Warga Muhammadiyin tentu tidak asing dengan cerita tentang ‘pengajian Al-Ma’un’ oleh Kyai Dahlan. Bagi Kyai Dahlan, surat Al-Ma’un bukanlah hanya sekadar surat yang hanya dibaca dan dihafal. Banyak umat muslim yang hafal surat ini namun masih miskin penghayatannya. Kyai Dahlan menekankan pentingnya pengejawantahan pemahaman dalam aksi yang nyata. Dalam setiap ceramahnya, Kyai Dahlan secara istiqamah menyerukan bagi setiap orang yang mampu untuk memenuhi hak dan berlaku adil terhadap orang-orang miskin, yatim piatu, dan mereka-mereka yangterlantar. Dari seruan itu lahirlah lembaga pengelola zakat. Dari pemikiran itulah lalu lahirlah rumah sakit dan panti asuhan yang bernaung di bawah panji organisasi Muhammadiyah.
Yang tak kalah penting dalam pembicaraan kita tentang Kyai Dahlan adalah semangatnya sebagai seorang pendidik. Beliau begitu intens mengkritik dualisme pendidikan pada masanya. Pandangan muslim tradisional terhadap pendidikan terlalu menitikberatkan pada aspek spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terlihat dari lembaga pendidikannya yaitu pesantren. Pesantren lebih mengembangkan ilmu agama dibanding ilmu pengetahuan sehingga menyebabkan kemunduran pada dunia Islam karena umat Islam hanya memikirkan masalah akhirat dan menimbulkan sikap pasrah.
Begitu pun dengan sistem pendidikan kolonial. Dilihat dari metode pengajaran dan alat-alat pendidikannya, memang terbilang banyak sekali manfaat dan kemajuan yang bisa diraih siswa dari pendidikan kolonial ini. hanya saja, dalam sekolah kolonial tidak terdapat pelajaran tentang agama, khususnya Islam. Hal ini menyebabkan siswa cakap secara intelektual namun lemah karakter dan moralitasnya. Karena itulah Kyai Dahlan memandang penting persoalan sinergi antara ilmu umum dan agama. Karena itulah institusi pendidikan Muhammadiyah tidak memberlakukan pemisahan antara ilmu umum dan agama.
Sekolah Muhammadiyah yang pertama telah berdiri satu tahun sebelum Muhammadiyah sebagai organisasi berdiri. Pada tahun 1911 Kyai Dahlan mendirikan sebuah madrasah di rumahnya yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kaum muslim terhadap pendidikan agama dan pada saat yang sama memberikan mata pelajaran umum. Di sekolah itu, pendidikan agama diberikan oleh Kyai Dahlan sendiri dan pelajaran umum diajarkan oleh seorang anggota Budi Utomo yang juga guru di sekolah pemerintah.
Ketika sekolah ini dibuka hanya ada 9 murid yang mendaftar. Hal itu membuktikan bahwa umat Islam belum memandang pentingnya ilmu pengetahuan umum dan agama. Respon tersebut tidak mematahkan semangat Kyai Dahlan. Ia tidak segan-segan mendatangi anak-anak sampai ke rumahnya untuk mengajak mereka masuk sekolah. Kyai Dahlan juga memberikan perhatian khusus pada pendidikan anak-anak perempuan. Karena bila anak laki-laki maju, anak perempuan terbelakang maka terjadi kepincangan. Pada tahun 1918 didirikan sekolah Aisyiyah. Suatu pertanda bahwa pemikiran emansipasi pendidikan juga menjadi perhatian Kyai Dahlan.
Sinergi antara ilmu umum dan agama juga merupakan tanda bahwa Kyai Dahlan sangat menyadari pentingnya pembangunan kepribadian sebagai salah satu tujuan pendidikan. Entah disadari atau tidak, upaya Kyai Dahlan menyinergikan antara ilmu umum dan agama ini merupakan sebuah antitesis terhadap Prof. Snouck Hurgronje. Inilah sebab mengapa pemikiran Kyai Dahlan di bidang pendidikan merupakan sebuah terobosan yang membawa dampak besar bagi umat. Lebih jauh kedepan, dapat kita lihat hasilnya dengan munculnya kader-kader Muhammadiyah yang turut mewarnai dunia politik dengan membawa identitas ke-Islamannya.
sumber dari: rumahkader.blogspot.com
No comments:
Post a Comment