Monday, 19 August 2013

Iman bisa bertambah dan bisa berkurang





TANDA-TANDA LEMAHNYA YAKIN

مِنْ عَلَامَاتِ الإعْتِمَادِ عَلى العَمَالِ نُقْصَانُ الرّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزََّللِ

“Tanda-tanda bergantung kepada amal, kurangnya pengharapan ketika terjadi lemahnya amal”.

Sebagai seorang hamba Allah SWT, manusia wajib mengabdi kepada-Nya, karena untuk itulah ia diciptakan. Pengabdian itu harus dijadikan sebagai landasan segala aktifitas kehidup­an di jalan-Nya. Supaya pengabdian itu bisa berjalan dengan baik, maka manusia harus melandasi pengabdiannya dengan dua sifat; Pertama sifat raja’ atau berharap dan kedua sifat khauf atau takut. Allah SWT yang mengajarkannya dalam firmanNya:

Allah SWT berfirman: “Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, – dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih”. (QS. Al-Hijr; 15/49-50)

Ayat diatas menyatakan dengan tegas, bahwa kedua sifat tersebut harus diterapkan manusia dalam hidupnya secara seimbang, tidak boleh berat sebelah. Maksudnya manusia tidak boleh menggantungkan harapan dan menyandar­kan rasa takut kecuali hanya kepada Allah SWT.

Sifat raja’ diperlukan agar manusia tidak terjerumus ke dalam lembah putus asa. Karena sebesar apapun dosa seorang hamba, pengampunan Allah kepada yang dikehenda­ki-Nya lebih besar dan lebih luas tak terhingga. Sedangkan dengan sifat khauf dimaksudkan agar seorang hamba tidak sembrono dan tidak mudah lepas kontrol. Sebab, sekecil apapun dosa yang sudah diperbuat, oleh karena tidak ada seorangpun yang pernah mengadakan perjanjian dengan Allah SWT sehingga mendapatkan jaminan dimasukkan ke surga, maka tidak ada jaminan bagi seseorang untuk selamat dari dosa yang sudah diperbuatnya.

Amal Batin Adalah Buah Amal Lahir

Amal ibadah lahir, baik shalat, puasa, zakat shadaqah, dzikir, fikir, mujahadah maupun riyadlah, apabila dilaksanakan dengan benar, semata-mata mengharapkan ridla Allah, akan membuahkan amal batin yakni ketakwaan di dalam hati dan keyakinan kepada Allah. Jika amaliyah tersebut dapat dilaksanakan secara istiqamah, sehingga iman dan yakin semakin meningkat, maka seorang hamba akan mendapatkan ma’rifatullah, yakni mengenal kepada Allah SWT.

Yang demikian itu telah disimpulkan Allah dalam suatu ayat tentang “hikmah yang terkandung” dalam perintah ibadah puasa di bulan Ramadhan. Allah SWT berfirman yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS.Al-Baqoroh(2); 183).

Maksudnya, ibadah puasa, seperti juga ibadah-ibadah vertikal yang lainnya, apabila dilaksanakan dengan dasar iman serta semata-mata hanya menjalankan perintah-Nya, akan membentuk manusia menjadi seorang hamba yang bertakwa, artinya ibadah fertikal merupakan sarana latihan bagi manusia agar karakternya bisa berubah menjadi lebih baik. Manakala hikmah terbesar “puasa” bisa menjadikan seorang hamba bertakwa kepada Tuhannya, maka dengan ayat ini dapat disimpulkan bahwa amal lahir, apabila dilaksanakan dengan benar dapat membuahkan amal batin yaitu ma’rifatullah.

Namun demikian, apabila tumbuhnya kekuatan yakin atau ma’rifat itu selalu berkaitan dengan amalan lahir, dan ketika suatu saat amal lahir itu sedang lemah menjadikan keyakinan atau ma’rifatnya lemah, sehingga pengharapan kepada Allah menjadi lemah pula, maka melemahnya pengharapan kepada Allah itu merupakan tanda bahwa sesungguhnya orang tersebut hakekatnya belum bertawakkal kepada Allah, melainkan baru bertawakkal kepada amal ibadahnya. Akibatnya, ketika ia sedang jauh dari amaliyah yang di jalani itu, ia kembali akan kehilangan kepercayaan diri lagi.

Oleh karena itu, hati seorang hamba harus selalu siap menghadapi kepastian takdir-Nya, baik dalam keadaan sedang jalan wiridnya maupun tidak. Seorang SALIK harus siap di dalam hatinya, bahwa selain yang keluar dari kehendaknya (irodah) sendiri, pasti itu adalah kehendak Tuhannya. Untuk itu, apapun bentuknya—yang terjadi di dalam realita dan dari siapapun datangnya—kalau kehendak Tuhan sudah datang di hadapannya, seorang hamba yang ber-ma’rifat akan sanggup menyongsong realita tersebut dengan hati selamat. Mereka mampu berprasangka baik (husnudh-dhon), walau sedang dihadapkan dengan kematian sekalipun.

Jadi, istiqamah itu bukan hanya dalam amal perbuatan lahir dan wirid-wirid khusus saja, namun juga dan yang utama itu adalah istiqamah hati. Yakni, dalam keadaan yang bagaimanapun, baik sedang wirid maupun tidak, hatinya tetap hanya bersandar kepada Allah. Berharap dan takut hanya kepada “pemeliharaan” Sang Pemelihara Alam Semesta: Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah I kepadamu”. (QS. Fush Shilat; 30)


sumber dari: primasusetya.blogspot.com

No comments:

Post a Comment