Kebetulan saya suka membaca Surat Al-Jumu’ah setiap Jum’at, meskipun kadang suka lupa sih. Karena, menurut riwayat, keutamaannya besar. Ketika sampai ayat kesebelas, pikiran saya kerap melayang kepada dua peristiwa dahsyat dalam sejarah, yang saling bertolak belakang.
Peristiwa pertama terjadi di masa Rasulullah saaw. Saat itu sedang berlangsung ibadah Jum’at di Madinah dan Rasulullah saaw sebagai khatibnya. Tiba-tiba serombongan kafilah dagang Syam memasuki kota itu. Tak pelak, para sahabat pun bubar dan segera menghambur ke arah para pedagang itu, demi memburu barang dagangan mereka. Sementara, Rasulullah saaw diabaikan begitu saja di mimbar Jum’at. Sedangkan yang masih tetap di tempat, bervariasi dalam riwayat: ada yang mengatakan dua belas lelaki, ada yang mengatakan dua belas lelaki dan satu wanita, ada yang mengatakan delapan orang (tujuh lelaki dan satu wanita), dan sebagainya. Dan riwayat-riwayat tersebut menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib termasuk di antara mereka yang tetap di tempat. [Lihat: Tafsir Ibn Katsir, Thabari, Qurthubi, Tsa’labi, Mujahid, dan lain-lain]
Akibatnya, Rasulullah saaw murka dan bersabda, “Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya kalian juga ikut keluar, sehingga tidak seorang pun yang tinggal, niscaya lembah ini akan mengalirkan api kepada kalian.” Riwayat lain menyatakan bahwa Rasulullah saaw bersabda, “Sungguh Allah menyaksikan masjidku pada Jum’at itu. Kalau bukan karena mereka berdelapan tetap duduk di masjid, maka sungguh kota ini dan penghuninya akan dilalap api, mereka juga akan dihujani batu seperti kaum Luth.”
Al-Qur’an juga mengecam tindakan mereka itu, melalui ayat:
Dan ketika mereka melihat barang-barang dagangan atau permainan tiba, maka mereka pun segera bubar menuju kepadanya dan meninggalkanmu yang sedang berdiri (berkhotbah) . Katakanlah, “Sesungguhnya pahala di sisi Allah itu lebih baik ketimbang permainan dan barang-barang dagangan itu.” Dan Allah sebaik-baik pemberi rezeki.
(QS. Al-Jumu’ah: 11)
Peristiwa kedua terjadi di Iran 1400 tahun kemudian. Saat itu ibadah Jum’at sedang berlangsung di salah satu tempat di sana, pada sekitar 1985. Tiba-tiba jet-jet tempur Saddam menghujani tempat itu dengan berbagai bom. Akibatnya, tempat itu porak-poranda, beberapa orang gugur syahid, dan puluhan lainnya luka-luka. Namun hebatnya, tidak satu pun jamaah Jum’at yang melarikan diri. Khotbah tetap disampaikan dengan semangat, salat Jum’at pun tetap diselenggarakan dengan khusyuk dan tenang serta penuh penghambaan kepada Allah SWT.
Alangkah dua peristiwa yang sangat kontras. Terlihat pada peristiwa kedua, ibadah Jum’at tetap berlangsung dengan khidmat. Meskipun yang mendatangi mereka bukan barang dagangan, melainkan bom-bom. Meskipun yang berkhotbah saat itu bukan Rasulullah saaw, melainkan Sayid Ali Khamenei.
Mengomentari peristiwa itu, Imam Khomeini berkata, “Saya tidak akan pernah melupakan pemandangan salat Jum’at saat itu, yang diselenggarakan dengan penuh khidmat dan keagungan. Saya mencermati apa yang terjadi pada jamaah salat. Tidak seorang pun merasa gentar menghadapi situasi saat itu. Imam Jum’at tetap lantang menyampaikan khotbahnya. Sementara, jamaah salat mendengarkan khotbah dengan khusyuk dan berseru, ‘Kami datang menyambut syahadah.’”
Melihat kenyataan ini, siapa sebenarnya yang lebih memuliakan ibadah Jum’at? Karenanya, saya heran bin takjub dengan beberapa orang yang begitu tega menuduh bahwa Syiah alergi dengan ibadah salat Jum’at.
sumber dari: ressay.wordpress.com
No comments:
Post a Comment