Saturday 31 December 2011

'Abasa -tafsir surah





Sekarang, kita diberi-tahu dalam surat ini bahwa kemuliaan ruhani dapat dicapai secara sama oleh semua manusia – baik kaya ataupun miskin, raja atau rakyat, tunanetra atau bisa melihat, tunarungu atau bisa mendengar – tak satu pun cacat lahiriah seseorang ataupun kemiskinan, yang menjadi hambatan di jalan menuju Majelis Kerajaan Allah, jalan kepada kesempurnaan ruhani dan keluhuran yang terbuka sama lebar bagi setiap orang. 


Selanjutnya, amal perbuatan masing-masing diri kita akan membawa konsekwensi yang jelas sebagaimana prinsip universal yang bisa diterapkan kepada semua manusia. Tidak ada pengecualian dalam hal ini dan tak ada privilege istimewa yang bisa dinikmati oleh keturunan seorang penguasa, gubernur, seorang nabi ataupun wali. Bila mereka terlibat dalam perbuatan jahat maka tak bisa lari dari tanggung-jawab perbuatannya, dan apakah ia orang miskin, orang kaya atau bangsawan tidak akan bisa mengelak dari pembalasan yang sama yang akan diterimanya. Semua sama dalam pandangan Allah. Tidak, bahkan mungkin seorang yang miskin bisa mengungguli si kaya karena ketulusannya dalam beriman serta beramal salih dan sikap serta akhlaknya yang lebih baik. Allah Ta’ala menyukai keimanan, ketulusan, amal salih, dan perilaku yang baik serta moral yang tinggi, bahkan meskipun orang yang menunjukkan watak ini boleh jadi amat miskin atau tidak penting dalam ukuran duniawi.


Jadi, dalam mengajarkan risalah Allah kepada orang lain, seseorang tak perlu gelisah apakah orang yang dituju itu kaya ataukah miskin. Umumnya, ambisi orang ingin menarik kepada agamanya agar supaya beberapa orang yang mempunyai kedudukan sosial yang tinggi bisa masuk kedalam Islam atau bergabung dalam organisasinya, meskipun kebijakan yang demikian itu salah karena tak seorangpun bisa mendalami hati manusia dan mengukur hasratnya dalam mencari kebenaran, kesadaran akan Tuhan dan ketulusannya. Hanya orang yang datang dengan maksud tulus untuk mencari kebenaran sajalah yang bisa memetik manfaat dari penyeru kepada agamanya. Apakah dia rendah atau tinggi kelasnya, orang semacam itu berhak untuk diberi perhatian lebih, dan bahwa risalah Allah harus diberikan kepada mereka.

Konsekwensinya, Allah Yang Maha-tinggi telah membicarakan masalah ini dan memberi petunjuk tentangnya dalam surat ini.


Ibnu Maktum adalah seorang sahabat yang mulia dari Nabi Suci s.a.w. Beliau seorang tuna-netra. Suatu kali, dia bertemu dengan Nabi Suci tepat ketika Beliau sedang menyampaikan risalah kepada para bangsawan Quraish. Tidak menyadari apa yang sedang terjadi, mungkin karena kebutaannya, dia mulai menginterupsi percakapan Rasulullah dengan meluncurkan pertanyaan-pertanyaan. Nabi Suci sedang bersungguh-sungguh dalam dakwahnya dan agaknya kurang berkenan dengan interupsi ini di tengah percakapan yang serius sehingga Beliau tidak memperhatikan Ibnu Maktum. Peristiwa inilah yang digambarkan oleh Allah Taa’ala sebagai berikut:

1. Ia bermuka masam dan berpaling,
2. Karena orang buta datang kepadanya.

‘Abasa berarti melengos atau merasa terganggu. Ini menunjukkan betapa dekat Allah Ta’ala mencermati perilaku Nabi Suci. Memang tidak diragukan lagi bahwa budi pekerti serta akhlak Nabi Suci itu demikian mulia dan luhur sehingga Allah Yang Maha-tinggi telah memuji akhlak beliau yang luhur dalam Qur’an Suci itu sendiri dengan menyatakan: “Dan sesungguhnya engkau memiliki akhlak yang agung”(68:4). Meskipun demikian, bahkan perbuatan yang nampaknya kurang penting, yang dilakukan oleh pemilik akhlak dan sopan-santun yang agung itu; dianggap kurang berkenan oleh Allah.


Bahkan kini, kita punya kesepakatan yang sama karena adalah dipandang kurang tepat bila kita memotong atau menginterupsi percakapan orang lain, dan seseorang yang melakukan hal yang demikian akan dianggap kurang sopan. Maka bila interupsi yang kurang pada tempatnya ini menyebabkan kurang senangnya Nabi Suci s.a.w. maka hal itu sesuai dengan sopan-santun masyarakat beradab. Namun, karena Ibnu Maktum adalah seseorang yang miskin, buta lagi, yang melakukan pelanggaran terhadap perilaku beradab ini, maka Allah Yang Maha-tinggi memandang tidak diharapkan bila Nabi Suci sama-sekali mengabaikan orang semacam ini dan tetap berbicara dengan kaum elit saja. Untuk menghibur dan memberi semangat kepada orang miskin, maka adalah penting untuk tidak membedakan mereka dalam majelis Nabi Suci; bahkan, si miskin harus diberi keutamaan daripada si kaya, karena Islam datang untuk mengajar umat prinsip luhur perilaku kemanusiaan dengan akhlak mulia dimana orang-orang yang sangat miskin ini bisa mencapai tingkat yang agung.


Ibnu Maktum berbicara beberapa kali, tetapi melihat Nabi Suci sibuk dalam dakwah menyampaikan risalahnya, dia bangun dan pulang. Karena itu, wahyu di atas turun: suatu wahyu yang mengagetkan Nabi Suci! Buru-buru beliau pergi ke rumah Ibnu Maktum, mengundangnya ke rumah Beliau, dan membentangkan kain untuk tempat duduknya. Ibnu Maktum tidak mau duduk karena merasa sungkan dengan Nabi Suci, tetapi Nabi Suci s.a.w. mendesak dan mendudukkannya, dan kemudian bersabda: “Sekarang, tanyakanlah kepadaku apa yang ingin kauketahui”.


Secara kebetulan, bukankah ini memperagakan keyakinan mutlak dari Nabi Suci kepada wahyu yang diterimanya? Betapa keliru dan salahnya catatan yang disajikan oleh almarhum Sir Syed Ahmad Khan yang menyatakan bahwa wahyu itu suatu ide yang mula-mula mencerahkan pribadi manusia lalu turun ke dalam fikiran sadarnya. Bila demikian halnya, setidak-tidaknya pastilah ayat-ayat semacam ini tidak terdapat dalam Qur’an Suci.


Adalah pribadi Rasulullah sendiri yang memutuskan untuk tidak menanggapi Ibnu Maktum yang menginterupsi pada saat yang tidak tepat, sehingga bagaimana dapat dipahami suatu ide yang bertentangan dengan pandangan ini bisa muncul dari pribadi yang sama yang bisa menangkap ide ini pada awal pertamanya? Kedua, tak seorangpun yang menyukai gagasan bahwa suatu laporan yang mencela tingkah-laku pribadinya akan menjadi sesuatu yang diulang-ulangi oleh umatnya. Tetapi dengan mengabaikan pertimbangan ini, celaan ini selalu ada sebagai bagian dari Qur’an Suci dan akan seterusnya demikian. Ini juga menjadi bagian yang diulang-ulang dalam pengajian umatnya. Ini menunjukkan bahwa celaan ini tidak memancar dari hati Nabi Suci sendiri. Tidak, ini adalah wahyu dari Allah yang berisi elemen ketidak-setujuan, dan karenanya seorang nabi pun tidak dapat merahasiakan wahyu Ilahi yang diterimanya, maka ditulis dalam Qur’an Suci dan ini akan tetap di sana seterusnya sebagai sarana petunjuk bagi Ummah Nabi Suci s.a.w.


Bila seseorang memperhatikan dengan cermat, maka dia akan menyadari bahwa tindakan Nabi Suci ini tidaklah perlu diberikan begitu banyak perhatian. Sesungguhnya, maksud dibalik banyaknya tekanan terhadap peristiwa ini karena hal itu untuk memberi petunjuk kepada umat, sebab kalau tidak, maka Allah akan memberikan pesan yang sama kepada Nabi Suci s.a.w. sebagai wahyu yang rahasia dan tidak resmi (suatu wahyu yang tidak dicatat dalam Qur’an Suci sebagai bagian dari kitab suci yang diwahyukan).

No comments:

Post a Comment