Tuesday, 10 September 2013

Belajar dari seorang sopir




"Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (Q.S. AN-NAJM: 39)

Senin, tanggal 11 Maret hujan menyambut jogja di pagi hari. Jika biasanya saya akan bersorak gembira dan berteriak “I LOP YU PULL RAIN!!” seraya bersembunyi di balik selimut untuk melanjutkan petualangan panjang di pulau kapuk,namuntidak untuk hari itu. Saya harus  beraktivitas sejak pagi mempersiapkan segala keperluan untuk pulang ke kampung halaman. Pesawat berangkat pukul 9 pagi. Meskipun hujan tampak enggan berhenti, Saya tetap harus berburu taksi sekitar pukul 7 pagi.

Taksi model sedan putih dengan seorang laki-laki tua berumur 70 tahun di dalamnya adalah satu-satunya taksi yang tampak di sepanjang jalan magelang pagi itu. Singkat kata, lelaki tua yang belakangan kukenal dengan nama Pak Suharno pun mengantarkan saya menembus hujan menuju bandara di pagi yang dingin itu. Tipikal orang jawa, dengan siapapun, keramahan mereka takkan hilang. Obrolan ringan pun mengalir.

Pak Suharno: “Pulang kemana mas?”

Saya: “Bengkulu pak”

Pak Suharno: “wah jauh sekali. Transit ya mas?”

Saya: “Iya pak transit di jakarta. Ya jauh-jauh buat belajar pak. Amanah orang tua”

Pak Suharno: “Kuliah dimana”

Saya: “Di UGM pak”

Pak Suharno: “Wah seperti anak pertama saya. Nanti mas kalau sudah lulus mau kerja jangan di jogja mas.

 Di daerah mas saja. masih banyak daerah-daerah atau kabupaten-kabupaten yang tertinggal

Saya: “Oh iya pak. Betul sekali” (sedikit tersindir, tersenyum kecil dan menanggapi hanya dengan pernyataan normatif)

Pak Suharno: “Seperti anak saya itu mas, sekarang ada di Tenggarong. Kerja disana.”

Saya: “Wah kerja apa pak?”

Pak suharno: “Dokter mas”

Saya: “(tercengang) Dokter pak? Anak bapak dokter?”

Pak Suharno: “Iya, dulu kuliah kedokteran di UGM. Sekarang tugasnya di tenggarong. Anak kedua saya jurusan teknik sekarang kerja di telkomsel jakarta. Terus yang terakhir baru saja lulus. Sempat di jogja menemani saya tapi sebulan lalu pindah, jadi dosen di UNS.

Saya: “SUBHANALLAH...!” (Termangu dan terkagum-kagum) bapak luar biasa pak. Alhamdulillah sukses semua ya pak

Pak Suharno: “Ya begitulah mas. Usaha keras banting tulang sana-sini”

Saya: “Sudah lama jadi sopir pak?”

Pak Suharno: “Dari tahun 2001 atau 2002 saya lupa mas. Ya sekitar itu. Tapi ini saya masih kerja ini karena saya itu nggak bisa diam di rumah.”

Saya: “Iya ya pak. Karena hobi ya pak? Lagipula anak-anak bapak sudah sukses semua.”

Pak Suharno: “Iya mas. Saya cuma ngisi waktu ini. Anak-anak itu sering sekali nelpon saya. Misalnya jam 8 malem itu saya ditelpon terus saya jawab masih di jalan ngantar penumpang, saya diomelin itu mas. dimarah-marah sama anak-anak saya. Tapi ya bagaimana mas, daripada nganggur nggak ngapa-ngapain di rumah.”

Saya: “Wah hebat bapak. Sudah lanjut usianya tapi masih semangat.”

Pak suharno: “Ya memang harus begitu mas. Kita harus selalu semangat menjalani hidup itu bagaimanapun keadaannya. Daripada mengeluh terus dengan apa yang ada, lebih  baik kita berusaha memperbaiki keadaan. Yang penting itu usaha. Terus saya juga kalau kerja itu prinsipnya yang penting mencintai pekerjaan saya, senang dan ikhlas, mas.”

Saya: *Speechless.... (dalam hati masih bingung, bagaimana seoarang supir taksi bisa membiayai kuliah ketiga anaknya sampai selesai dan sukses. Bahkan salah satunya jurusan kedokteran!)

Penasaran berlanjut saya beranikan bertanya lebih lanjut..

Saya: “Sebelum tahun 2000-an bapak kerja apa pak?”

Pak suharno: “Wah serabutan mas. Saya itu bukan orang pinter kayak mas. Jadi saya kerja asal-asal-an pokoknya demi kuliah anak-anak saya. Apalagi yang kedokteran itu biayanya macem-macem dan waahhh tingginya. Pontang-panting mas kerja sana-sini, sampai ya letihnya itu luar biasa.Ini jadi supir taksi, pekerjaan saya yang paling ringan daripada sebelum-sebelumnya.”

Saya: (ALLAHU AKBAR! SUBHANALLAH...bersorak dalam hati. Saya kira mungkin bapak ini punya pekerjaan yang lebih reliable sebelum jadi supir taksi, ternyata tidak...SUBHANALLAH..)

Pak Suharno: “Saya juga sekarang heran. Kata anak pertama saya itu di tenggarong itu masih kurang tenaga kesehatan terutama dokter. Ya lihat sekarang mas, mana ada mahasiswa lulusan kedokteran yang mau ditempatkan di daerah pelosok. Kalau saya lihat mas, UGM terutama, berubahnya sudah jauh sekali dari zaman anak saya kuliah dulu. kampusnya sekarang itu sudah seperti parkiran mobil tho mas. Itu kan pasti anak-anak orang kaya semua. Tidak salah sebenarnya. Masa jadi anak orang kaya disalahin. Tapi cenderungnya tho mereka tidak ada yang mau mengorbankan diri mengabdi di pelosok-pelosok daerah yang butuh tenaga kesehatan.”

Saya: “Betul pak. Betul sekali.”

Pak Suharno: “Sampean nanti kalau sudah lulus sudah ada rencana, mas?”

Saya: “Sebenarnya saya sudah lulus pak. Sedang menunggu wisuda. Mau langsung S2 pak”

Pak Suharno: “Mau jadi dosen ya mas? Ingat mas, utamakan daerah sendiri dulu. Tenaga pengajar berkualitas juga dibutuhkan dimana-mana apalagi di daerah yang tertinggal.”

Saya: “Hehehe iya pak. Insya Allah.”

Pak Suharno: “ini sudah mau sampai. Jam berapa tho pesawatnya mas?”

Saya: “9 pak (sambil meneliti tiket).”

Pak Suharno: Pas tho. masih ada satu jam

Tepat di depan gerbang keberangkatan, argo taksi menunjuk angka 57.550. Masih di dalam taksi, saya menyodorkan uang sebesar Rp 60.000. pak Suharno menolak dan mengembalikan selembar sepuluh ribuan.

Saya: “Lho pak. Itu kan 60.000 di argonya. Kok dikembalikan?”

Pak Suharno: “Sudah mas. Tidak apa-apa. Kebanyakan. Ini ambil saja”

Saya: “Wah pak jangan. Saya nggak mmenuhi kewajiban saya nanti pak sesuai yang tertera di argo”

Pak Suharno: “Sudah mas. Ambil saja. sedekah juga sudah menjadi kebiasaan saya dari dulu. itulah kenapa rezeki dari Allah selalu ada (sedikit memaksa dengan menaruh uang itu di saku jas saya)

Saya: “Waduh. Ya sudah pak. Terima kasih banyak kalau begitu. Mari pak Assalammu’alaikum.”

Pak Suharno: “ya ya mas. Mari. Semoga sukses. Wa’alaikumsalam.”

Sekilas memang sekedar pengalaman yang sederhana. Tapi bagi saya pertemuan singkat dengan Pak Suharno telah memberikan saya banyak pelajaran berharga tentang bagaimana sebaiknya kita mensyukuri hidup. Setidaknya, ada empat hal yang dapat saya ambil. Pertama, Tidak pernah mengeluh dengan keadaan yang kita terima tapi sebaliknya, bersyukur dengan mewujudkannya lewat kerja keras. Ikhlas adalah hal kedua yang mesti kita miliki. Karena dengan keikhlasan tersebut, kita pun sudah siap dan ridho terhadap apa saja yang sudah dan yang akan terjadi. Efeknya pun juga luar biasa. Misalnya pada pekerjaan, seperti kata Pak Suharno, bekerja karena mencintai pekerjaan itu sendiri. Yang ketiga adalah tetap semangat. Seletih apapun tubuh kita, semangat untuk menjalani hidup tak boleh hilang. Kita dapat belajar itu dari seorang laki-laki yang sudah berumur 70 tahun bernama Pak Suharno. Sebagai tambahan, sedekah pun bisa dijadikan ‘jalan pintas’ lain untuk menggapai kesuksesan disertai ridho Allah.

Akhir kata, alangkah baiknya kita selalu mengingat beberapa ayat Allah ini.

Yang pertama tentang rasa syukur:

“Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan,”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.”(Q.S. Ibrahim: 7)

Jika seorang dengan serba berkecukupan saja mampu mewujudkan mimpi lewat syukur dan kerja kerasnya, maka apakah kita dengan segala hal yang lebih dari cukup sudah memaksimalkan karunia Allah? Maka mari simak ayat yang selalu diulang-ulang di dalam surat Ar-Rahman:

“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”(Q.S. Ar-Rahman: 13)

Dan yang terakhir, seperti telah ditulis sebelumnya di awal tulisan, tentang intisari dari kegigihan berusaha sebagaimana dalam surat An-Najm:

“Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasannya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya)” (Q.S. An-Najm: 39-40)



sumber dari: donasidakwah.com

No comments:

Post a Comment