Saturday, 17 November 2012

Al-Wahhab, memberi tanpa diminta



Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau sesatkan hati kami sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami dan anugerahilah kami rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkaulah al-Wahhab, Maha Pemberi. (QS. Ali Imraan: 8)

Al-Qur’an menyebut al-Wahhab di tiga tempat, semua menunjuk kepada sifat Allah. Dari tiga ayat itu, hanya satu yang dirangkai dengan nama Allah yang lain, yaitu Al-Aziz (Maha Perkasa) sebagaimana yang terdapat dalam surat Shaad ayat 9, sedangkan dua lainnya berdiri sendiri.


Al-Wahhab merupakan Asma Allah yang berarti Maha Memberi. Dia memberikan rahmat kepada makhlukNya tanpa pamrih, karena Dia tak membutuhkan apapun kepada makhlukNya.
Keagungan dan kebesaranNya tak berkurang se­di­kitpun juga jika sekiranya semua manusia ingkar kepadaNya. Demikian juga sebaliknya, kewibawaan dan kemuliaanNya tak bertambah sedikitpun juga jika sekirinya semua manusia tunduk patuh kepadaNya. Dia tak membutuhkan ucap­an terima kasih, tak juga tepuk tangan atas semua kebaikanNya.

Tak sekadar bebas dari pamrih, Dia juga senantiasa memenuhi kebutuhan makhlukNya tanpa diminta. Dia memberikan udara segar setiap hari walaupun kebanyakan manusia tidak memintanya. Dia juga menurunkan hu­­jan, walaupun manusia tidak berdoa untuknya. Sinar matahari dicurahkan setiap hari, walaupun banyak manusia tidak menyadarinya. Siapakah yang me­nyediakan air, udara, dan energi? Tan­pa diminta, Allah telah menyiapkannya.

Hanya Dia yang pantas menyandang nama Al-Wahhab, sebab semua manusia senantiasa mengharapkan im­balan ketika bekerja, apalagi ketika mem­beri sesuatu kepada sesamanya. Ada tujuan yang ingin diraih di balik kerja kerasnya, baik yang bersifat materi maupun yang berbentuk spiritual, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi.

Itulah sebabnya, ketika al-Ghazali men­jelaskan tentang Al-Wahhab, ia ber­komentar bahwa hanya Allah saja yang patut menyandang sifat itu. Ia berkata, pada hakekatnya tidak ada pemberian tanpa tujuan dan harapan, kecuali Allah swt. Setiap manusia pasti berpengharapan atas semua perbuatannya, baik dalam bentuk pujian, meraih persahabatan, men­dapatkan kehormatan, atau paling tidak menghindari celaan.
Seseorang ‘abid yang senantiasa me­lazimkan ibadah juga tak lepas dari pamrih untuk mendapatkan surga atau terhindar dari neraka. Bahkan seorang alim yang beribadah demi meraih cinta dan syukur kepadaNya belum sepenuhnya terhindar dari tujuan-tujuan atau harapan meraih imbalan. Itulah sebabnya, Allah tetap memberi toleransi kepada ma­nusia sepanjang mereka tetap dalam koridor ibadah yang ikhlas semata karena Allah SWT. Dia membolehkan manusia beribadah karena mengharapkan surgaNya atau terhindar dari nerakaNya, ka­rena memang hanya sampai di situ batas kemampuan manusia.

Hanya Allah saja yang bisa memberi tanpa pamrih, sebab hanya Dia yang tidak membutuhkan apapun dari makhlukNya. Karenanya, hanya Dialah yang pantas me­nyandang nama Al-Wahhab, Maha Pemberi tanpa mengharap Puji, Maha Pem­beri tanpa pamrih, Maha Pemberi tanpa menagih.

Walaupun demikian, kita bisa mene­ladani sifat mulia itu sebatas kemampuan kita sebagai makhlukNya. Dalam hal ini kita bisa meminimalkan harapan atau pam­rih kita, paling tidak, ketika kita mem­berikan sesuatu, janganlah kita ber­harap mendapatkan imbalan yang ber­lebihan, yang demikian itu disebut riba, sebagaimana firmanNya:

“Apa yang kamu berikan dari riba supaya bertambah banyak harta manusia, maka tidaklah bertambah banyak di sisi Allah”. (QS. Ar-Ruum: 39).

Itulah sebabnya, sejak awal, ketika Rasulullah menerima wahyu yang ketiga, Allah sudah mengingatkan: “Jangan memberi dengan mengharap imbalan yang lebih banyak”. (QS. Al-Muddatstsir: 6)

Dalam prakteknya, kita boleh saja me­nanti ucapan terimakasih dari orang yang kita beri, tapi mengabaikannya jauh lebih mulia dan derajatnya lebih tinggi, sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih”. (QS. Al-Insaan: 9)

Nilai-nilai yang tercermin dari Al-Wahhab itu sangat penting diterapkan oleh para pemimpin. Setiap pemimpin haruslah memiliki sifat pemurah, suka memberi kepada bawahannya. Seorang pemimpin yang pelit pasti tidak disukai anak buahnya. Sebaliknya, pemimpin yang murah hati dan suka memberi pas­ti mendapatkan simpati, disukai, dan di­cintai rakyatnya.

Lebih dari itu, pemimpin yang baik tidak akan memberikan sesuatu kecuali mengharapkan kebaikan dari pemberiannya. Ia tidak memberi asal memberi. Setiap pemberiannya bernilai motivasi, lebih memilih memberikan kail daripada umpannya.

Adalah nilai lebih jika para pemimpin memberi tanpa pamrih. Tepuk tangan, ucapan terimakasih, sambutan meriah akan datang dengan sendirinya, tanpa diminta atau dinanti.


sumber dari: rolays.blogspot.com

No comments:

Post a Comment