|
وَأَنفِقُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ
وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوَاْ إِنَّ اللّهَ
يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
195 . Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan
janganlah kamu sengaja mencampakkan diri kamu ke dalam bahaya kebinasaan dan
berbuat baiklah kerana sesungguhnya Allah mengasihi orang yang berusaha
memperbaiki amalannya.
|
Fatwa Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Merokok haram hukumnya berdasarkan makna dari zahir ayat Al-Quran dan As-Sunnah serta iktibar (logik) yang benar. Allah berfirman (yang bermaksud), "Dan janganlah kamu mencampakkan dirimu sendiri dalam kebinasaan." (Al-Baqarah: 195).
Maknanya, janganlah kamu melakukan sebab yang menjadi kebinasaanmu. Wajhud dilalah (aspek pendalilan) dari ayat di atas bermaksud merokok termasuk perbuatan yang mencampakkan diri sendiri ke dalam kebinasaan.
Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah hadis sahih dari Rasulullah Sollallahu Alaihi Wasallam bahwa beliau melarang membazirkan harta. Makna membazirkan harta adalah memperuntukkannya kepada hal-hal yang tidak bermanfaat. Sebagaimana dimaklumi bahwa memperuntukkan harta dengan membeli rokok adalah termasuk pengperuntukan harta pada hal yang tidak bermanfaat, bahkan peruntukan harta kepada hal-hal yang mengandung kemudaratan.
Dalil yang lain, Rasulullah Sollallahu alaihi Wasallam bersabda, "Tidak boleh (menimbulkan) bahaya dan tidak boleh pula membahayakan orang lain." (HR. Ibnu Majah dari kitab Al-Ahkam 2340).
Jadi, menimbulkan bahaya (dharar) adalah ditiadakan (tidak berlaku) dalam syari'at, baik bahayanya terhadap badan, akal, ataupun harta. Sebagaimana dimaklumi pula merokok adalah berbahaya terhadap badan dan harta.
Adapun dalil dari iktibar (logik) yang benar yang menunjukkan keharaman rokok adalah kerana dengan perbuatan itu perokok mencampakkan dirinya ke dalam hal yang menimbukan bahaya, rasa cemas, dan keletihan jiwa. Orang yang berakal tentu tidak rela hal itu terjadi pada dirinya sendiri. Alangkah tragisnya keadaannya, dan demikian sesaknya dada si perokok bila tidak menghisapnya. Alangkah berat ia melakukan puasa dan ibadah-ibadah lainnya kerana hal itu menghalagi dirinya dari merokok. Bahkan, alangkah berat dirinya berinteraksi dengan orang-orang saleh kerana tidak mungkin mereka membiarkan asap rokok mengepul di hadapan mereka. Oleh itu anda akan melihat perokok demikian tidak selesa bila duduk dan berinteraksi dengan orang-orang saleh.
Semua iktibar itu menunjukkan merokok hukumnya diharamkan. Oleh itu, nasihat saya untuk saudara-saudara kaum muslimin yang masih didera oleh kebiasaan menghisap rokok agar memohon pertolongan Allah dan tekad untuk meninggalkannya. Ini kerana di dalam tekad yang tulus disertai dengan memohon pertolongan Allah, mengharap pahala dari-Nya dan menghindari siksaan-Nya, semua itu adalah amat membantu di dalam usaha meninggalkan hal tersebut.
Jawapan Atas Berbagai Dalihan
Jika ada orang yang berdalih, "Sesungguhnya kami tidak menemukan nas, baik di dalam kitabullah ataupun sunnah Rasulullah Sollallahu alaihi Wasallam perihal haramnya rokok."
Maka, jawapan atas kenyataan ini kita nyatakan nas-nas Al-Quran dan sunnah terdiri dari dua jenis;
- Jenis yang dalil-dalilnya bersifat umum seperti Adh-Dhawabith (ketentuan-ketentuan) dan kaedah-kaedah yang mencakup perincian yang banyak sekali hingga hari kiamat.
- Jenis yang dalil-dalilnya memang diarahkan kepada suatu itu sendiri secara langsung.
Bagi jenis pertama, ayat Al-Quran dan dua hadis yang kami sebutkan di atas yang menunjukkan keharaman merokok secara umum meskipun tidak diarahkan secara langsung kepadanya. Manakala bagi jenis kedua, ialah fiman Allah (yang bermaksud), "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging haiwan) yang disembelih atas nama selain Allah." (Al-Maidah: 3).
Dan firman-Nya, "Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya meminum khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi
nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dari amalan syaitan. Maka,
jauhilah perbuatan-perbuatan itu." (Al-Maidah: 90).
Jadi, baik nas-nas itu termasuk jenis pertama atau kedua, ia bersifat keharusan bagi semua hamba Allah kerana dari sisi pengambilan dalil menunjukkan hal itu.
Sumber: Program Nur 'alad Darb, dari Fatwa Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, dari kitab Fatwa-Fatwa Terkini 2.
Jadi, baik nas-nas itu termasuk jenis pertama atau kedua, ia bersifat keharusan bagi semua hamba Allah kerana dari sisi pengambilan dalil menunjukkan hal itu.
Sumber: Program Nur 'alad Darb, dari Fatwa Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, dari kitab Fatwa-Fatwa Terkini 2.
sumber dari: lurim.blogspot.com
No comments:
Post a Comment