Saturday, 22 February 2014
Makna Syukur yang Benar
“Sesungguhnya Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.” (Al-Insan [76]: 3)
Mukaddimah
Ayat ini terdapat di surah al-Insan. Dinamakan al-Insan karena di dalamnya terdapat ayat-ayat yang menceritakan awal kejadian manusia serta hakikat manusia itu sendiri. Para ulama juga sepakat menjadikan surah al-Insan sebagai bacaan yang sunnah dibaca pada shalat Subuh di hari Jumat setelah surah as-Sajadah di rakaat pertama.
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullahu berkata: Di antara hikmah membaca kedua surah itu di hari Jumat, mengingatkan kaum Muslimin akan penciptaan Nabi Adam –sebagai awal penciptaan manusia- yang terjadi pada Jumat. Sebagaimana hari Kiamat juga kelak akan terjadi pada Jumat. Selain itu, surah al-Insan juga mengingatkan tentang awal perjalanan kehidupan manusia yang bermula dari sesuatu yang hina. Serta akhir perjalanannya yang niscaya berpulang kepada sang Pemilik kehidupan tersebut.
Hidup adalah Nikmat
Pernahkah kita berpikir jika hidup ini adalah nikmat? Dalam kacamata logika, bagi seseorang yang dikaruniai limpahan materi dalam hidupnya, boleh jadi menjawab ‘ya’. Kehidupan dunia ini adalah nikmat dan sesuatu yang menyenangkan. Sedang mereka yang ditakdirkan hidup tanpa materi yang cukup, mungkin mereka berkata ‘tidak’. Hidup adalah beban dan semata tumpukan penderitaan saja.
Seiring jauhnya seseorang dari agama dan rusaknya moral manusia, dengan mudah kita mendapati mereka yang menganggap hidup di dunia adalah beban. Mereka tak mampu lagi berpikir positif, sebab hidupnya saja adalah beban. Alih-alih memberikan manfaat kepada orang lain, dia sendiri sudah terkungkung beban pemikirannya yang sempit. Hasilnya sangat mudah ditebak, orang yang bertipe semacam itu akan mudah mengalami stress, dan hidupnya merasa tertekan. Lebih parah lagi jika ternyata orang itu menganggap bunuh diri adalah solusi dari kebuntuan hidupnya.
Padahal Allah Subhananhu wa Ta’ala telah menegaskan, jika hidup adalah nikmat. Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala mengutarakan dua nikmat besar yang telah Allah berikan kepada manusia. Nikmat pertama, penciptaan manusia itu sendiri. Dia diciptakan sedang sebelumnya dia tak pernah ada. Manusia lahir ke muka bumi sedang dulunya dia sama sekali tak dikenal. Bahkan oleh sang ibu yang melahirkan anak itu, sebagaimana para orang tua, tak pernah tahu seperti apa anak yang kelak menjadi keturunan mereka. Dalam urusan penciptaan ini, manusia sama sekali tak punya andil dan kuasa sedikit pun, kecuali hanya wajib mensyukurinya.
Nikmat berikutnya terdapat pada kemurahan Allah dengan diutusnya Rasul kepada manusia dan diturunkannya al-Qur`an sebagai pegangan hidup. Rasul yang diutus lalu bertugas memberikan penjelasan aturan dan rambu-rambu kehidupan di dunia. Suatu pedoman hidup yang telah terangkum lengkap dalam al-Qur`an, petunjuk yang mampu mengantarkan mereka kepada kebahagiaan dan ketenangan hidup. Baik di dunia terlebih di akhirat kelak.
Berbeda dengan tipe manusia pertama, orang yang pandai bersyukur memiliki secret power dalam kehidupannya. Dia senantiasa mampu memandang segala persoalan dengan kacamata positif. Baginya, jatah hidup berarti kesempatan untuk mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah kepadanya. Dia seakan-akan tak punya waktu lagi untuk berleha-leha dan berbuat sia-sia. Sebab, nikmat yang dia rasakan begitu banyak, tak sebanding dengan apa yang telah dia perbuat. Jatah umurnya yang terus menyusut tak seimbang dengan pengabdiannya kepada agama.
Alhasil, kehidupan orang yang pandai bersyukur senantiasa aktif dan dinamis. Seluruh permasalahan dan aktivitasnya menjadi lahan subur baginya untuk merefleksikan rasa syukur itu. Dalam pikirannya, hanya satu saja yaitu menebarkan benih prestasi kebaikan sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya.
Hidup adalah Pilihan
As-sabil (jalan) yang dimaksud pada ayat di atas adalah hidayah dari Allah berupa bayan (penjelasan) akan hakikat kehidupan manusia di dunia. Sebagaimana disebutkan, selain menciptakan manusia, Allah Ta’ala juga mengirimkan kepada mereka Rasul. Sebagai utusan Allah, maka Rasul bertugas mengajarkan mana jalan al-haq (kebenaran) dan mana jalan al-bathil (keburukan), mana al-huda (petunjuk) dan mana ad-dhalalah (sesat).
Rasul juga berkewajiban membimbing manusia untuk senantiasa istiqamah menjalani fitrahnya yang suci. Sebab, selain kedua nikmat di atas, nikmat berupa iman merupakan karunia terbesar yang Allah berikan kepada manusia.
Hidup adalah pilihan. Boleh jadi ungkapan tersebut bisa mewakili keadaan manusia sekarang, sebab rupanya karunia petunjuk ini sekaligus menyisakan ujian yang tak mudah bagi manusia. Dia dihadapkan pada dua pilihan. Apakah mereka mampu bersyukur atas nikmat tersebut atau justru mengingkari nikmat.
Kehidupan dunia dengan segala tawaran fasilitasnya kembali menjadi taruhan bagi manusia dalam menimbang kadar kesyukuran seseorang.
Allah hanya sebatas memberikan jalan menuju surga dan menjelaskan cara meraih keselamatan itu. Sedang pilihan itu berpulang kepada setiap diri manusia. Meski sudah menjadi fitrah dan pengakuan setiap jiwa di alam arwah, tapi dia bukanlah garansi keselamatan selama-lamanya. Sebab, iman merupakan perkara yang tak bisa diwariskan. Dia bisa saja lenyap begitu saja dengan bujuk rayu dari tumpukan materi yang ada.
Makna Syukur yang Benar
Tidak jarang manusia bersyukur hanya jika mendapatkan nikmat berupa materi duniawi saja. Lalu luput mensyukuri nikmat yang jauh lebih hakiki berupa keimanan yang terjaga. Bagi seorang Muslim, iman adalah harga mati yang tak bisa ditawar lagi. Selama keimanan masih tertancap dalam raga, maka tak ada pilihan lain kecuali bersyukur kepada-Nya. Dalam shalat lima waktu, seorang hamba wajib mengulang-ulang permohonannya kepada Allah untuk diteguhkkan dalam nikmat iman tersebut. “Ihdina as-shirat al-mustaqim” tunjukilah kami jalan yang lurus.
Bersyukur tentu tak sekadar membasahi lidah dengan ucapan syukur semata. Sebagaimana dia tak cukup untuk diakui di dalam hati saja tanpa ada refleksi amalan kebaikan. Namun, sikap syukur yang benar adalah ketika seseorang mampu menjadikan rasa syukur di hati menjadi zikir di lidah dan berbuah kepada ketaatan kepada Allah semata.
Jangan Keliru Memilih
Dalam urusan keimanan, keliru bersikap bisa berakibat sangat fatal. Ketika seseorang salah memilih presiden, misalnya. Pilihan yang salah itu hanya berdampak pada penyesalan selama masa periode kepemimpinan sang presiden itu. Namun, berbeda halnya ketika manusia salah memilih jalan hidup. Ketika seseorang tidak mampu mempertahankan fitrah pada dirinya, lalu mengingkari segala nikmat yang diberikan, maka hal ini berujung kepada penyesalan seumur hidupnya. Lebih mengkhawatirkan lagi, sebab kesengsaraan itu akan dirasakan selama-lamanya pada kehidupan abadi yang tiada bertepi lagi.
sumber dari: majalah.hidayatullah.com
Labels:
Al-Insaan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment