“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna (al-mâ’un),” (QS Al-Ma’un [107]: 1-7)
Bagi sebagian aktifis Islam, menegakkan agama identik dengan peperangan melawan orang-orang kafir. Sehingga beragam penuh dengan konflik, permusuhan, dan pertumpahan darah. Padahal menegakkan agama dapat dimulai dari penerapan agama Islam dari diri sendiri, keluarga, dan memerhatikan masyarakat sekitar. Shalat, puasa, haji, dan mengentaskan umat Islam dari kemiskinan dan kebodohan merupakan ajang dalam penegakan agama. Salah satu upaya menegakkan agama dalam hidup bermasyarakat adalah dengan membumikan pesan surat al-Ma’un.
Perhatian Islam terhadap Kaum Papa
Islam memberikan perhatian yang mendalam terhadap orang-orang lemah, yaitu mereka yang miskin dan tertindas. Menurut Islam, beriman dan berislam tidak sempurna jika tidak diikuti oleh pemberian dan bantuan terhadap orang yang membutuhkan pertolongan. Dalam surat al-Ma’un dengan tegas Allah menyatakan bahwa orang yang mempunyai kelebihan harta tapi tidak membantu orang yang membutuhkan pertolongan disebut sebagai pendusta agama.
Terdapat beragam pendapat sekitar makna kata “al-mâ’un” yang terdapat dalam ayat tujuh. Qurthubi dalam kitab tafsirnya “al-Jâmi’ Li Ahkâmil Qur’ân,” menyebutkan ada 12 makna yang dinisbatkan para ulama atas kata “al-mâ’un”. Di antaranya adalah zakat harta, harta, barang yang berguna bagi kebutuhan rumah tangga, setiap barang yang ada manfaatnya, barang yang lazim dipergunakan oleh masyarakat untuk saling memberi, air, melarang kebaikan, dan lain sebagainya.
Isi surat al-Ma’un ini membicarakan beberapa sifat manusia yang dipandang sebagai mendustakan agama dan ancaman terhadap orang-orang yang melakukan shalat dengan lalai dan riya. Pesan mengemuka dalam surat al-Ma’un ini berbeda secara diametral dengan surat setelahnya, yaitu surat al-Kautsar. Surat al-Kautsar membicarakan sifat-sifat yang mulia dan perintah untuk mengerjakannya.
Surat al-Mau’un secara tegas menyatakan bahwa mereka yang menghardik anak yatim, tidak memberi makan orang-orang miskin, dan enggan mengeluarkan barang berguna untuk membantu mereka yang membutuhkan, termasuk orang yang mendustakan agama. Termasuk juga orang mendustakan agama adalah orang yang melalaikan shalat atau shalat karena riya’. Meskipun ulama berbeda pendapat seputar makna “al-Mâ’un”, yang harus diinsyafi adalah kategorisasi tentang sifat-sifat orang yang mendustakan agama yang terdapat dalam surat ini.
Cukuplah kiranya surat al-ma’un ini menyadarkan kita bahwa beriman dan berislam tidak sempurna jika kita tidak mempedulikan anak-anak yatim dan orang-orang miskin di sekitar kita. Kita harus membuang jauh-jauh anggapan bahwa keimanan terpisah dengan realitas sosial.
Belajar dari KH. Ahmad Dahlan
Al-Quran adalah kitab petunjuk untuk meraih kebahagian di dunia dan akhirat. Karena itu, petunjuk Al-Quran harus diamalkan, tidak hanya dipahami dan dimengerti saja. Hanya itulah jalan satu-satunya meraih kebahagian dunia dan akhirat. Sayangnya, banyak dari umat Islam yang hanya membaca Al-Quran, tapi tidak memahami maknanya, apalagi mengamalkan pesannya.
Al-Quran dibaca sekedar untuk meraih pahala disisi-Nya tanpa diiringi usaha memahami maknanya untuk kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut KH. Ahmad Dahlan —pendiri Muhammadiyah, dalam mempelajari Al-Quran, umat Islam tidak boleh beranjak kepada ayat berikutnya sampai ia benar-benar paham arti dan tafsirnya serta dapat mengimplementasikan pesan ayat tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Ada cerita yang cukup terkenal di kalangan Muhammadiyah dan sering diceritakan ulang, berkenaan dengan cara KH. Ahmad Dahlan mengajarkan surah surat al-Ma’un kepada para murid-muridnya. Diceritakan bahwa KH. Ahmad Dahlan berulang-ulang mengajarkan surat al-Ma’un dalam jangka waktu yang lama dan tidak mau beranjak kepada ayat berikutnya, meskipun murid-muridnya sudah mulai bosan.
Dihimpit oleh rasa bosan karena KH. Ahmad Dahlan terus-menerus mengajarkan surat al-Mau’un, akhirnya salah seorang muridnya, H. Syuja’, bertanya mengapa Kiyai Dahlan yang tidak mau beranjak untuk mempelajari pelajaran selanjutnya. Lantas Kiyai Dahlan balik bertanya, “Apakah kamu benar-benar memahami surat ini?” H. Syuja’ menjawab bahwa ia dan teman-temannya sudah paham betul arti surat tersebut dan menghafalnya di luar kepala. Kemudian Kiyai Dahlan bertanya lagi, “Apakah kamu sudah mengamalkannya?” jawab H. Syuja’, “Bukankah kami membaca surat ini berulang kali dalam sewaktu salat?”
Kiyai Dahlan lalu menjelaskan bahwa maksud mengamalkan surat al-Ma’un bukan menghafal atau membaca, tapi lebih penting dari itu semua, adalah melaksanakan pesan surat al-Ma’un dalam bentuk amalan nyata. “Oleh karena itu’, lanjut Kiyai Dahlan, “setiap orang harus keliling kota mencari anak-anak yatim, bawa mereka pulang ke rumah, berikan sabun untuk mandi, pakaian yang pantas, makan dan minum, serta berikan mereka tempat tinggal yang layak. Untuk itu pelajaran ini kita tutup, dan laksanakan apa yang telah saya perintahkan kepada kalian.” (dikutip dari buku “Teologi Pembaharuan” karya Dr. Fauzan Saleh). Cerita Kiyai Ahmad Dahlan di atas menggambarkan bagaimana seharusnya ayat-ayat Al-Quran dipelajari, yakni tidak beranjak ke ayat lain sebelum memahami dan mengamalkan isi pesan ayat tersebut.
Saat ini, negeri kita belum bisa terbebas dari jeratan kemiskinan. Maka membumikan pesan al-Ma’un, yaitu mencurahkan perhatian pada anak-anak yatim dan orang-orang miskin dan membantu mereka, adalah sebuah keniscayaan. Ini penting bagi kita, bukan hanya agar kita tidak menjadi kaum pendusta agama, tapi juga sebagai langkah awal untuk mengakhiri penderitaan mereka yang tidur dalam keadaan perut lapar, kedinginan di bawah kolong-kolong jembatan, dan anak-anak balita yang busung lapar.
Banyak pakar menilai bahwa maraknya aksi kekerasan dan terorisme di negeri ini disebabkan karena penduduk negeri ini berada dalam lingkaran kemiskinan. Kemiskinan menyebabkan seseorang atau kelompok gampang frustasi, berpikir pendek, dan cepat putus asa sehingga mereka gampang dijebak untuk melakukan aksi-aksi kekerasan dan terorisme. Bahkan negeri ini tidak akan pernah terbebas dari aksi-aksi kekerasan selama kemiskinan masih menjerat penduduk negeri ini.
Karena itu, marilah kita tegakkan agama dengan membumikan pesan al-Ma’un dalam keseharian kita guna meringankan penderitaan orang-orang miskin di sekitar kita dan agar mereka merasa ada yang memperhatikan serta peduli terhadap mereka. Bantuan dan perhatian yang kita berikan, sedikit banyak pasti akan membantu mengentaskan kemiskinan di negeri ini. Jika kemiskinan telah berlalu dari negeri ini, maka negeri ini tidak akan menjadi ladang subur bagi persemaian benih-benih terorisme.
Wallahu a’lamu bis shawab
No comments:
Post a Comment