
Perlu
 kami ulang bahwa iman adalah kondisi jiwa yang timbul atas dasar 
pengetahuan dan kecenderungan. Iman ini menuntut sang mukmin agar 
bertekad dan berkehendak secara global untuk komitmen pada 
konsekuensi-konsekuensinya, juga menuntut agar melakukan perbuatan yang 
sesuai dengan imannya. Oleh karena itu, seseorang yang mengetahui 
hakikat sesuatu, namun bermaksud untuk tidak mengamalkan konsekuensi 
dari pengetahuan itu, sebenarnya ia belum beriman kepada sesuatu itu. 
 Begitu pula orang yang ragu untuk mengamalkannya. Allah SWT berfirman, “Orang-orang
 Arab Badui itu berkata, ‘Kami telah beriman.” Katakanlah kepada mereka,
 “Kalian belum beriman, akan tetapi katakanlah bahwa kami telah tunduk, 
karena iman itu belum masuk ke dalam hati kalian.’” (QS. Al-Hujurat: 14)
Iman
 yang hakiki itu bertingkat-tingkat. Hanya, tidak setiap tingkat akan 
selalu mendesak pemiliknya untuk melakukan konsekuensi praktisnya. 
Karena iman yang lemah, sebagian dorongan hawa-nafsu dan nafsu ammarah-nya menggiring
 dirinya kepada maksiat, meski tidak sampai membuatnya senantiasa 
berbuat maksiat dan melanggar seluruh konsekuensi iman tersebut. 
Tentunya, semakin kuat dan sempurna iman seseorang, semakin besar 
pengaruhnya untuk melakukan amal perbuatan yang sesuai dengan 
keimanannya.
Secara
 ringkas dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya, iman itu menuntut suatu 
perilaku yang menjadi kon-sekuensinya. Dan, kadar pengaruh iman itu 
tergantung kepada kuat-lemahnya iman tersebut. Juga, tekad dan kehendak 
seseorang itu dapat menentukan dirinya untuk melakukan atau meninggalkan
 suatu perbuatan yang dituntut oleh imannya.
sumber dari: hauzah-jakarta.com
No comments:
Post a Comment