepada Tuhan. Dan baik pada surah at-Takwir dimana al-Quran dan kalamullah dianggap sebagai peringatan untuk orang-orang dari kalangan mukminin yang ingin berjalan lurus dan melangkahkan kaki di atas kebenaran, dari satu sisi pesan Ilahi ini benar-benar jelas dan nampak bahwa jalan untuk menuju kedekatan dan bertentangga dengan Tuhan dan berada dalam lintasan kebenaran puntidak akab mungkin diterimaselain dari jalan al-Quran dan terhidayahinya dengan hidayah dan kehendak Tuhan, dari satu sisi merupakan penjelas poin bahwa meskipun tujuan-tujuan dan kehendak-kehendak Ilahi serta kerahiman pun ada dengan perhatian dan kehendak-Nya dan jika saja tidak ada kemuliaan, kebaikan, dan keagungan-Nya maka tidak ada sesuatupun dan tidak ada seorangpun yang memiliki keberadaan ataupun cahaya, karena, “Tuhan adalah cahaya langit-langit dan bumi“[5] dan “yang menerima” dan “penerimaan” keduanya berasal dari-Nya. Dari sinilah sehingga para filosof mengatakan, “Yang menerima itu adalah dari rahmat (feidh)-Nya yang paling suci (al-aqdas).”[6]
Dari pendekatan ketiga kelompok ayat-ayat ini secara berdampingan dan juga berbagai ayat-ayat lainnya yang terdapat dalam al-Quran al Karim, kita bisa menggunakan “tauhid perbuatan” dan ketika kehendak dan keinginan manusia pada seluruh ketaatannya mengikuti dan bergantung pada kehendak Tuhan, dan ilmu Tuhan melingkupi ilmunya, maka perbuatan dan pengaruh manusia akan merupakan pengaruh dan perbuatan Tuhan dan tidak saja lemparannya adalah lemparan Tuhan sebagaimana firman-Nya, “dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar“[7] melainkan selain perbuatan-perbuatan lainnya tidak dianggap berasal dari dirinya, “Semuanya (berasal) dari sisi Allah.“[8] Dan “Tidak ada pemberian kecuali pemberian-Nya[9] melupakan diri dan keberadaannya dan keluar dari keakuannya dan menjadi manifestasi dari asma dan sifat Tuhan.
Tentunya pernyataan ini bukanlah bermakna keterpaksaan, bagian dari keterpaksaan, atau kekurangan[10] melainkan merupakan mafhum yang tak berangkap dan hakikidan kehendak serta keinginan hamba meskipun merupakan keinginan dan kehendaknya, akan tetapi juga merupakan kehendak Tuhan.
Bahasan sebelumnya bisa pula dijelaskan dengan cara berikut: kehendak dan keinginan Tuhan terbagi menjadi dua yaitu kehendak dzati dan kehendak aktual. Kehendak dzati adalah kehendak yang terwujud pada tingkatan Dzat Tuhan yang menyatu dengan seluruh sifat-sifat lain yang dimiliki oleh Tuhan. Kehendak dzati ini tak lain adalah ilmu Tuhan, dan makna yang terdapat dalam kehendak manusia tidak benar dalam kaitannya dengan kehendak Tuhan. Pada kehendak dzati sama sekali tidak terdapat interaksi, hubungan dan ketersambungan dengan eksistensi-eksistensi eksternal maupun sistem kekuasaan atas realitas obyek.[11]
Kehendak aktual merupakan kehendak Tuhan pada maqam perbuatan dan dalam kaitannya dengan eksistensi-eksistensi alam luar dimana tak lain merupakan manifestasi dan tajalinya Tuhan di alam luar.
Kehendak aktual (takwiniyah) kadangkala muncul dalam bentuk tasyri’iyah dan pengutusan serta turunnya kitab-kitab untuk membimbing manusia secara umum dan untuk menusia-manusia mukmin akan terwujud dalam bentuk yang khas. Kehendak tasyri’iyah dan hukum-hukum, perintah-perintah dan larangan-larangan ini merupakan shirat dan jalan tasyr’iyah Tuhan.[12]
Dan kadangkala dalam bentuk kehendak takwiniyah yang tak lain adalah penciptaan alam dan sistem qadha dan qadar takwiniyah Tuhan dan terwujudnya ilmu Tuhan secara eksternal dan ‘aini. Dan berdasarkan sistem penciptaan yang paling sempurna dan hikmah Ilahi, seluruh eksistensi akan hadir di alam dengan izin takwiniyah-Nya dan makhluk ini akan dibimbing dari alam kegelapan dan ketiadaan ke alam cahaya dan keberadaan (yang berdasarkan hakikat wujudnya dan ciri khasnya serta karakteristik-karakteristik wujudnya seperti kehendak dan lain sebagainya).
Dari sini bisa dikatakan, dalam kehendak dzati Tuhan tidak terdapat kehendak lain yang bertentangan dengan kehendak Ilahi tersebut, dan dalam kehendak aktual takwiniyah-Nya tidak pula terdapat eksistensi lain yang bersumber dari sisi-Nya yang mampu mandiri secara mutlak dan bertolak belakang dengan kehendak Ilahi, atau tanpa kehendak dan izin takwiniyah-Nya suatu maujud akan terwujud.
Berdasarkan pada kehendak aktual dan izin takwiniyah itulah sehingga manusia tercipta secara bebas dan berkehendak dan juga bebas dalam memilih jalan: yang benar, yang berkembang, dan membawa kepada kebahagiaan, ataukah jalan yang batil dan sesat yang akan mengantarkannya pada kesengsaraan abadi. Dalam salah satu ayat-Nya Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menunjukkan jalan (yang lurus) kepadanya; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.“[13] , pada ayat yang lain berfirman,“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.”[14] Demikian juga pada ayat yang lain berfirman,“Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat.“[15]
Berdasarkan kehendak, izin, ikhtiar, dan kehendak takwiniyah Ilahi-lah sehingga makhluk Tuhan bebas untuk menentukan langkahnya, yaitu menempatkan dirinya untuk menjalani perintah-perintah Ilahi, taat secara mutlak kepada-Nya, mendapatkan kebahagiaan, dan surga abadi melalui kehendak dan iradah tasyri’iyah (baca: agama dan syariat), dan inilah hasil dari keharmonisan antara iradah takwiniyah dan tasyri’iyah. Ataukah menolak dan tidak mentaatinya yang hal ini akan berujung pada kesengsaraan dan neraka jahannam.
Dengan kata lain, meskipun dalam iradah takwiniyah terdapat kebebasan untuk melakukan perbuatan yang baik ataupun yang buruk, akan tetapi kehendak dan iradah tasyri’iyah Tuhan terletak pada pelaksanaan perbuatan yang baik, dan tidak menerima perbuatan tercela dan buruk dari hamba-Nya.
Dalam menjawab pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan hadis Imam Shadiq As yang bersabda, “Sesungguhnya tidak ada keterpaksaan mutlak demikian juga kebebasan mutlak, melainkan yang ada adalah perkara di antara dua perkara,” Imam Ridha As bersabda, “… maksudnya adalah terdapatnya jalan untuk menjalankan apa yang telah diperintahkan oleh Tuhan dan meninggalkan apa yang dilarang oleh-Nya.” Perawi hadis berkata, “Aku bertanya kepada Imam Ridha As: apakah dalam perkara ini terdapat kehendak dan iradah Tuhan?” Imam Ridha As bersabda, “Sesungguhnya dalam ketaatan, terdapat iradah dan kehendak Ilahi, terdapat perintah terhadapnya, terdapat keridhaan untuknya dan terdapat pertolongan atasnya. Sementara itu dalam dosa dan kemaksiatan, terdapat pelarangan atasnya, terdapat kerendahan untuknya dan terdapat kesengsaraan atasnya …”[16]
Kesimpulannya, kecenderungan manusia untuk melakukan perbuatan yang buruk dan tercela tidak mungkin terjadi tanpa adanya kehendak dan izin takwiniyah Ilahi, tanpa izin-Nya tidak ada satupun persoalan eksternal yang akan mampu terwujud –hal ini juga meliputi pemikiran, kehendak manusia, dan sebagainya- dan kehendak takwiniyah Ilahi tersebut tidak lain adalah kebebasan dan ikhtiar hamba dalam berkehendak, bertujuan, dan dalam melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik maupun yang buruk. Dan hal ini tidak berkontradiksi dengan tujuan Ilahi, bahkan merupakan satu-satunya jalan untuk sampai pada kesempurnaan, kebahagiaan, kedekatan dan pertemuan dengan-Nya; atau ketercelaan, keburukan, dan terjauhkannya dari Tuhan. Surga dan neraka ditentukan berdasarkan kewajiban, dan landasan kewajiban manusia terletak di atas kebebasan dan ikhtiarnya. Dan Tuhan telah menyediakan cara-cara yang bersifat internal (dalam bentuk akal dan fitrah) maupun yang eksternal (dengan mengutus para rasul, menurunkan kitab-kitab dan bimbingan para Imam Maksum Ahlulbait As) yang memungkinkan bagi manusia untuk memasuki kenikmatan ataupun kesengsaraan, dan akan senantiasa terdapat dua hal yang terpisah, surga dan neraka, kebahagiaan dan kesengsaraan, malaikat dan setan, dan …
Tafsir dari ayat-ayat yang menjadi poin pembahasan kita ini juga telah dinukilkan dalam banyak riwayat dari keturunan para Imam Ahlulbait As, dimana kami menghindarkan diri dari membahasnya karena keterbatasan ruang, dan untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap hendaklah merujuk pada tafsir-tafsir dan kitab-kitab hadis.[17]
Penting untuk dikemukakan bahwa pembahasan mengenai masalah kehendak Ilahi, kehendak manusia, dan keterkaitannya dengan jabr dan ikhtiar, persoalan di antara dua persoalan (amr bainal amrain), kemakhlukan perbuatan hamba, kehendak Ilahi dan bagian-bagiannya, perbedaan antara keinginan dan kehendak, dan … membutuhkan ruang yang lebih luas dan hal ini pun telah terdapat secara mencukupi pada ayat-ayat, riwayat, tafsir-tafsir dan kitab-kitab kalam, filsafah, irfan dan kalimat-kalimat para pembesar, cendekiawan Islam dan ma’arif Ilahi.
Pada akhir pembahasan penting kiranya untuk menyebutkan poin penting bahwa sebagian keinginan dan kehendak ditafsirkan dan dideskripsikan dengan ridha (kerelaan),kemudian dibahas dalam kaitannya dengan pemahamannya, kepentingannya, bentuk, klasifikasi dan tingkatannya. Dengan makna berikut bahwa salah satu dari hasil mencintai Yang Haq adalah ridha, dan ridha merupakan salah satu maqam tertinggi para muqarrabin (orang-orang yang mendekati-Nya).[18] Sebuah keridhaan tidak akan menuntut sesuatu kecuali keridhaan dari Yang Haq, dan kehendak serta iradahnya akan mengalami kefanaan dalam kehendak dan iradah Yang Haq.[19]
Dalam keadaan ini, keinginan Tuhan merupakan keinginannya dan siapapun yang telah sampai ke maqam kerelaan maka dia telah sampai pada sekumpulan tingkatan penghambaan, sebagaimana disabdakan, “Ridha adalah suatu nama yang padanya berkumpul makna-makna penghambaan.” [20]
Tentang ridha dan kerelaan ini, Lahiji pada Syarh Golsyan-e Roz, menuliskan, hakikat ridha adalah keluar dari kerelaannya sendiri dan menuju pada kerelaan Yang Dicintainya, ridha dengan segala sesuatu yang telah dikehendaki oleh Tuhan atasnya, tidak akan terjerumus dalam pertentangan dengan kehendak Ilahi dengan segala prestise yang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk berkehendak, sebagaimana firmannya, “Dan kamu tidak dapat berhendak kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam“. Dan yang dimaksud dengan rela kepada hakikat adalah seseorang yang tidak keberatan dengan takdir-takdir Ilahi.[21]
Dengan menerima tafsir dan pendapat ini, seorang hamba hakiki dan pesuluk yang mencintai dan pecinta kebenaran sama sekali tidak akan memiliki kecenderungan dan kehendak berkaitan dengan sesuatu yang di dalamnya tidak terdapat keridhaan Tuhan, dan ridha serta kehendak Tuhan yang baik, indah, dan suci murni sama sekali tidak berkaitan dengan keburukan dan ketercelaan.
Namun apa yang bisa dipahami dari kata al-Quran, “kehendak”, pada ayat-ayat yang kita bahas berbeda dengan makna dan pengertian ridha, meskipun dalam fenomena dan persoalan yang lain kesejajaran hal ini bisa saja terjadi.
Terdapat kemungkinan untuk menjabarkan dan menganalisa pembahasan mengenai jabr, ikhtiar dan kehendak Ilahi serta ridha ini dari berbagai pandangan, apabila Anda berminat dan memberitahukan, maka tentu hal tersebut bisa dilaksanakan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment